Oleh : Sylvi Raini
Belakangan ini publik ramai membicarakan besarnya penghasilan anggota DPR. Dari berbagai laporan media, diketahui bahwa sejak Oktober 2024 anggota DPR periode 2024–2029 menerima tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Hal ini diberikan karena rumah dinas di Kalibata dan Ulujami dianggap sudah tidak layak huni, sehingga anggota DPR diminta mengontrak rumah sendiri. (Tempo.co; Detik.com)
Menurut klarifikasi pimpinan DPR, tunjangan tersebut bersifat sementara dan hanya berlaku hingga Oktober 2025. Sebagaimana dilansir oleh Detiknews, Dana ini disebutkan untuk keperluan kontrak rumah selama 5 tahun masa jabatan, bukan sebagai fasilitas tetap setiap bulan.
Namun, dalam laporan Detik.co jika digabungkan dengan gaji pokok serta berbagai tunjangan lain seperti perjalanan dinas, reses, dan fasilitas kesehatan, maka penghasilan resmi anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Angka ini membuat publik terkejut sekaligus geram, mengingat kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih sulit.
Banyak pengamat menilai tunjangan sebesar itu tidak pantas di tengah ekonomi rakyat yang sedang lesu, dan bahkan dianggap tidak sepadan dengan kinerja DPR yang belum memuaskan. Singkatnya, fakta ini memperlihatkan adanya jurang besar antara kehidupan mewah wakil rakyat dengan realitas rakyat yang mereka wakili.
Kewajaran Kesenjangan dalam Demokrasi
Pertama, kesenjangan adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Dalam sistem ini, politik berjalan dengan logika transaksi. Uang dan materi menjadi tujuan utama, bukan lagi pengabdian. Bahkan, para politisi berhak menentukan sendiri anggaran untuk kepentingan mereka. Inilah sebabnya mengapa fasilitas dan tunjangan yang mereka terima sering jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang benar-benar dirasakan rakyat.
Hal ini diperkuat oleh temuan akademik. Dalam jurnal Distorsi dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, dijelaskan bahwa demokrasi kita cenderung bergeser ke arah demokrasi kapitalistik, di mana modal dan kepentingan finansial lebih dominan daripada aspirasi rakyat (Surbakti & Suwondo, 2018). Jurnal lain, Praktik Demokrasi dan Kapitalisme di Indonesia Dewasa Ini, juga menyebut bahwa praktik demokrasi kita sudah banyak dipengaruhi kapitalisme, sehingga arah kebijakan lebih menguntungkan penguasa ketimbang rakyat (Susanto, 2020). Dengan kata lain, ketimpangan yang muncul bukan kebetulan, tapi lahir dari sistem itu sendiri.
Kedua, jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri, sehingga empati pada rakyat hilang.
Seharusnya, jabatan politik adalah amanah untuk membela kepentingan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak pejabat menjadikan kursi kekuasaan sebagai jalan memperbesar kekayaan pribadi. Empati terhadap rakyat yang susah menjadi kabur, dan amanah sebagai wakil rakyat pun terabaikan.
Fenomena ini juga sudah dibahas dalam penelitian. Jurnal Menilik Celah Plutokrasi melalui Politik Transaksional menjelaskan bahwa politik transaksional di Indonesia melahirkan plutokrasi yaitu dominasi segelintir elit kaya dalam menentukan kebijakan publik (Syaifullah, 2022). Akibatnya, politik tidak lagi berbasis pelayanan, tapi berubah menjadi alat untuk mempertahankan privilege kelompok tertentu.
Islam : Kedaulatan, Hukum dan Majelis Umat
Dalam sistem demokrasi, ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, manusia diberi otoritas penuh untuk menetapkan hukum, menentukan halal-haram, serta mengatur kehidupan sesuai hasil musyawarah dan voting. Hal ini berangkat dari asas sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, sehingga hukum syariat dipinggirkan demi aturan buatan manusia.
Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa kedaulatan hanya milik syara’. Manusia tidak berhak membuat hukum, karena yang berhak hanyalah Allah SWT sebagai al-Khaliq (pencipta) wal-Mudabbir (pengatur). Syariat adalah sumber hukum tunggal yang mengatur kehidupan. Al-Qur’an menegaskan:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yusuf: 40)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Ayat ini menjadi dasar pemikiran para ulama seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum yang menolak konsep demokrasi. Menurut mereka, demokrasi bukan hanya sekadar sistem politik, tetapi juga ideologi bathil karena meletakkan manusia sebagai pembuat hukum, padahal Allah telah menetapkan aturan sempurna dalam syariat-Nya.
Dalam Islam juga dikenal konsep Majelis Umat, yang sekilas mirip dengan lembaga legislatif dalam demokrasi, tapi sejatinya memiliki perbedaan fundamental :
> Majelis Umat bukanlah lembaga pembuat hukum. Mereka berfungsi sebagai forum musyawarah dan muhasabah (kontrol) terhadap Khalifah. Anggota Majelis Umat mewakili rakyat untuk menyampaikan pendapat, mengadukan masalah, dan memberi masukan atas kebijakan penguasa. Tetapi, keputusan mereka tidak bersifat tasyri’ (legislasi), sebab hukum sudah ditetapkan Allah.
> Syaikh An-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur menegaskan: “Kedaulatan berada di tangan syara’, bukan umat. Umat hanya memiliki kekuasaan (sulthan), bukan kedaulatan.”
> DPR/Parlemen dalam demokrasi justru adalah lembaga legislatif yang memegang kewenangan membuat undang-undang. Kedaulatan rakyat diartikulasikan lewat DPR, sehingga mereka berhak menentukan halal-haram menurut voting mayoritas, meskipun bertentangan dengan syariat.
Dengan demikian, perbedaan mendasar antara Majelis Umat dan DPR terletak pada sumber hukum dan fungsi lembaga:
> Majelis Umat → hanya syura & muhasabah, kedaulatan tetap di syara’.
> DPR → pembuat hukum, kedaulatan di tangan rakyat.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Islam memiliki mekanisme politik yang jelas dan khas, bukan imitasi demokrasi. Islam menempatkan umat dalam posisi mulia sebagai pengawas penguasa, namun tetap menegaskan bahwa hukum tidak boleh lahir dari kehendak manusia, melainkan dari wahyu Allah subhanahu wata ‘ala.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar