Oleh : Ummu Bisyarah
Demonstrasi besar yang meletus pada akhir Agustus 2025 adalah potret paling telanjang dari kekecewaan rakyat terhadap penguasa. Rakyat turun ke jalan bukan karena mereka suka kerusuhan, melainkan karena suara mereka tak pernah didengar di ruang-ruang kekuasaan. Ironisnya, alih-alih dilayani, mereka justru dipukul, ditangkap, bahkan ada yang harus meregang nyawa. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis Brimob ketika terjadi aksi di depan DPR RI (CNA Indonesia, 29/08/2025).
Affan bukanlah seorang provokator. Ia hanyalah rakyat kecil yang mencari nafkah. Namun, negara yang seharusnya melindungi, justru menggilasnya. Amnesty International menyebut kematiannya sebagai pelanggaran HAM serius dan menuntut Presiden serta Kapolri bertanggung jawab (Amnesty.id, 29/08/2025). Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya bahkan menegaskan insiden itu masuk kategori extrajudicial killing—pembunuhan di luar proses hukum (UM Surabaya, 30/08/2025). Tragedi ini adalah bukti nyata betapa aparat sering menjadi alat represi, bukan pelindung rakyat.
Namun, Affan hanyalah simbol. Akar dari semua gejolak ini jauh lebih dalam. Rakyat sudah lama muak dengan praktik korupsi, dengan pejabat yang sibuk memperkaya diri, dan dengan DPR yang lebih getol mengurus tunjangan ketimbang menuntaskan masalah rakyat (Reuters, 31/08/2025). Sementara itu, kebijakan ekonomi justru menambah derita rakyat kecil, harga kebutuhan melonjak, pekerjaan tak pasti, dan jurang kesenjangan makin menganga. Tidak heran bila demonstrasi terus meletus, sebab kekecewaan rakyat sudah mencapai titik didih.
Pemerintah tampaknya tidak pernah benar-benar mau bercermin. Mereka seolah buta bahwa rakyat marah bukan hanya karena satu kebijakan, melainkan karena rasa dikhianati. Bayangkan, di saat rakyat menjerit harga beras, DPR masih menikmati fasilitas mewah. Di saat anak-anak putus sekolah karena biaya, para pejabat sibuk berfoto dalam rapat pariwisata di luar negeri. Ini bukan sekadar salah urus, melainkan bentuk kezaliman struktural yang menodai amanah kekuasaan.
Akar masalah dari semua ini jelas. Pertama, korupsi yang menggurita membuat pejabat lebih loyal pada sponsor politik daripada pada rakyat. Kedua, aparat diposisikan sebagai tameng penguasa, bukan pelindung rakyat. Ketiga, sistem politik yang mahal dan oligarkis telah menjauhkan kebijakan negara dari kepentingan mayoritas rakyat (Tempo.co, 01/09/2025). Semua ini membentuk lingkaran kezaliman struktural yang menghancurkan kepercayaan rakyat pada pemerintah. Penerapan sistem kapitalisme jelas telah merusak tatanan kehidupan masyarakat!
Dalam situasi seperti ini, sekadar permintaan maaf atau janji reformasi tidak akan menyelesaikan masalah. Islam menawarkan solusi yang bukan hanya berupa nasihat moral, melainkan sistem menyeluruh yang menata negara agar berpihak pada rakyat. Dalam Islam, kekuasaan dipandang sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Negara wajib memastikan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan terhadap seluruh warganya. Amanah ini ditegaskan Allah dalam QS. An-Nisa: 58, bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan adil dan amanah, bukan dengan penindasan.
Penerapan sistem Islam mencakup tata kelola politik, ekonomi, dan keamanan yang bersih dari praktik zalim. Dalam politik, Islam menuntut pemimpin lahir dari proses yang jujur, bukan dari transaksi oligarki. Dalam ekonomi, negara wajib mengelola sumber daya alam dan harta publik untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya pejabat atau kelompok tertentu. Dengan sistem distribusi yang adil, harga kebutuhan pokok bisa stabil dan kesejahteraan rakyat terjamin. Dalam aspek keamanan, aparat harus difungsikan sebagai pelindung rakyat, bukan algojo kekuasaan. Setiap nyawa rakyat sangat berharga, lebih berharga daripada seluruh dunia, sebagaimana sabda Nabi bahwa hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.
Sejarah Islam memberi teladan konkret bagaimana prinsip ini dijalankan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pernah terjadi paceklik hebat yang mengancam rakyat. Umar tidak sekadar memberi janji, tetapi langsung memikul gandum di punggungnya untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Ia bahkan bersumpah tidak akan merasakan kenyang sebelum rakyatnya kenyang. Inilah contoh pemimpin yang benar-benar merasa bertanggung jawab, bukan hanya dalam retorika. Begitu pula dalam pengelolaan ekonomi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil memangkas kemewahan pejabat dan mengembalikan harta kepada rakyat, hingga konon pada masa itu hampir tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat karena kemiskinan berhasil ditekan.
Bandingkan teladan itu dengan kondisi pejabat hari ini yang sibuk menaikkan tunjangan, menikmati fasilitas mewah, dan membiarkan rakyat menjerit harga kebutuhan. Perbedaan mencolok itu menunjukkan bahwa yang rusak bukan sekadar perilaku individu, melainkan sistem yang menopang mereka.
Dengan kata lain, penerapan sistem Islam bukan sekadar seruan moralitas, melainkan jalan komprehensif untuk menata ulang arah negara. Ia menuntut kepemimpinan amanah, ekonomi yang berpihak, aparat yang melindungi, dan rakyat yang dilibatkan. Selama hal ini belum dijalankan, maka tragedi seperti wafatnya Affan akan terus berulang, dan rakyat akan terus menanggung luka akibat pengkhianatan kekuasaan.
Wallahualambishowwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar