Cerita di Bawah Kursi Tamu Undangan Pesta HUT RI


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Di tengah gegap gempita peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia yang berlangsung di Lapangan Hasanuddin, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Minggu (17/8/2025) lalu, sebuah pemandangan sederhana justru mencuri perhatian jutaan mata.

Bukan deretan pejabat, bukan pula kemegahan upacara. Melainkan dua bocah kecil yang sibuk memunguti sisa makanan di bawah kursi tamu undangan sambil menunjukkan wajah yang penuh bahagia bak menemukan harta karun.

Mereka adalah Syamsul (7) dan Muhammad Aidil (7). Dengan kantong kresek hitam di tangan, keduanya membuka kotak-kotak makan yang ditinggalkan, lalu mengumpulkan kue yang masih tersisa.

Tamu undangan berlalu begitu saja, tapi kamera salah seorang peserta upacara menangkap momen itu. Tidak butuh waktu lama, video mereka viral. Ditonton lebih dari 10 juta kali hingga dibanjiri komentar haru sekaligus geram.

Kehidupan Syamsul dan Aidil memang jauh dari sorotan. Mereka tumbuh di rumah semi permanen sederhana di Kecamatan Somba Opu. Ayah Syamsul, Dorra Daeng Ngempo (52), hanya seorang pedagang sayur kelor di pasar tradisional, sedangkan ibu Aidil, Sumiati (39), mengandalkan penghasilan serabutan untuk menyambung hidup.

Kisah dua bocah ini pun menyeret perhatian publik. Bahkan banyak warganet menandai akun Kapolres Gowa, AKBP Muhammad Aldy Sulaiman. Senin (18/8/2025) malam, rumah sederhana keluarga Syamsul di tepian kanal Jalan KH Agus Salim kedatangan tamu tak biasa. Sang Kapolres datang berseragam lengkap, melepas sepatu larasnya sebelum masuk, lalu duduk bersilaturahmi dengan keluarga. Tak berhenti di situ, dia langsung mengundang Syamsul dan Aidil bersama orang tuanya untuk datang ke Mapolres Gowa, Selasa (19/8/2025). Keduanya akan dihadiahi sepeda dari Aldy Sulaiman. (Liputan6 online, 19/8/2025).

Beruntung dua bocah tersebut divideo hingga viral dan mengetuk penguasa sehingga mendapat bantuan diberikan sepeda oleh Kapolres setempat. Bagaimana nasib bocah dan masyarakat lainnya yang nasibnya sama bahkan lebih susah dari dua bocah tersebut. Bahkan apa yang didapat dua bocah tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhanmya. Apa yang mereka terima tidak akan serta-merta menjadikan mereka naik level ke tingkat masyarakat menengah.

Dan alangkah bahagianya apabila seluruh aparat seperti Kapolres Gowa. Hanya saja sungguh kasihan jika hanya beliau yang harus memberikan solusi. Dimana yang lainnya? Dimana peran negara?

Indonesia merdeka 80 tahun katanya tapi yang merasakan sorak-sorai dan gegap gempita kemewahan dan kemeriahan perayaannya hanyalah sebagian. Kalaupun ada masyarakat kecil yang ikut, itu hanyalah kegembiraan sesaat, itu hanya kebahagiaan semu. Lantas kemerdekaan macam apa yang sejatinya bangsa ini pertontonkan?

Pertumbuhan ekonomi hanya meningkat di angka karena pada kenyataannya masyarakat secara umum mengalami penurunan daya beli, inflasi melonjak, PHK marak, dunia industri dan manufaktur hancur, angka pengangguran nasional Indonesia tertinggi di ASEAN, hingga terjadinya kapitalisasi pada berbagai sektor vital publik seperti pendidikan dan kesehatan. Ini masih belum termasuk pajak yang jenisnya makin beragam dan nominalnya kian mencekik.

Nasib rakyat yang begitu memprihatinkan kendati sudah era digital, nyatanya berbeda tipis dengan leluhur kita pada masa kolonial. Kita pun harus menyadari akar masalahnya, bahwa sistem ekonomi pada masa tersebut sama dengan sistem ekonomi saat ini. Semua derita rakyat itu justru menegaskan bahwa peringatan kemerdekaan memang sebatas seremonial berupa pengibaran bendera. Sungguh ironis.

Jelas sudah, meski merdeka dari penjajahan fisik, Indonesia masih terjajah secara hakiki. Kemerdekaan seharusnya terwujud pada kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar tiap-tiap individu rakyat. Ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, esensinya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Itulah kenapa kita menyaksikan kisah dua bocah di atas dan ribuan kisah yang sama di negeri ini dengan pemeran yang berbeda. Dan itu bukan kisah drama sinetron melainkan kisah nyata.

Kisah ini hanya bisa diakhiri dengan mengganti sistem kapitalisme yang dipakai saat ini dengan sistem Islam yang telah terbukti selama 13 abad mampu menyatukan dua pertiga dunia dan menghiasinya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya.

Penerapan sistem Islam kaffah adalah kebutuhan dan solusi hakiki atas kemerdekaan negeri ini. Di dalam negara Islam (Khilafah), Islam diterapkan sebagai ideologi negara dan penguasa berperan sentral sebagai pelaksana syariat Islam secara kaffah. Penguasa juga sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat.

Rasulullah Saw. bersabda di dalam hadis,
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Juga di dalam hadis,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengan dirinya.” (HR. Muslim).

Keberadaan Islam sebagai ideologi adalah legalitas mendasar yang tidak akan membuat negara membebek pada negara lain karena ideologi Islam akan membuat negara yang mengembannya akan menjadi negara adidaya. Dengan ideologi Islam itu, penguasa negara Islam akan mengambil dan melaksanakan berbagai kebijakan politik di dalam negeri dalam wujud ri’ayatusy syu’un al-ummah (mengurusi urusan umat), serta politik luar negeri berupa dakwah dan jihad.

Khilafah menerapkan al-maqashid asy-syari’ah (pokok-pokok syariat) untuk menjaga umat. Penerapan syariat Islam kafah berperan penting untuk menjaga pemikiran umat agar tetap selaras dengan ketentuan syariat, hidup dalam ketaatan kepada Allah SWT., dan tidak terkontaminasi pemikiran dari luar Islam.

Sepanjang sejarah emasnya, Khilafah mampu menyejahterakan rakyat di seluruh wilayah kekuasaannya. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi harta secara adil dan merata di tengah-tengah masyarakat. Khilafah mengelola harta kepemilikan umum dan mengalokasikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, sekaligus mengharamkan penguasaan oleh individu/swasta (privatisasi). Khilafah menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) secara individu per individu dengan cukup dan makruf.

Khilafah juga melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan. Khilafah memberikan tanah bagi rakyat yang mampu menghidupkan/mengelolanya. Bagi fakir miskin, Khilafah menjamin distribusi zakat untuk delapan golongan (ashnaf) serta memberikan santunan dari baitulmal.

Dengan penerapan Islam kaffah, tidak akan ada lagi bocah atau yang lainnya yang mengais sisa makanan di hari kemerdekaan karena dengan penerapan sistem Islam semua masyarakat sejahtera dan dapat menikmati kemerdekaan hakiki berupa penghambaan hanya kepada Allah SWT. Suasana yang menghiasinya adalah iman dan taqwa.

Allah SWT. berfirman,
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257).

Menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki. Jika perjuangan pada masa lalu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi sekuler kapitalisme, hukum jahiliah, ekonomi kapitalisme, budaya, dan segenap tatanan yang tidak islami.

Dan sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat. Mari bersama-sama kita melakukannya, tanpa nanti tanpa tapi. Allahu Akbar!

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar