Ada Apa dengan (Kurikulum) Cinta?


Oleh : Ummu Hanan

Beberapa waktu lalu Kementerian Agama melalui menterinya telah memperkenalkan kepada masyarakat Kurikulum Berbasis Cinta pada tanggal 17 September 2025. Menteri Agama (Menag) menyampaikan dalam pidatonya pada agenda Inter Religious Conference on Freedom of Reliqion and Rights of Religious Minorities in Asia, dengan menyebut bahwa Kurikulum Berbasis Cinta merupakan solusi untuk memperkuat pendidikan inklusif, moderasi beragama, dan perlindungan hak-hak minoritas di Asia (kemenag.go.id,17/9/2025). Masih menurut Menag, Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia dengan ketersebaran sekitar 1.300 kelompok etnis dan enam agama yang diakui di dalamnya. Indonesia merupakan negara yang kompleks dan penuh dengan diversitas oleh karenanya dibutuhkan fondasi moral sebagaimana budaya cinta.

Sekilas tak ada yang bermasalah dengan konsep Kurikulum Berbasis Cinta. Semangat yang dibawa oleh kurikulum ini seolah akan menghantarkan interaksi yang lebih harmonis di tengah masyarakat khususnya pada aspke heterogenitas yang ada. Terlebih Kurikulum Berbasis Cinta digadang-gadang tidak sekadar berupa teori melainkan juga merupakan praktik sehari-hari dengan mengedepankan sikap empati,belas kasih dan rasa hormat. Diantara contoh praktis penerapan Kurikulum Berbasis Cinta adalah adanya pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta. Diharapkan melalui keberadaan Kurikulum Berbasis Cinta akan dapat menjaga keragaman serta menginspirasi bagi negara-negara lainnya.

Kurikulum Berbasis Cinta rentan terhadap nilai-nilai yang melemahkan akidah Islam, mengapa demikian? Diantara konsep yang ingin diusung melalui kurikulum ini adalah bagaimana agama diletakkan sebatas aturan moral yang meniscayakan pemeluknya untuk memandang persoalan dengan sudut pandang yang sama, yakni hak asasi manusia (HAM). Dalam konsep HAM, manusia diletakkan sebagai pihak yang berhak membuat aturan dalam kehidupan, tanpa mengindahkan ketentuan dari sang Pencipta. Nilai-nilai HAM juga menjadikan standar kehidupan pada asas kapitalisme yang sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Kondisi semacam ini akan menjadikan kaum Muslim melepaskan standar yang telah ditetapkan oleh syara’. 

Allah swt telah memerintahkan kepada setiap Muslim untuk tunduk dan patuh pada perintah-Nya. Oleh karena itu setiap Muslim berkewajiban mengikatkan seluruh amalnya pada perintah Allah sebagai bentuk konsekuensi keimana. Allah swt berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 208 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah”. Melalui ayat ini kita dapati bahwa ada perintah agar kehidupan manusia sejatinya diatur secara menyeluruh dengan syariat Islam. Alhasil, nilai-nilai yang terkandung dalam akidah Islam seharusnya menjadi standar kehidupan masyarakat, seperti pada persoalan menentukan kadar baik dan buruk, benar dan salah serta terpuji atau tercela. 

Tidak bisa dikatakan sesuatu itu buruk atau mengancam jika sudah dipandang baik oleh syara’. Allah swt berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 216 yang artinya, “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." Ayat dalam surah Al Baqarah ini menunjukkan secara tegas bahwa yang berhak menentukan nilai dalam kehidupan hanyalah Allah sebagai Dzat yang telah menciptakan kehidupan. Manusia tidak berhak menetapkan ukuran kebaikan dan keburukan seperti halnya mendefinsikan cinta dan belas kasih pada perkara yang seharus disikapi secara tegas.

Kurikulum pendidikan Islam sangat jelas pengaruhnya jika dibandingkan dengan kurikulum sekuler-kapitalis.

Kurikulum pendidikan Islam akan selaras dengan fitrah manusia sehingga semakin menumbuhkan rasa tunduk kepada aturan Pencipta. Ini pula yang menjadi asas bagi tegaknya negara Islam. Sebaliknya, kurikulum berbasis asas sekuler-kapitalis telah menjauhkan manusia dari hakikat penciptaanya dan membuka pintu-pintu kerusakan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jika kita menginginkan adanya pengaturan kehidupan dengan wujud harmoni yang sesungguhnya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Islam. Allahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar