Ketika Pariwisata Mengorbankan Ekologi


Oleh : Ika Putri Novitasari, S.Pd.

Banjir yang melanda sejumlah kawasan di Bali pada awal September 2025 menjadi cermin rapuhnya pengelolaan tata ruang di daerah wisata utama Indonesia ini. Peristiwa tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga menyisakan catatan panjang tentang bagaimana pembangunan dan orientasi ekonomi sering kali berjalan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Hujan lebat pada Selasa, 9 September 2025, menyebabkan banjir di 123 titik di enam kabupaten dan kota, antara lain Denpasar, Gianyar, Tabanan, Karangasem, Jembrana, dan Badung. Sebanyak 14 orang meninggal dunia dan sejumlah infrastruktur, termasuk bangunan dan jembatan, mengalami kerusakan. Pada Kamis, 11 September, kawasan yang paling terdampak, seperti Kelurahan Dauh Puri di Denpasar Selatan, masih dipenuhi aktivitas warga yang berupaya membersihkan rumah, toko, dan fasilitas umum dari lumpur dan genangan.

Proses pemulihan berjalan perlahan. Di Dauh Puri, pelayanan publik sempat berhenti karena kantor kelurahan dan puskesmas juga terendam. Jalan-jalan kampung ditutup sementara karena belum sepenuhnya bersih dari lumpur. Diperkirakan, pembersihan baru selesai beberapa hari kemudian, dan aktivitas sosial ekonomi baru akan pulih pekan berikutnya.


Sungai yang Kian Terhimpit

Daerah-daerah yang terdampak banjir mayoritas berada di sepanjang aliran Tukad Badung. Sungai ini dulunya memiliki peran penting sebagai jalur air dan pusat kehidupan masyarakat. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kawasan sekitarnya semakin padat dengan bangunan. Rumah tinggal, kios, ruko, bahkan pura berdiri rapat di tepi sungai, sebagian melampaui garis tanggul. Lebar Tukad Badung yang tidak lebih dari delapan meter membuat daya tampungnya semakin terbatas.

Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ahli tata kota dari Universitas Udayana, menilai banjir kali ini adalah gambaran paling nyata dari lemahnya penerapan aturan tata ruang. Sungai yang seharusnya menjadi ruang terbuka dan jalur air tidak lagi mampu menanggung beban lingkungan akibat padatnya pembangunan di sekitarnya.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana alih fungsi lahan berjalan tanpa kendali. Sawah, subak, dan hutan yang selama berabad-abad menjadi penyangga ekosistem Bali, perlahan berubah menjadi hotel, vila, dan berbagai bangunan pendukung pariwisata. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ada, tetapi lebih banyak berhenti pada tataran formalitas. Implementasi di lapangan seringkali longgar, terutama jika berhadapan dengan kepentingan investasi.


Pembangunan dan Orientasi Ekonomi

Selama beberapa dekade, Bali menempatkan pariwisata sebagai motor utama perekonomian. Strategi ini memang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah dan nasional. Namun, konsekuensinya adalah eksploitasi ruang yang cenderung mengabaikan keseimbangan ekologis. Pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi sering kali mengorbankan kelestarian lingkungan.

Fenomena ini dapat dipahami dalam kerangka pembangunan kapitalistik, di mana kepentingan pasar dan investasi lebih diutamakan daripada kelestarian jangka panjang. Dalam paradigma semacam itu, alam dipandang terutama sebagai sumber daya ekonomi, bukan amanah yang harus dijaga keberlanjutannya.

Padahal, air, hutan, dan sungai adalah bagian dari sistem ekologis yang rapuh. Ketika ruang terbuka hijau menyusut, daerah resapan air hilang, dan sungai terhimpit oleh bangunan, risiko banjir menjadi semakin besar. Peristiwa banjir Bali memperlihatkan bahwa krisis tata ruang bisa dengan cepat berubah menjadi bencana kemanusiaan.


Perspektif Islam tentang Pengelolaan Ruang

Dalam Islam, alam dipandang sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga. Air, tanah, hutan, dan sungai adalah milik umum yang tidak sepatutnya diperlakukan semata-mata sebagai objek komersialisasi. Kerusakan ekologis yang muncul akibat ulah manusia sudah diingatkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam Surah Ar-Rum ayat 41, yang menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat perbuatan tangan manusia.

Negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga tata ruang dan melindungi rakyat dari bencana. Dalam kerangka syariat Islam, pembangunan tidak diarahkan untuk sekadar mengejar keuntungan dari pariwisata, melainkan berlandaskan pada mekanisme pemasukan negara yang lain, seperti pengelolaan kepemilikan umum dan sumber daya alam sesuai syariat. Dengan cara itu, pembangunan dapat selaras dengan kelestarian lingkungan dan keamanan masyarakat.

Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi dengan tugas menjaga keseimbangan. Hal ini berarti setiap pembangunan, termasuk infrastruktur dan pemanfaatan ruang, harus mempertimbangkan aspek ekologis. Peran negara dalam konteks ini sangat penting untuk memastikan bahwa orientasi pembangunan tidak terjebak pada logika ekonomi jangka pendek.


Jalan Menuju Pembenahan

Banjir Bali seharusnya dibaca sebagai peringatan untuk melakukan pembenahan tata ruang secara serius. Tidak cukup hanya dengan menambah drainase atau memperlebar sungai, tetapi perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembangunan. Konsep pariwisata berkelanjutan kerap disebut, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan.

Penguatan regulasi, penegakan hukum tata ruang, serta perlindungan terhadap ruang terbuka hijau dan daerah resapan air menjadi langkah mendesak. Pembangunan infrastruktur pun seharusnya memperhatikan keseimbangan ekologis. Dalam perspektif Islam, hal ini sejalan dengan prinsip bahwa negara harus melindungi kehidupan masyarakat dari bahaya, sekaligus menjaga amanah lingkungan.

Masyarakat Bali selama ini dikenal memiliki kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan dengan alam, misalnya melalui sistem subak. Namun, modernisasi yang tidak terkendali membuat kearifan tersebut semakin terpinggirkan. Menghidupkan kembali praktik-praktik lokal yang ramah lingkungan dapat menjadi bagian dari solusi, bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang berpihak pada keberlanjutan.


Penutup

Banjir Bali 2025 memperlihatkan hubungan erat antara pembangunan yang abai tata ruang dengan meningkatnya risiko bencana. Pembangunan pariwisata yang terlalu menekankan keuntungan ekonomi telah menekan daya dukung lingkungan. Islam memberikan pandangan bahwa alam adalah amanah yang harus dijaga, dan negara wajib memastikan tata ruang selaras dengan prinsip menjaga kehidupan dan kelestarian.

Ke depan, arah pembangunan di Bali memerlukan evaluasi menyeluruh agar bencana serupa tidak terus berulang. Pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam merupakan jalan tengah yang harus ditempuh.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar