Oleh: Noura (pemerhati sosial dan generasi)
Polemik agraria di wilayah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) kembali mencuat. Ratusan warga Penajam Paser Utara (PPU) turun ke jalan, menuntut keadilan atas lahan mereka yang terdampak proyek Tol 5B IKN dan Bandara VVIP IKN.
Puluhan warga dari beberapa kelurahan, antara lain Jenebora, Gersik, dan Pantai Lango, melakukan aksi demo di depan Kantor Bupati PPU. Mereka menuntut ganti rugi atas tanah yang telah digunakan dalam proyek strategis nasional tersebut. Seorang warga Jenebora bahkan menuturkan dengan lantang, “Kami selalu dijanji-janjikan (ganti rugi atas tanah) oleh Badan Bank Tanah, bupati, dan Badan Pertanahan Nasional. Selalu saja janji-janji. Kami menuntut hak kami.”
Warga mengaku telah menunjukkan bukti kepemilikan, termasuk sertifikat tanah, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan. Beberapa menilai BPN justru mempersulit proses sertifikasi, sehingga mereka kehilangan kepastian hukum. Di sisi lain, proyek pembangunan terus berjalan. Wakil Bupati PPU, Abdul Waris Muin, hanya menanggapi dengan janji pertemuan lebih lanjut, tanpa kepastian kapan sengketa ini benar-benar selesai.
Fenomena di PPU ini bukanlah kasus terisolasi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2024 ada 295 letusan konflik agraria di seluruh Indonesia, meningkat 21 persen dibanding 2023. Luas lahan terdampak mencapai lebih dari 1,1 juta hektare, dengan 67 ribu keluarga dari 349 desa ikut merasakan dampaknya. Sektor infrastruktur, termasuk proyek strategis nasional, menyumbang 79 kasus dengan luas hampir 300 ribu hektare. Bahkan, selama era kepemimpinan rezim sebelumnya, tercatat 2.939 konflik agraria belum tuntas, meliputi 6,3 juta hektare lahan dan memengaruhi 1,75 juta rumah tangga.
Semua ini memperlihatkan bahwa konflik agraria di IKN adalah potret kecil dari persoalan struktural yang lebih besar. Dalam paradigma kapitalisme, tanah dipandang sebagai aset ekonomi, bukan amanah yang harus dijaga untuk kemaslahatan rakyat. Maka wajar bila tanah warga tiba-tiba diklaim sebagai tanah negara hanya karena wilayah tersebut masuk dalam kawasan proyek strategis nasional.
Dampaknya bukan sekadar hilangnya aset, tetapi juga tercerabutnya ruang hidup masyarakat. Tanah bagi rakyat kecil adalah sumber penghidupan, warisan leluhur, dan modal sosial. Ketika dirampas, mereka kehilangan pekerjaan, identitas, bahkan ikatan sosial. Ganti rugi yang tidak sepadan hanya menambah luka, apalagi bila diberikan tanpa transparansi dan keterlibatan warga. Rasa keadilan makin terkikis ketika rakyat dipaksa menunggu janji, sementara proyek berjalan terus.
Inilah wajah politik kapitalisme yang sebenarnya. Pembangunan selalu digadang-gadang demi kepentingan nasional, namun faktanya lebih banyak melayani kepentingan investor dan elite. Rakyat kecil hanya diminta berkorban, tanpa mendapat jaminan kesejahteraan. Ketika konflik terjadi, mereka bahkan kerap menghadapi kriminalisasi, tekanan, dan kekerasan.
Islam memberikan pandangan yang berbeda. Syariat menetapkan bahwa kepemilikan tanah adalah hak yang dijaga.
Rasulullah ï·º bersabda: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa upaya warga dalam mengelola tanah dihargai dan dilindungi. Negara dalam sistem Islam tidak akan merampas tanah rakyat demi kepentingan segelintir orang, melainkan memastikan hak rakyat tidak terzalimi.
Teladan para khalifah menunjukkan hal yang sama. Umar bin Khaththab ra. tegas menarik kembali tanah garapan yang ditelantarkan, untuk kemudian memberikannya kepada orang yang mampu mengelolanya. Kebijakan ini bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga wujud keadilan bagi masyarakat. Pada masa pemindahan ibu kota di era Abbasiyah, pembangunan kota baru dilakukan tanpa konflik agraria, karena syariat mengatur kepemilikan secara jelas, kompensasi diberikan secara adil, dan kepemimpinan dijalankan sebagai amanah, bukan bisnis.
Kasus perampasan lahan di IKN menegaskan bahwa selama pembangunan berpijak pada sistem kapitalisme, rakyat kecil akan selalu jadi korban. Data nasional menunjukkan krisis agraria bukan lagi insiden lokal, melainkan masalah struktural. Islam menawarkan jalan keluar yang adil, transparan, dan manusiawi. Hanya dengan kembali pada sistem Islam kaffah, pembangunan bisa berjalan tanpa merugikan rakyat dan benar-benar menghadirkan kesejahteraan.
Wallahu'alam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar