Dari Isu Sesat ke Fatwa Aman : Apakah MUI Terlalu Longgar?


Oleh : Aisyah Falisha

Beberapa waktu terakhir, warga di Perumahan Dukuh Zamrud, Kelurahan Cimuning, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, dihebohkan dengan aktivitas sebuah kelompok pengajian yang dipimpin oleh seorang ustazah bernama Putri Yeni, akrab disapa Umi Cinta. Kegiatan pengajian ini semula menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat sekitar. Sejumlah kesaksian warga menyebutkan adanya praktik pungutan sebesar Rp1 juta dengan iming-iming “jaminan masuk surga”. Selain itu, pengajian disebut-sebut berlangsung tertutup, melibatkan jamaah laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan, sehingga memunculkan berbagai spekulasi dan tuduhan.

Isu ini kemudian berkembang menjadi polemik publik, terutama setelah pemberitaan media lokal dan nasional yang memantik diskusi tentang fenomena aliran, sekte, dan potensi penyimpangan dari ajaran Islam. Namun, setelah klarifikasi dilakukan oleh MUI Kota Bekasi, polemik ini mereda. Ketua Umum MUI Kota Bekasi, KH Saifuddin Siroj, menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya penyimpangan akidah maupun praktik yang keluar dari syariat Islam. Klaim “infak Rp1 juta jamin masuk surga” pun dipastikan tidak berdasar.

Kasus ini menjadi menarik bukan hanya dari sisi hukum Islam, melainkan juga sebagai gambaran tentang problem pemahaman agama di tengah masyarakat urban, lemahnya standar penilaian terhadap aliran sesat, serta urgensi peran negara dalam membina umat agar tetap berada dalam koridor Islam kaffah.


Latar Belakang Polemik

Awal mula keresahan warga muncul ketika beredar kabar bahwa jamaah pengajian di Dukuh Zamrud diminta untuk memberikan infak atau sumbangan sebesar Rp1 juta. Infak ini diduga dikaitkan dengan “jaminan masuk surga”. Narasi semacam ini jelas menimbulkan kontroversi karena dianggap memanfaatkan keimanan jamaah untuk tujuan finansial.

Selain itu, warga juga mempertanyakan mekanisme pengajian yang berlangsung secara tertutup. Dalam laporan warga, jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berada dalam satu tempat tertutup. Kondisi ini memunculkan kecurigaan akan adanya praktik yang menyimpang atau setidaknya melanggar adab interaksi dalam Islam.

Polemik semakin ramai diperbincangkan di media sosial. Netizen membandingkan fenomena ini dengan sejumlah kasus “aliran sempalan” yang sebelumnya pernah muncul di berbagai daerah. Kekhawatiran masyarakat makin besar karena isu agama sangat sensitif, terutama jika dikaitkan dengan urusan akidah dan ibadah.


Klarifikasi dan Sikap MUI Bekasi

Menyikapi keresahan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi melakukan klarifikasi langsung. Pihak MUI mendatangi pengajian, berdialog dengan Umi Cinta, dan mendengarkan penjelasan. Dari hasil pemeriksaan, MUI menegaskan bahwa tidak ada penyimpangan ajaran Islam dalam aktivitas tersebut. Pengajian masih berada dalam koridor syariat, baik dari segi isi kajian maupun praktik ibadah yang diajarkan.

Terkait isu infak Rp1 juta untuk masuk surga, MUI menyatakan hal itu tidak berdasar. Umi Cinta sendiri menolak tudingan tersebut, dan menegaskan bahwa tidak pernah mengajarkan doktrin jual-beli surga. Jika ada jamaah yang menyumbang, hal itu bersifat sukarela, bukan syarat mengikuti pengajian.

Pernyataan MUI ini cukup penting, karena jika tidak segera diklarifikasi, isu dapat berkembang liar dan menimbulkan fitnah besar. MUI juga mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh mudah mengaitkan sesuatu dengan aliran sesat hanya karena ada perbedaan praktik atau tata cara.


Pengajian, Sekularisme, dan Persepsi Sosial

Salah satu hal menarik dari kasus ini adalah bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengajian tertutup yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Sebagian pihak langsung menilai hal ini menyimpang, bahkan menuntut agar aktivitas dihentikan. Namun, pandangan ini sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh cara pandang sekular yang cenderung melihat interaksi laki-laki dan perempuan dari perspektif kecurigaan semata.

Dalam Islam, pertemuan laki-laki dan perempuan dalam satu majelis tidak otomatis dilarang, selama memenuhi ketentuan syar’i: tidak ada ikhtilat bebas, aurat tetap terjaga, dan tidak terjadi khalwat. Bahkan di zaman Rasulullah ï·º, laki-laki dan perempuan hadir bersama dalam majelis ilmu. Perempuan menghadiri khutbah Jumat, mendengarkan pengajaran Rasulullah, bahkan bertanya langsung dalam forum umum.

Sayangnya, dalam masyarakat modern yang dipengaruhi sekularisme, interaksi antara laki-laki dan perempuan sering dipandang dengan standar sosial, bukan standar syariat. Akibatnya, kegiatan dakwah bisa dengan mudah dicurigai hanya karena perbedaan bentuk dan gaya.


Standar Penentuan Aliran Sesat: Masih Kabur?

Fenomena ini juga menyingkap satu persoalan penting, yakni standar penentuan aliran sesat di Indonesia yang masih kabur. Selama ini, label sesat sering dilekatkan pada kelompok tertentu lebih karena faktor politik, perbedaan manhaj, atau bahkan tekanan sosial, bukan murni berdasarkan dalil syariat.

Padahal dalam Islam, kriteria aliran sesat jelas: menyangkut masalah akidah (seperti menyekutukan Allah, menolak rukun iman), hukum syariat (menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal), atau menolak otoritas nash yang qath’i. Selama sebuah kelompok tidak melanggar hal-hal tersebut, tidak boleh dengan mudah dicap sesat.

Kasus Dukuh Zamrud menunjukkan bahwa ada kesenjangan pemahaman masyarakat. Di satu sisi, warga resah karena informasi tidak jelas. Di sisi lain, lembaga berwenang seperti MUI justru tidak menemukan masalah mendasar. Situasi seperti ini bisa berbahaya jika tidak ditangani dengan baik, karena dapat menimbulkan konflik horizontal antarumat Islam sendiri.


Fenomena Semangat Mengkaji Islam

Terlepas dari polemiknya, satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah adanya semangat sebagian masyarakat untuk mengkaji Islam. Kehadiran jamaah yang konsisten mengikuti pengajian, meski dalam kondisi tertutup, menunjukkan adanya dahaga spiritual yang besar. Di tengah tekanan hidup perkotaan, masyarakat mencari solusi dan ketenangan dalam agama.

Sayangnya, semangat ini tidak selalu diiringi dengan pemahaman Islam yang mendalam. Akibatnya, jamaah rentan diarahkan pada ajaran yang kurang tepat, atau setidaknya dituduh menyimpang oleh lingkungan sekitar. Di sinilah pentingnya peran lembaga ulama dan negara untuk membina, bukan sekadar menghakimi.


Pentingnya Pembinaan Jamaah dan Kutlah Sahih

Dalam Islam, aktivitas dakwah tidak bisa dilepaskan dari jamaah (kelompok dakwah) atau kutlah. Jamaah berfungsi sebagai sarana terorganisir untuk menyampaikan risalah Islam, membina umat, dan menjaga konsistensi dakwah. Namun, jamaah yang sahih adalah yang berlandaskan pada akidah Islam, terikat dengan syariat, serta menjadikan dakwah sebagai aktivitas utama, bukan bisnis atau kepentingan pribadi.

Oleh karena itu, negara perlu memberikan ruang sekaligus pembinaan kepada kelompok-kelompok pengajian agar tidak berkembang liar. Jamaah yang benar harus diarahkan untuk menjadi bagian dari kekuatan dakwah Islam, bukan menjadi sumber fitnah.


Urgensi Peran Negara dalam Menjaga Akidah

Fenomena seperti di Dukuh Zamrud tidak akan menjadi polemik berkepanjangan jika negara benar-benar hadir menjalankan peran sebagai penjaga akidah umat. Dalam sistem Islam, negara (khilafah) memiliki tanggung jawab untuk memastikan masyarakat mempelajari Islam dengan benar. Negara menyiapkan sistem pendidikan Islam, menyediakan ulama yang membina, serta meluruskan pemahaman yang keliru.

Negara juga berhak menindak tegas kelompok yang benar-benar menyimpang, misalnya yang mengajarkan kekufuran, menolak syariat, atau menistakan agama. Dengan demikian, umat terlindungi dari kesesatan sekaligus tidak terjebak dalam fitnah yang tidak perlu.


Islam Kaffah sebagai Solusi

Kasus Dukuh Zamrud sebetulnya hanyalah potret kecil dari problem besar di negeri ini. Di satu sisi, umat haus pengajian, ingin memahami Islam lebih dalam. Di sisi lain, sistem sekuler membuat dakwah Islam sering dicurigai, bahkan dibatasi. Umat akhirnya terjebak dalam dilema: ingin belajar Islam, tapi takut dicap sesat.

Solusinya adalah penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh). Dalam sistem Islam, dakwah adalah aktivitas utama masyarakat, pengajian adalah bagian dari kehidupan publik, dan negara berperan aktif memastikan kemurnian akidah. Dengan begitu, umat tidak perlu khawatir belajar Islam, dan masyarakat tidak perlu resah dengan aktivitas pengajian. Semua berjalan dalam koridor syariat.

Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Polemik pengajian di Dukuh Zamrud Bekasi membuka mata kita bahwa masyarakat masih sangat sensitif terhadap isu agama, terutama jika berkaitan dengan potensi aliran sesat. Keresahan warga sebenarnya lahir dari minimnya informasi yang jelas, ditambah dengan stigma negatif yang cepat berkembang di media sosial.

Sikap MUI yang melakukan klarifikasi langsung patut diapresiasi, karena berhasil meredakan fitnah. Namun, kasus ini juga menunjukkan perlunya pembinaan yang lebih intensif kepada jamaah pengajian, sekaligus perlunya standar yang tegas tentang definisi aliran sesat.

Lebih jauh, fenomena ini menjadi pengingat bahwa umat Islam membutuhkan sistem yang benar-benar menjamin kebebasan dakwah sekaligus menjaga kemurnian akidah. Sistem itu adalah sistem Islam kaffah yang menempatkan dakwah sebagai ruh kehidupan umat dan negara sebagai pelindung akidah. Dengan demikian, keresahan dan fitnah seperti yang terjadi di Dukuh Zamrud tidak lagi terulang, dan umat bisa belajar Islam dengan tenang, mendalam, dan benar.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar