Bayangkan, Jika Indonesia Tanpa DPR!


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Dampak ketidakadilan yang terus dipertontonkan badut politik berdasi harus ditanggung oleh Ibu Pertiwi. Semua tidak berharap akan jadi begini. Sebagaimana yang menjadi slogan di HUT RI ke-80, "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju". Slogan ini secara resmi diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan mencerminkan visi besar untuk persatuan, kedaulatan, kesejahteraan rakyat, serta kemajuan Indonesia. 

Bersatu: Menggambarkan semangat kerukunan dan persatuan bangsa yang menjadi dasar kekuatan. Berdaulat: Menunjukkan tekad Indonesia untuk selalu menjaga kedaulatan negaranya. Rakyat Sejahtera: Merupakan wujud komitmen untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia melalui berbagai pembangunan dan akses. Indonesia Maju: Mewujudkan cita-cita bangsa menjadi negara maju, yang mampu bersaing di kancah global.

Hanya saja untuk saat ini, asa itu semakin sulit terwujud. Kepongahan berujung kerusuhan. Ibarat bom waktu, mungkin sudah waktunya meledak. Siapa yang bisa tahan? Seorang direktur akan marah jika gajinya lebih kecil dari wakil direktur. Seorang presiden akan merasa kehilangan harga diri jika apa yang diperintahkan tidak diindahkan oleh wakilnya. Begitupun dengan rakyat yang telah 80 tahun dikhianati oleh wakilnya, dialah DPR sang wakil rakyat yang pada kenyataannya mewakili hampir seluruh kesenangan yang seharusnya dirasakan rakyat yang notabene adalah atasnya (dia kan wakil rakyat, so rakyat dhonk atasannya) sehingga hanya tersisa kemelaratan dan kesengsaraan. Bahkan terlindas dan tertindas.

Teringat kata-kata dari sebuah iklan terigu, "Bayangkan jika dunia tanpa terigu!" lalu "Bayangkan jika Indonesia dan seluruh negara yang mengaku menerapkan sistem demokrasi, tanpa DPR!" Tidak akan terbayangkan jika khayalan kita hanya pada dunia demokrasi Kapitalisme. Bayangan dan angan hanya sampai ganti rezim, ganti kostum, ganti aktor kemudian apa yang menimpa Indonesia di masa lalu akan terulang kemudian. Begitu seterusnya.

Mengganti anggota DPR hanya seperti mengganti pemain dalam permainan lama. Selama aturannya sama, hasilnya juga tidak akan berubah. Pemain baru akan masuk, mengikuti alur lama, lalu jatuh pada pola korup, oligarkis, dan transaksional.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri semua ini? Agar tidak ada lagi korban Affan Kurniawan atau Arief Rahman Hakim di masa datang? Agar aspirasi rakyat benar-benar terealisasi bukan hanya sampai di anarki. Karena seyogyanya dana aspirasi rakyat mengalir ke kantong sang wakil rakyat.

Stop menjadikan demokrasi sebagai korban. Karena sebenarnya dialah biang keladinya. Kesejahteraan tidak akan tercapai jika sistem yang dipakai tetap sama. Kendati berganti aktor dan rezim. Demokrasi menuhankan materi, semua berasas manfaat. Kawan bisa jadi lawan, begitu sebaliknya. Menjelang pemilu rakyat disayang, setelah pemilu rakyat ditendang. Suaranya pun dibungkam. Sekalinya bersuara dianggap ketololan. Benar-benar wakil yang kurang ajar menololkan atasan!

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, tidak ada DPR yang membuat hukum. Hukum ditetapkan dari syariat yang jelas, bukan dari transaksi politik. Syura (musyawarah) hanya sebatas memberi nasihat, bukan mengubah hukum. Kepemimpinan tunggal (Khilafah) mencegah tarik-menarik kepentingan antar partai. Pengawasan ketat. Ada lembaga hisbah, qadhi mazhalim, dan rakyat berhak menegur langsung pemimpin tanpa harus menunggu lima tahun. Pejabat negara dilarang menerima hadiah atau fasilitas mewah yang berpotensi korupsi.

Dalam sistem Islam, konsep wakil rakyat atau Majelis Umat sungguh berbeda jauh dengan konsep wakil rakyat yang ada dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Majelis Umat bukan lembaga pembuat UU sebagaimana DPR, melainkan salah satu struktur yang memiliki fungsi pengawasan, sekaligus fungsi koreksi (muhasabah) terhadap berjalannya fungsi pemerintahan agar berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah SWT. sebagaimana yang Rasulullah Saw. contohkan.

Majelis Umat dipilih dari dan oleh umat atas dasar kepercayaan untuk mewakili mereka dalam penyampaian pendapat tentang berbagai persoalan. Majelis umat benar-benar lahir dari rahim rakyat dan merepresentrasi pikiran dan perasaan umat yang bertugas dengan dorongan iman dan kesadaran akan tanggung jawab melakukan amar makruf nahi mungkar. Inilah yang membuat mereka akan fokus pada fungsi yang harus diwujudkan bukan malah menuntut keistimewaan sebagaimana yang terjadi sekarang.

Dalam sistem politik Islam (Khilafah), hal seperti ini adalah nicaya karena sistem ini merupakan manifestasi iman yang konsekuensinya menjadikan halal dan haram sebagai satu-satunya standar perbuatan termasuk dalam menjalankan kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini dipandang sebagai amanah sekaligus metode untuk menegakkan hukum syarak yang menjamin keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi semua orang.

Oleh karenanya, posisi penguasa, rakyat, dan wakilnya dalam sistem Islam justru saling kukuh mengkukuhkan. Masing-masing menjalankan fungsinya sesuai syariat Islam dan sangat kental dengan dimensi ruhiyah. Penguasa menjalankan fungsi mengurus dan menjaga rakyat dengan menjalankan Islam secara kaffah, sementara rakyat wajib taat dan turut menjaga pelaksanaan syariat melalui aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar, baik secara langsung atau mewakilkan kepada Majelis Umat.

Melalui mekanisme holistik inilah segala bentuk kesewenang-wenangan akan tercegah dengan sendirinya. Terlebih dalam struktur Khilafah, ada lembaga lain selain Majelis Umat yang disebut Mahkamah Mazalim yang bertugas mencegah munculnya tindak kezaliman yang dilakukan para penguasa atas rakyatnya. Mahkamah ini bahkan memiliki kewenangan hingga memecat Khalifah jika terbukti ada berbagai perkara yang menghilangkan salah satu syarat yang harus ada dalam syarat pengangkatan Khalifah.

Adapun terkait posisinya, Majelis Umat adalah salah satu bagian dari struktur Khilafah. Akan tetapi mereka bukan pegawai negara yang berhak digaji atau meminta gaji dari negara. Mereka boleh diberi tunjangan dari negara sekadar agar mereka bisa menunaikan tupoksinya dengan sebaik-baiknya. Meski anggarannya diambil dari baitulmal dengan besaran yang diserahkan pada ketetapan Khalifah, tetapi mekanisme ini dipastikan tidak akan memengaruhi fungsinya dalam muhasabah.

Rahasianya adalah karena semua fungsi berjalan di atas landasan ruhiyah dan semua pihak siap taat pada koridor syariat. Baik penguasa, rakyat, maupun anggota majelis umat, semuanya paham, bahwa hidup hanya sementara, sedangkan Allah SWT. Maha Teliti dan Maha Adil balasan-Nya. 

Jelas, Indonesia bisa tanpa DPR. Indonesia juga bisa tanpa sistem demokrasi Kapitalisme. Indonesia bisa menerapkan sistem Islam kaffah yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad memimpin peradaban dunia dengan penuh kegemilangan. Marilah bersama-sama kita mewujudkannya. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat, tanpa nanti tanpa tapi. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar