Oleh: Safira Luthfia
Terbilang sudah 80 tahun lamanya Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda. Di balik keseruan upacara dan ornamen merah putih di jalan, kenyataan yang dialami masyarakat sangat jauh dari makna “merdeka” yang sebenarnya.
Dalam bidang ekonomi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam hampir semua sektor industri. Sektor tekstil, teknologi, hingga manufaktur mem-PHK hampir satu juta pekerja. Pendapatan masyarakat stagnan atau bahkan menurun, sementara harga kebutuhan pokok terus meroket. Pajak demi pajak dari pemerintah semakin menambah tekanan. Akibatnya, banyak keluarga harus menguras tabungan mereka hanya untuk bertahan hidup. Ironisnya, kelas menengah yang dahulu dianggap sebagai pilar ekonomi kini menjadi rentan terhadap kemiskinan.
Situasi ini memperlihatkan bahwa kemerdekaan yang kita rayakan lebih bersifat simbolis. Jika tolak ukur kemerdekaan adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat — makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan — maka bangsa ini belum sepenuhnya merdeka.
Penjajahan Gaya Baru: Dari Perut ke Pemikiran
Penjajahan yang dialami Indonesia saat ini bukan lagi tentang tentara asing yang memasuki wilayah kita. Bentuknya jauh lebih halus, namun efeknya lebih dalam: sistem ekonomi, politik, dan budaya yang mengekang. Kapitalisme global mengatur kebijakan negara, memastikan bahwa keuntungan terus mengalir kepada segelintir orang kaya, sementara mayoritas rakyat berjuang hanya untuk bertahan hidup.
Tidak berhenti di situ, penjajahan juga merambah aspek pemikiran. Melalui program deradikalisasi, kampanye “Islam moderat,” serta dialog antaragama yang ditutupi narasi toleransi, umat Islam diarahkan untuk menjauh dari ajaran Islam yang sepenuhnya. Pemikiran Islam digantikan dengan perspektif sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Sehingga, umat kehilangan kemampuan berpikir tepat, dan mudah dipengaruhi untuk memperkuat sistem yang menindas diri mereka sendiri.
Fenomena bendera One Piece yang banyak terlihat akhir-akhir ini bisa menjadi refleksi yang menarik. Ini mencerminkan bagaimana orang bisa bersatu, kreatif, dan bersemangat untuk sebuah simbol fiksi yang membawa tema petualangan dan kebebasan. Sayangnya, semangat kolektif besar ini belum diarahkan untuk melawan penjajahan kapitalisme yang nyata. Kita terjebak dalam euforia simbolik, tetapi lupa untuk berjuang demi kemerdekaan sejati yang memerlukan kesadaran politik dan ideologis.
Islam Kaffah: Jalan Menuju Kemerdekaan Sejati
Penyebab utama keterpurukan ini adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme yang lebih mendukung kepentingan pihak kaya dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat. Selama sistem ini tetap menjadi dasar negara, kemerdekaan sejati hanyalah sebuah angan-angan.
Islam kaffah menawarkan solusi yang nyata dan telah terbukti. Dalam sistem Islam, kepemilikan bersama seperti sumber daya alam dikelola oleh negara demi kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga, menciptakan lapangan kerja melalui industrialisasi, memberikan tanah kepada mereka yang bersedia mengolahnya, dan mendistribusikan bantuan kepada orang-orang miskin melalui baitulmal.
Lebih dari itu, sistem Islam menjaga cara berpikir umat agar tetap sejajar dengan ketentuan Allah. Pendidikan, media, dan kebijakan publik diarahkan untuk membangun ketakwaan, bukan merusaknya. Dengan cara ini, kemerdekaan tidak hanya diperoleh dalam aspek materi, tetapi juga dalam cara berpikir dan perasaan.
Dari Simbol ke Perubahan Nyata
Fenomena bendera One Piece menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan luar biasa untuk bersatu dan bertindak jika ada simbol yang menyentuh hati mereka. Namun, potensi ini akan tidak berarti jika hanya sebatas hiburan. Usaha untuk mencapai kebebasan yang sejati harus diarahkan pada perubahan sistem, dari kapitalisme menuju penerapan Islam secara menyeluruh.
Transformasi ini tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba atau setengah-setengah, tetapi harus dipimpin oleh kelompok dakwah Islam yang ideologis dan konsisten dalam menyerukan umat untuk melihat Islam sebagai solusi. Ketika energi kolektif umat diarahkan untuk mendirikan sistem yang benar, pada saat itulah kebebasan yang sesungguhnya akan terwujud—kebebasan yang tidak hanya membebaskan tanah, tetapi juga membebaskan umat dari belenggu pemikiran dan sistem yang kufur, serta mengembalikan kemuliaan syariat Islam di hadapan dunia.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar