Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Korupsi di Indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime karena sifatnya yang sangat merusak, mengutip aclc.kpk.go.id. Namun, vonis penjara yang dijatuhkan kerap berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan publik. Lewat remisi, pembebasan bersyarat, atau kebijakan hukum lainnya, sejumlah koruptor kelas kakap kembali menghirup udara bebas.
Seperti halnya menjelang HUT kemerdekaan RI tahun ini, sejumlah narapidana termasuk pelaku tindak pidana korupsi justru mendapat kado “istimewa” berupa remisi masa hukuman. Diantaranya adalah terpidana korupsi e-KTP Setya Novanto yang memperoleh remisi total selama 28 bulan 15 hari.
Tidak hanya Setya Novanto, ribuan narapidana lain di berbagai wilayah Indonesia juga mendapatkan pengurangan masa tahanan dalam rangka HUT ke-80 RI. Khusus di Sulawesi Selatan, tercatat sebanyak 5.898 narapidana menerima Remisi Umum (RU).
Dari total penerima remisi tersebut, sebanyak 5.731 orang mendapat RU I dengan pengurangan masa hukuman 1–6 bulan. Sementara itu, 167 narapidana memperoleh RU II atau dinyatakan bebas murni. Selain itu, Kanwil Ditjenpas Sulsel juga memberikan remisi Dasawarsa kepada 7.343 narapidana lain yang memenuhi syarat sesuai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.Dalam data yang dirilis, penerima remisi berasal dari berbagai tindak pidana, termasuk 145 narapidana korupsi, 21 kasus perdagangan manusia (human trafficking), serta 3.133 narapidana kasus penyalahgunaan maupun peredaran narkotika.
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Ditjen PAS Sulsel, Rudy Fernando Sianturi, menjelaskan bahwa remisi menjadi bentuk apresiasi negara terhadap narapidana yang menunjukkan perilaku baik selama menjalani masa hukuman.
“Remisi ini tidak semerta-merta diberikan. Para warga binaan telah menunjukkan kelakuan baik dan mengikuti seluruh kegiatan pembinaan,” ujar Rudy. (Harian Fajar online, 17/8/2025).
Boleh saja, hanya saja jika menilik pada kerugian negara dan dampak buruk terhadap masyarakat yang disebabkan oleh mantan terpidana, selayaknya pemberian amnesti tidak berdasarkan kepentingan seseorang. Apalah daya, sistem yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalisme yang meniscayakan hal itu akan tetap terjadi meskipun berganti tahun atau rezim.
Berbeda dengan Islam yang datang dari Allah SWT. yang Maha Pencipta dan Pengatur, aturan yang lahir adalah sesuai fitrah manusia dan memuaskan akal. Syariat Islam telah mengatur dengan sedemikian terperinci terkait pengampunan dan pembatalan hukuman ini.
Berkaitan dengan pengampunan atau abolisi, dijelaskan dengan terperinci dalam kitab Nizham al-Uqubah karya Abdurrahman al-Maliki bahwa pengampunan itu berbeda-beda tergantung perbuatannya. Jika kejahatan tersebut termasuk dalam perkara hudud, tidak ada komentar lagi tentang tidak boleh adanya pengampunan dalam perkara hudud secara mutlak. Ini didasarkan pada banyaknya hadis yang berbicara tentang masalah ini. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, “Satu buah had (hudud) yang diterapkan dalam dunia ini, lebih baik daripada diturunkannya hujan selama 40 hari (subuh).”
Abu Daud meriwayatkan dari Umar, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa yang menyelesaikan (perkara) dengan pengampunan tanpa menjalankan hukum had dari hudud Allah, ia berarti melawan perintah Allah.”
Diriwayatkan dari Imam Muslim dari Shafwan bin Umayyah berkata, “Aku sedang tidur di dalam masjid, sementara aku membawa kain. Tiba-tiba kain itu dicuri. Kami pun menangkap pencurinya lalu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Beliau memerintahkan hukum potong tangan, aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah hukum potong tangan itu untuk kain yang seharga 30 dirham? Lebih baik aku hibahkan saja kepadanya.” Maka beliau Saw. menjawab, “Jika demikian, mengapa tidak engkau lakukan sebelum datang kepadaku?”
Hadis ini sangat jelas menunjukkan tentang larangan memberikan pengampunan kepada hudud secara mutlak. Tidak bagi khalifah maupun shahibul haq setelah perkaranya sampai ke tangan penguasa.
Sedangkan dalam perkara jinayah, anak Adam berhak memberikan pengampunan sebelum ia melaporkannya kepada kadi maupun setelah ia melaporkan. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Syuraih al-Khaza’i ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barang siapa ditumpahkan darahnya dan dilukai, ia berhak memilih salah satu di antara tiga ini, yaitu meminta kisas, mengambil diat, atau memberi maaf.’”
Hadis ini dengan jelas menyatakan bolehnya seorang anak Adam memberi pengampunan. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. yang bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki memberi pengampunan dari sebuah kezaliman, kecuali Allah akan menambahkan kepadanya satu kemuliaan.”
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Darda yang berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki yang tertimpa sesuatu di badannya kemudian ia bersabar, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya dan mencabut dosa-dosanya.”
Pengampunan dalam masalah jinayah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 178,
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَا صُ فِى الْقَتْلٰى ۗ اَلْحُرُّ بِا لْحُـرِّ وَا لْعَبْدُ بِا لْعَبْدِوَا لْاُ نْثٰى بِا لْاُ نْثٰى ۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَا تِّبَا عٌ بِۢا لْمَعْرُوْفِ وَاَ دَآءٌ اِلَيْهِ بِاِ حْسَا نٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَا بٌ اَلِيْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih."
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa anak Adam berhak memberikan pengampunan dalam masalah jinayah. Tersebab topik pembahasannya adalah jinayah, maka pengampunan hanya berlaku khusus pada topik yang disebutkan oleh nas.
Jadi, pengampunan dalam perkara jinayah hanya dibolehkan dari pihak shahibul haq. Sedangkan posisi negara dalam jinayah, jika shahibul haq mengampuni, sanksinya menjadi gugur dan negara tidak berhak menjatuhkan sanksi. Oleh karena itu, negara bukanlah pihak yang memberikan pengampunan.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 179,
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan dalam kisas ada jaminan kehidupan bagimu, wahai orang-orang berakal agar kamu bertakwa.”
Ayat ini menjelaskan bahwa keberadaan kisas dapat menjaga kehidupan dan tidak adanya kisas menyebabkan tidak adanya kehidupan. Artinya, penjagaan negara terhadap kehidupan merupakan sebuah kewajiban. Pengampunan dari negara akan menyebabkan ditinggalkannya kewajiban. Hal ini tidak diperbolehkan karena Allah SWT. telah mengharamkan pengampunan dalam perkara hudud dengan larangan yang sangat jelas sebab hudud adalah hak Allah SWT.
Dalam perkara jinayah, negara tidak berhak untuk menggugurkannya dan memberikan pengampunan terhadapnya. Itu sebabnya, penguasa tidak boleh memberikan maaf. Ia wajib menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan oleh Asy-Syaari’ demi hak-Nya.
Sedangkan takzir, penetapan sanksinya diserahkan kepada khalifah dan kadi sebagai wakil dari khalifah. Khalifah berhak meringankan sanksi atau memberikan pengampunan dan tidak wajib menjatuhkan sanksi. Dalilnya adalah riwayat Imam Ahmad dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seorang laki-laki yang mendatangi seorang wanita yang dikenalnya, tetapi ia tidak mendatangi istrinya, kecuali setelah ia mendatangi wanita tersebut; tetapi ia tidak menyetubuhi wanita tersebut?”
Allah SWT. kemudian menurunkan QS. Hud ayat 114,
وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَا رِ وَزُلَـفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗ اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ ۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ
"Dan laksanakanlah sholat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)." Kemudian beliau Saw. bersabda, “Berwudulah, kemudian salatlah!”
Laki-laki tersebut telah melakukan perbuatan haram dan mengaku di depan Rasulullah Saw. Akan tetapi, Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan sanksi kepadanya dan memerintahkannya untuk berwudu dan salat.
Rasulullah Saw. juga pernah meringankan sanksi bagi pelaku kejahatan dan menetapkan sanksi pada tingkatan yang paling ringan. Dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Maafkanlah orang yang berperilaku baik, kecuali hudud.”
Demikian sempurnanya Islam mengatur tentang peradilan, hingga mengatur pula tentang mekanisme pengampunan hukuman dengan sedemikian detail. Dalam fikih peradilan hukum Islam, ketika seorang kadi telah menetapkan keputusan hukuman terhadap terdakwa, hukuman tersebut bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun, termasuk oleh penguasa.
Oleh karenanya, jika dinisbahkan kepada takzir dan mukhalafat, kadi tidak boleh menganulirnya, meringankannya, dan melakukan apa pun secara mutlak selama keputusan tersebut mengandung hudud syar’i. Terkecuali dalam masalah jinayah, itu pun jika shahibul haq memberikan maaf. Terkait kasus tindak kejahatan suap korupsi, jelas dalam kasus ini tidak boleh ada pengampunan ataupun keringanan.
Mekanisme peradilan yang baku dan sangat terperinci ini membuat hukum dan aturan Islam berjalan secara efisien dan menutup celah permainan hukum. Terlebih lagi mekanisme ini dibarengi dengan proses pembuktian serta ketentuan hukum yang jelas yang telah ditetapkan syarak. Alhasil, kadi memutuskan perkara bukan berdasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan tuntunan hukum Allah.
Indonesia bisa menjalankan mekanisme peradilan semacam itu asalkan mau mengganti sistem kapitalisme untuk kemudian menerapkan sistem Islam. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar