Oleh : Sophia Halima Ismi
Indonesia kembali dihadapkan pada potret buram pengelolaan anggaran negara. Di satu sisi, Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah—yang menjadi ujung tombak pelayanan publik—harus bersiap menghadapi pemotongan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) akibat keterbatasan keuangan daerah. Di sisi lain, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat justru menikmati kenaikan penghasilan fantastis. Setelah adanya kebijakan baru terkait tunjangan rumah, penghasilan resmi wakil rakyat kini menembus lebih dari Rp100 juta per bulan.
Kondisi ini menimbulkan ironi besar: sama-sama bekerja untuk negara, tetapi perlakuan berbeda sangat kentara. ASN di Bekasi dan banyak daerah lain harus merelakan hak kesejahteraannya demi menutup defisit APBD, sementara para wakil rakyat di Senayan bergelimang fasilitas mewah dengan dalih representasi jabatan.
Fenomena ini menegaskan bagaimana distribusi kesejahteraan di negeri ini timpang dan anggaran lebih berpihak pada elit politik ketimbang rakyat kecil. Tidak hanya itu, demokrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat malah berubah menjadi arena elitisme yang mengutamakan kenyamanan penguasa dibanding keadilan sosial.
Fakta Lapangan : ASN Terancam Pemotongan, DPR Justru Dimanjakan
1. Potensi Pemotongan TPP ASN Bekasi
Menurut laporan Radar Bekasi (22 Agustus 2025), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi menghadapi keterbatasan keuangan daerah sehingga TPP ASN berpotensi dipotong. TPP selama ini menjadi salah satu sumber penunjang kesejahteraan ASN di luar gaji pokok, sekaligus pendorong kinerja mereka. Namun, saat kas daerah seret, hak ini justru yang pertama kali dikorbankan.
ASN sejatinya merupakan tulang punggung pelayanan publik di daerah. Mereka mengurus administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga layanan sosial masyarakat sehari-hari. Jika kesejahteraan mereka terpangkas, bukan hanya ASN yang menderita, melainkan juga kualitas layanan publik akan menurun drastis.
2. DPR dengan Gaji dan Tunjangan Rp100 Juta Lebih
Berbeda dengan ASN di daerah, anggota DPR pusat justru menikmati kue anggaran yang melimpah. Menurut data CNBC Indonesia (23 Agustus 2025), penghasilan wakil rakyat kini menembus Rp100 juta per bulan, setelah adanya penambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Dengan tambahan ini, negara harus mengeluarkan setidaknya Rp174 triliun per tahun hanya untuk gaji dan tunjangan anggota DPR.
Padahal, tugas DPR adalah mewakili rakyat, membuat undang-undang, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, justru merekalah yang kerap menjadi sorotan karena abai terhadap kebutuhan mendesak rakyat banyak, seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial.
Analisis : Ironi dan Ketidakadilan Sistem
1. Ironi: Sama-sama Bekerja untuk Negara, Perlakuan Beda
ASN dan anggota DPR sama-sama bekerja untuk kepentingan negara, namun perlakuan anggaran sangat timpang. ASN di daerah yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat dipotong haknya ketika anggaran seret, sementara DPR tetap mendapat fasilitas penuh bahkan meningkat.
2. Anggaran Berpihak pada Elit
Fenomena ini menegaskan keberpihakan anggaran kepada elit politik. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mendapat jaminan kenyamanan hidup, sedangkan pelayan publik dan rakyat kecil harus menanggung beban ketika krisis terjadi.
3. Distribusi Kesejahteraan Timpang
Kesejahteraan dalam sistem demokrasi kapitalistik tidak pernah merata. Anggaran belanja negara lebih sering diarahkan untuk memenuhi kepentingan segelintir pejabat ketimbang menjamin kebutuhan dasar rakyat. Distribusi seperti ini memicu kesenjangan sosial yang makin dalam.
4. Demokrasi Elitis dan Oligarki
Demokrasi di Indonesia semakin menunjukkan wajah elitisnya. Wakil rakyat lebih sibuk menjaga fasilitas, tunjangan, dan privilese mereka sendiri dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat. Parlemen berubah menjadi arena oligarki, tempat elit politik mengamankan kepentingannya dengan mengorbankan rakyat.
5. Beban Krisis Selalu Ditanggung Rakyat
Setiap kali negara mengalami defisit anggaran, yang dikorbankan adalah hak rakyat, baik dalam bentuk subsidi yang dicabut, tunjangan ASN yang dipotong, maupun kenaikan harga kebutuhan pokok. Sebaliknya, fasilitas pejabat dan gaji wakil rakyat tetap aman, seolah tidak tersentuh oleh krisis.
Perspektif Islam : Negara Wajib Adil dan Melayani Rakyat
Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalistik, Islam memiliki pandangan yang sangat jelas dalam hal pengelolaan anggaran dan kesejahteraan rakyat.
1. Tidak Ada DPR dalam Daulah Islam
Dalam sistem Islam, tidak dikenal lembaga DPR yang membebani keuangan negara dengan gaji fantastis. Dewan rakyat (Majlis Ummah) hanya bersifat konsultatif dan pengurusannya tidak menuntut fasilitas mewah. Pengeluaran negara pun tidak tersedot untuk memanjakan elit politik.
2. Prioritas Pelayanan Publik
ASN atau pegawai negara yang langsung melayani umat justru dijamin kesejahteraannya. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, seorang pemimpin wajib memastikan bahwa para pelayan publik yang bekerja untuk umat terpenuhi haknya sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
3. Keadilan Anggaran
Islam menekankan bahwa harta negara (baitul mal) dikelola untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan memperkaya elit. Khalifah Umar bin Khaththab dikenal sangat tegas dalam hal ini. Beliau hidup sederhana dan memastikan setiap rakyatnya mendapat hak yang layak.
4. Sumber Keuangan Negara yang Kokoh
Islam memiliki sumber pendapatan yang tetap, seperti zakat, kharaj, jizyah, fai’, ghanimah, dan hasil pengelolaan kepemilikan umum (air, energi, hutan, tambang). Dengan sumber-sumber ini, keuangan negara tidak bergantung pada pajak berlebihan maupun utang luar negeri yang mencekik.
5. Kepedulian Sosial dalam Islam
Islam membangun kepedulian sosial yang kuat di antara masyarakat. Seorang Muslim tidak akan membiarkan saudaranya hidup dalam kesulitan. Solidaritas ini menjadi penopang kesejahteraan yang nyata, bukan sekadar jargon politik.
Kasus potensi pemotongan TPP ASN Pemkab Bekasi di tengah melonjaknya gaji DPR adalah potret nyata ketidakadilan dalam pengelolaan anggaran negara. Anggaran lebih berpihak kepada elit politik ketimbang rakyat kecil. Demokrasi yang dijalankan hanya melahirkan elitisme dan kesenjangan sosial.
Dalam perspektif Islam, kondisi ini tidak akan terjadi. Negara berkewajiban penuh menjamin kesejahteraan rakyat, mengelola anggaran dengan adil, serta mengutamakan pelayanan publik di atas kepentingan elit. Tanpa DPR dengan fasilitas mewah, tanpa pemborosan untuk pejabat, dan dengan sumber-sumber keuangan negara yang kokoh, Islam mampu mewujudkan kesejahteraan yang hakiki.
Hanya dengan sistem Islam yang kaffah, keadilan dalam distribusi kesejahteraan dapat terwujud, dan tidak ada lagi ironi seperti ASN dipotong haknya sementara elit hidup bergelimang kemewahan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar