Menyoal Para Wakil yang Tak Merakyat


Oleh : Ummu Hanan 

Keberadaan para anggota dewan di Senayan dan kontribusi mereka kepada rakyat kembali menjadi sorotan. Wacana kenaikan gaji para wakil rakyat ini di tengah polemik kenaikan pajak yang membumbung tingga telah memunculkan gejolak di tengah masyarakat. Diberitakan bahwa para anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) memeroleh berbagai tunjangan hidup dengan nilai fantastis yang jika digabungkan dengan gaji setiap bulannya maka tidak akan kurang dari Rp100 juta (beritasatu.com, 20/8/2025). Hal yang cukup kontroversial dibalik kenaikan tunjangan ini adalah adanya tunjangan rumah yang nilainya sebesar Rp 50 juta per bulan sebagai ganti atas fasilitas rumah dinas yang sebelumnya diberikan. Gaji dan tunjangan anggota DPR tahun ini konon mengalami peningkatan dua kali lipat dari gaji dan tunjangan pada periode sebelumnya (bbc.com, 19/8/2025).

Kebijakan kenaikan gaji serta tunjangan anggota DPR telah menyakiti rakyat. Bagaimana tidak, realitas ini muncul di tengah himpitan kehidupan yang harus dirasakan masyarakat secara luas. Rakyat saat ini tengah menghadapi kenyataan pahit akan naiknya beragam kebutuhan hidup mereka ditambah kenaikan beban pajak yang membumbung tinggi. Belum lagi maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhirnya berimbas pada hilangnya mata pencaharian bagi para pencari nafkah. Rakyat harus berjibaku memenuhi kebutuhan hidup jika sumber penghidupan mereka diputus oleh kebijakan penguasa yang hanya berpihak pada pemilik modal. Jika sudah demikian tentu akan membuka potensi kesenjangan di tengah masyarakat. Orang yang kaya hidup dengan segala kemewahan dan harta melimpah adapun si miskin harus membanting tulang sekadar mendapatkan sesuap nasi.

Kesenjangan merupakan kondisi yang akan selalu muncul dalam sistem seperti saat ini. Sistem kapitalisme telah melazimkan adanya ketimpangan di tengah pemenuhan kehidupan manusia. Seperti halnya pada para pejabat dan rakyatnya, keduanya hakikatnya adalah sama sama manusia namun dengan pengaturan ala kapitalisme yang sekuler terjadi bias pemenuhan. Pejabat, misalnya, mendapatkan begitu banyak tunjangan serta fasilitas hidup sedangkan rakyat tidak demikian. Mengapa? Sebab pejabat atau para penguasa dalam sistem kapitalisme merupakan regulator yang menjembatani pada pemilik modal untuk mendapat akses komersialisasi terhadap hajat hidup masyarakat, yang dengan itu penguasa akan mendapat kompensasi berupa materi. Oleh karenanya di dalam sistem demokrasi kapitalisme telah melahirkan politik transaksional. Para penguasa tidak lagi bekerja untuk mengayomi rakyat namun untuk melayani para pemilik modal.

Sistem demokrasi kapitalisme menjadikan amanah kekuasaan sebagai alat menindas. Jabatan yang seharusnya dapat menghantarkan seseorang pada kemuliaan justru menjadi kehinaan sebab menjadi wasilah memperkaya diri akibatnya hilang kepekaan terhadap kondisi rakyatnya. Sistem demokrasi memutus hubungan antara penguasa dengan rakyat. Seolah diantara keduanya terdapat tembok yang sangat tinggi dan tidak saling mengenal satu sama lain. Suara rakyat nyaris tak pernah didengar kecuali ketika ada kepentingan citra penguasa khususnya saat mendekati tahun politik. Padahal keebradaan penguasa bukan tanpa sebab melainkan untuk menjadi perwakilan rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Setidaknya jika jargon demokrasi itu benar maka seharusnya semua yang dilakukan oleh penguasa adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya? Demokrasi hanya melestarikan kepentingan para pemilik modal.

Penguasa sejatinya adalah pengayom rakyat. Setidaknya konsep inilah yang diajarkan di dalam Islam. Nabi saw bersabda dalam salah satun hadits yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in, ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya” (HR Bukhari). Makna raa’in dalam hadits tersebut tidak lain adalah pemimpin atau penggembala, artinya seseorang yang bertanggung jawab terhadap objek tanggungannya. Islam memerintahkan kepada para penguasa untuk benar-benar memperhatikan pemenuhan kebutuhan rakyat melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Penguasa wajib memperhatikan setiap detil hajat hidup rakyat agar jangan sampai jatuh kepada jurang kesengsaraan dan mudarat seperti sekarang. Oleh karena itu terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam hal asas yakni akidah Islam yang melatari keberadaan penguasa pada sistem Islam.

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dan setiap amanah tentunya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt. Islam tidak menolerir adanya upaya penyalahgunaan kekuasaan apalagi sampai muncul keinginan untuk menjadikannya alat memperkaya diri. Para wakil rakyat yang ada dalam sistem Islam seperti Majelis Umat pada dasarnya hanyalah representasi umat yang bertugas menyalurkan aspirasi bukan inpirasi menindas mereka. Disinilah pentingnya pembentukan kepribadian Islam dalam diri setiap Muslim tanpa terkecuali pada pribadi wakil rakyat. Keinginan yang besar untuk melakukan amal terbaik di sisi Allah lahir dari dorongan ketakwaan yang kuat. Suasana kehidupan semacam ini hanya akan tercipta dengan penerapan syariat Islam kaffah. Sehingga tidak lagi kita mempersoalkan adanya para wakil rakyat yang tak merakyat melainkan para pemimpin yang mengayomi rakyat dengan Islam. Allahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar