Oleh : Rahmah Thayyibah
Sudah delapan dekade Indonesia merdeka. Namun, di balik perayaan panjang itu, masih ada kenyataan pahit yang harus diakui: pendidikan dan kesehatan—dua kebutuhan dasar rakyat—masih jauh dari kata merata.
Di banyak daerah terpencil, anak-anak harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk bersekolah. Data terbaru bahkan menunjukkan angka partisipasi sekolah menengah atas mengalami penurunan signifikan (cnnindonesia.com, 14-08-2025).
Sektor kesehatan pun tak kalah memprihatinkan. Layanan medis masih dianggap “barang mahal”. Rasio dokter di Indonesia hanya 0,4 per 1.000 jiwa, jauh di bawah standar WHO, yaitu 1 per 1.000 jiwa. Begitu pula puskesmas yang baru 1,4 per 100.000 penduduk, masih di bawah rekomendasi WHO (2 per 100.000). Tak heran jika stunting dan gizi buruk tetap tinggi.
Pertanyaannya, mengapa setelah delapan dekade merdeka, rakyat masih kesulitan menikmati hak pendidikan dan kesehatan secara layak?
Jika dianalisis lebih mendalam, faktor utama yang berperan dalam persoalan ini adalah sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dan kesehatan tidak dipandang sebagai hak mendasar rakyat, melainkan sebagai komoditas.
Akibatnya, akses terbaik hanya dinikmati oleh mereka yang mampu secara finansial, sementara masyarakat miskin dan daerah terpencil tetap terpinggirkan.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan, hasilnya masih belum merata.
Di bidang pendidikan, Pemerintah berupaya memperluas akses pendidikan melalui program bantuan seperti beasiswa KIP, dana BOS, pembangunan sekolah, serta digitalisasi pembelajaran. Pendidikan vokasi juga terus dikembangkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri.
Meski begitu, sejumlah kendala masih menghambat tercapainya pemerataan pendidikan. Tingkat partisipasi sekolah menengah, terutama SMA/SMK, masih rendah di banyak daerah. Kualitas guru juga belum merata karena minimnya pelatihan, sementara infrastruktur pendidikan di daerah terpencil masih terbatas, seperti sekolah rusak, laboratorium yang tidak memadai, hingga akses internet yang minim.
Di sisi lain, pendidikan tinggi berkualitas masih menjadi barang mahal yang hanya bisa dijangkau kalangan tertentu, dan kurikulum belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan dunia kerja, sehingga lulusan masih menghadapi tingginya angka pengangguran.
Dalam bidang kesehatan, berbagai program penurunan angka stunting dijalankan melalui peningkatan gizi, perbaikan sanitasi, serta edukasi masyarakat. Upaya ini juga diperkuat dengan digitalisasi layanan, seperti SATUSEHAT dan telemedicine.
Namun, upaya tersebut menghadapi berbagai keterbatasan. Ketimpangan akses kesehatan antarwilayah masih mencolok, terutama di daerah terpencil yang kekurangan tenaga medis. Banyak fasilitas kesehatan juga masih minim peralatan dan obat-obatan, ditambah masalah defisit BPJS yang menyebabkan antrean panjang hingga penolakan layanan. Selain itu, pemanfaatan layanan digital juga belum optimal karena terbatasnya infrastruktur internet di sejumlah wilayah.
Inilah gambaran semu ketika kapitalisme dijadikan landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Pertentangan antara kepentingan masyarakat luas dan kepentingan segelintir elit politik akan selalu muncul, sehingga solusi yang dihasilkan tidak mampu menyelesaikan masalah hingga ke akarnya.
Solusi Islam
Islam menawarkan solusi menyeluruh dengan menempatkan negara sebagai rā’in (pengurus rakyat) yang wajib menjamin kebutuhan dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan. Rasulullah SAW bersabda: “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, pendidikan dan kesehatan tidak boleh menjadi barang dagangan, melainkan hak publik yang harus diberikan untuk semua kalangan masyarakat.
Negara berkewajiban menyediakan layanan pendidikan gratis, merata, dan berkualitas bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Pendidikan diarahkan tidak hanya untuk membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membentuk akidah yang kokoh serta kepribadian Islami.
Demikian pula, layanan kesehatan dalam sistem Islam diberikan secara gratis, mudah diakses, dan setara untuk seluruh lapisan masyarakat. Negara membangun rumah sakit, pusat layanan medis, serta memastikan ketersediaan tenaga kesehatan yang memadai, semua dibiayai dari Baitul Mal melalui pengelolaan kekayaan alam, zakat, kharaj, jizyah, dan sumber syar’i lainnya.
Dengan mekanisme ini, negara memiliki dana yang sangat cukup untuk membangun sekolah, universitas, rumah sakit, serta fasilitas kesehatan hingga pelosok negeri tanpa harus bergantung pada swasta atau utang luar negeri. Infrastruktur pendukung seperti jalan, jembatan, dan transportasi publik juga disediakan untuk menjamin akses yang mudah bagi seluruh rakyat.
Dengan demikian, ketidakmerataan pendidikan dan kesehatan yang terjadi saat ini sejatinya lahir dari sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas kepentingan rakyat.
Islam hadir dengan solusi fundamental: menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai hak rakyat yang dijamin sepenuhnya oleh negara. Hanya dengan penerapan sistem Islam, cita-cita kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat dapat benar-benar diwujudkan.
Wallahualam bi ashawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar