Kohabitasi dan Tragisnya Pergaulan Bebas


Oleh: Rumaisha (Pejuang Literasi)

Alvi Maulana ditangkap Polres Mojokerto di kamar kosnya di kawasan Lidah Wetan, Surabaya, pada Minggu (7/9/2025). Alvi meminta maaf usai membunuh dan memutilasi kekasihnya TAS (25). Hal itu ia lakukan karena didorong rasa amarah. (Surabayakompas.com, 8/9/2025)

Publik pun gempar dengan kasus mutilasi sadis di Mojokerto tersebut. Polisi menemukan puluhan potongan tubuh seorang perempuan muda, dan setelah ditelusuri lebih jauh, ratusan potongan tubuh lain disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya. Motifnya sepele: kesal tidak dibukakan pintu kos dan merasa tertekan dengan tuntutan ekonomi dari korban.

Kisah memilukan ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, tetapi menyisakan catatan penting tentang gaya hidup generasi muda. Fenomena living together atau kohabitasi, tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan kian marak. Alasannya beragam, mulai dari ingin saling mengenal lebih jauh sebelum menikah, sampai alasan praktis seperti efisiensi biaya hidup.

Bahkan, menurut psikolog Virginia Hanny, ada tiga pertimbangan bagi pasangan sebelum memutuskan tinggal bersama: kemauan kedua belah pihak, kesiapan menentukan lokasi dan biaya hidup, serta tujuan dan batasan tinggal bersama. Namun, “pertimbangan praktis” semacam ini seringkali melupakan satu hal mendasar yaitu aspek moral dan nilai agama.


Pengaruh Sekularisme yang Merusak

Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan manusia bebas bertindak tanpa kendali halal-haram. Saat marah, cinta, atau kecewa, ia melampiaskan dengan cara apa pun, meski melanggar norma.

Normalisasi kumpul kebo di kalangan muda hanyalah salah satu buah pahit sekularisme. Pacaran dianggap wajar, tinggal serumah dengan pacar dinilai modern, bahkan berbagi tugas rumah tangga tanpa ikatan sah dianggap tren.

Padahal Allah sudah memperingatkan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu perbuatan yang buruk." (QS. Al-Isra' [17]: 32)

Ayat ini menegaskan, bukan hanya zina yang dilarang, tapi seluruh aktivitas yang mendekatkan kepada zina: pacaran, tinggal bersama tanpa ikatan sah, hingga perilaku yang membuka pintu maksiat.

Lebih parah lagi, negara tidak menyiapkan rakyatnya dengan pemahaman hidup yang benar. Pacaran dan perzinaan tidak dipandang sebagai tindak pidana, kecuali ada korban. Artinya, pergaulan bebas dibiarkan subur, sementara masyarakat menuai dampaknya. Rusaknya moral, hancurnya keluarga, dan munculnya tragedi mengerikan seperti mutilasi ini.


Islam Solusi Masalah Manusia

Islam menawarkan sistem sosial yang melindungi individu sekaligus masyarakat. Tiga pilar ini akan menjadi kehidupan terjaga dari segala macam kerusakan.

Pertama, ketakwaan individu menjadi benteng awal agar manusia mampu bertindak sesuai tujuan penciptaannya: beribadah kepada Allah Swt.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Dengan ketakwaan, seseorang akan menjauhi pacaran, kohabitasi, dan tindak kriminal.

Kedua, masyarakat Islam punya kewajiban saling menasihati, mengingatkan, dan mencegah kemungkaran. Rasulullah ï·º bersabda: "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman." (HR. Muslim)
Kontrol sosial ini penting agar pergaulan bebas tidak dinormalisasi.

Ketiga, negara harus hadir dengan menerapkan Islam secara kafah. Negara membentuk kepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah, mengatur pergaulan dengan aturan syariat, serta menegakkan sanksi hukum terhadap pelaku jarimah (tindak pidana syariat). Rasulullah ï·º bersabda: "Imam (Khalifah) adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Di samping itu, Islam juga memberikan sanksi yang berat terhadap pelakunya.

Untuk zina: jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah dera 100 kali (QS. An-Nur [24]: 2). Jika sudah menikah (muhsan), hukumannya rajam (HR. Muslim).

Untuk pembunuhan: hukumannya adalah qishash (dibalas setimpal), kecuali jika keluarga korban memaafkan dan menerima diyat (ganti rugi). 
"Dan Kami telah tetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat), bahwa jiwa dibalas dengan jiwa..." (QS. Al-Maidah [5]: 45)

Sanksi ini bukan sekadar hukuman, melainkan mekanisme preventif. Dengan ketegasan hukum syariat, orang akan berpikir seribu kali sebelum berbuat maksiat atau tindak kriminal. Inilah bentuk penjagaan Islam terhadap jiwa, kehormatan, dan moral masyarakat.

Kasus mutilasi di Mojokerto hanyalah satu dari sekian potret buram akibat gaya hidup bebas yang dilegalkan oleh sistem sekularisme. Hari ini mungkin satu nyawa melayang, besok bisa lebih banyak lagi generasi yang rusak, jika masyarakat terus membiarkan nilai-nilai liberal merusak sendi kehidupan.

Pertanyaannya, sampai kapan kita menutup mata? Apakah kita rela generasi muda terus terjebak dalam jurang pergaulan bebas, dengan alasan kebebasan dan modernitas, sementara masa depan mereka hancur perlahan?

Maka, marilah kita kembali kepada aturan Allah Swt. Karena Islam satu-satunya agama yang benar dan solusi bagi setiap permasalahan manusia, di sanalah terdapat keselamatan, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Wallahu a'lam bishshawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar