Oleh: Yeni Aida
Perum Bulog mencatat program penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) telah mencapai 22 persen dari total penugasan sebesar 1,5 juta ton sepanjang tahun 2025, atau setara 327.718 ton per 6 September 2025.
Padahal menurut Ombudsman RI mengungkap adanya penumpukan hampir 4 juta ton beras impor di gudang Bulog selama lebih dari 1 tahun dengan sebagian menunjukkan penurunan kualitas seperti beras berkutu akibat belum tersalurkan ke pasar atau cara penyimpanan yang kurang baik.
Kualitas beras menjadi fundamental dalam menjaga kepercayaan publik dan stabilitas pangan nasional, terlebih saat beras itu seharusnya sudah beredar di pasar atau melalui program penemuan. Penemuan beras Bulog menumpuk lebih dari 1 tahun ini semakin memperparah momentum kelangkaan serta lonjakan harga beras di pasaran.
Penyaluran melalui operasi pasar maupun bantuan pangan masih sangat terbatas, menciptakan tekanan harga yang nyata di tingkat konsumen. Mengendapnya beras di gudang Bulog semakin menguatkan realita bahwa distribusi beras masih diwarnai berbagai persoalan yang tidak kunjung terselesaikan. Masalah ini dipicu oleh banyak faktor, mulai dari fluktuasi jumlah produksi yang dipengaruhi cuaca dan musim panen, keterbatasan infrastruktur dan tingginya biaya transportasi, rantai pasok yang panjang sehingga menambah biaya distribusi hingga kebijakan dan regulasi yang tidak tepat sasaran.
Semua ini sesungguhnya berakar pada paradigma pengelolaan pangan di sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme negara tidak berperan sebagai ra'in atau pengurus rakyat dan penanggung jawab urusan rakyat secara langsung, melainkan hanya berfungsi sebagai regulator yang mengatur dari kejauhan. Alhasil, urusan vital seperti pangan diserahkan pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir penguasa besar. Para pelaku ini cenderung mengutamakan keuntungan semata dengan praktik-praktik seperti mengandalkan impor meskipun produksi domestik tersedia, menetapkan harga yang merugikan petani kecil dan memegang kendali penuh atas distribusi pangan. Konsekuensinya, distribusi beras tidak merata, harga di pasar tidak terkendali dan daya beli masyarakat miskin semakin tertekan.
Dalam sistem seperti kepentingan rakyat ditempatkan jauh di bawah kepentingan komersial, sehingga masalah distribusi keterjangkauan pangan akan terus berulang tanpa solusi mendasar.
Berbeda dengan kehidupan yang diatur syariat Islam, dalam pandangan Islam negara bukan sekedar pengatur, melainkan ra'in atau pengurus yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan rakyatnya, yang mencakup memastikan seluruh kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan dapat terpenuhi secara layak.
Penguasa dalam sistem Islam wajib menjalankan seluruh aturan yang bersumber dari wahyu Allah swt. tanpa mencampurkan dengan hukum buatan manusia, yaitu dengan penerapan secara kaffah lahirlah pemimpin yang amanah dan bertakwa yang tidak akan mengkhianati rakyat atau membiarkan mereka terpuruk dalam kelaparan dan kemiskinan. Prinsip ini ditegaskan dalam sabda nabi Muhammad saw. "Imam atau (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Negara Islam mengupayakan terwujudnya kemandirian, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, sehingga tidak menggantungkan pasokan pada impor yang rentan pada fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar global untuk itu negara mendorong produksi dalam negeri secara maksimal. Sungguh hanya Khilafah yang dapat mewujudkan kemandirian pangan yang dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar