Arti Sebuah Kekuasaan dalam Sistem Kapitalisme


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Alhamdulillah aksi Wali Kota Prabumulih, Arlan, mencopot Kepala SMPN 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah berakhir damai dan bahagia. Kini Roni sudah kembali bertugas. Sementara sang Wali Kota juga berterima kasih sebab usai peristiwa ini beliau jadi banyak mengambil hikmah dan pelajaran.

"Hasil pemeriksaan, mutasi atau pemindahan jabatan saudara Roni Adriansyah, Kepala SMP Negeri 1 Prabumulih tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah," kata Irjen Kemendagri Sang Made Mahendra Jaya di kantor Itjen Kemendagri, Jakarta Pusat. (detikcom, 19/9/2025).

Sebelumnya, anak sang Wali Kota tidak terima ditegur karena membawa mobil dan memarkirnya di lapangan sekolah, tempat yang biasa dipakai untuk kegiatan. Kemudian ia melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Setelah kejadian itu, kepala sekolah pun langsung diganti. Bukan itu saja, seorang petugas keamanan (satpam) di sekolah tersebut juga dipindahkan.

Inilah ironi kekuasaan dalam sistem Kapitalisme. Kekuasaan disalahgunakan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap bawahannya bahkan masyarakat pada umumnya. Kesombongan meliputi para penguasa seolah-olah dia adalah raja yang harus dilayani dan apapun yang dilakukan adalah kebenaran mutlak yang harus diterima oleh semua pihak. Tidak menerima kritikan, teguran, atau yang lainnya. 

Penguasa dalam sistem Kapitalisme mutlak tidak pernah salah. Kalaupun salah, kembali pada pernyataan pertama yaitu penguasa tidak pernah salah! Lain halnya ketika bawahan atau rakyat, ketika melakukan kesalahan dimana kesalahan tersebut mengusik kekuasaannya maka serta-merta hukuman diberlakukan tanpa perlu proses pengadilan atau merujuk Undang-undang. Bahkan kalau perlu, Undang-undang baru akan dibuat untuk meluluskan kemauan penguasa.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, hukum tidak boleh berpihak. Allah SWT. menegaskan: 
ÙŠٰۤـاَÙŠُّÙ‡َا الَّذِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْا ÙƒُÙˆْÙ†ُÙˆْا Ù‚َÙˆَّا Ù…ِÙŠْÙ†َ Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِ Ø´ُÙ‡َدَآØ¡َ بِا Ù„ْÙ‚ِسْØ·ِ ۖ ÙˆَÙ„َا ÙŠَجْرِÙ…َÙ†َّÙƒُÙ…ْ Ø´َÙ†َاٰ Ù†ُ Ù‚َÙˆْÙ…ٍ عَÙ„ٰۤÙ‰ اَ Ù„َّا تَعْدِÙ„ُÙˆْا ۗ اِعْدِÙ„ُÙˆْا ۗ Ù‡ُÙˆَ اَÙ‚ْرَبُ Ù„ِلتَّÙ‚ْÙˆٰÙ‰ ۖ Ùˆَا تَّÙ‚ُوا اللّٰÙ‡َ ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ø®َبِÙŠْرٌ بِۢÙ…َا تَعْÙ…َÙ„ُÙˆْÙ†َ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah: 8).

Sejarah kekhalifahan Islam mencontohkan hal demikian yang dipraktekkan oleh Khalifah dan para pembantunya. Umar bin Khattab pernah ditegur rakyat di hadapan umum soal pembagian kain. Umar tidak marah, justru menjelaskan dengan jujur dan menerima kritik. Bahkan ketika keputusan Umar tentang mahar dikritik oleh seorang perempuan, Umar berkata dengan lapang dada, "Umar salah dan perempuan itu benar." Beliau tidak malu dikritik ketika memang kritik tersebut sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah maka itulah yang disebut kritik membangun, di masa depan dunia dan akhirat.

Begitupun dengan suri teladan yang telah dicontohkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau pernah bersengketa soal baju besi dengan seorang Yahudi. Kasus itu dibawa ke pengadilan, dan hakim memenangkan pihak Yahudi karena bukti Ali lemah. Ali menerima putusan itu tanpa intervensi, meskipun beliau seorang Khalifah. Justru sikap beliau yang demikian itulah yang menjadikan seorang Yahudi tersebut akhirnya memeluk agama Islam. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pejabat maupun keluarganya tidak kebal hukum.

Dengan penerapan sistem Islam, maka kejadian seperti di Prabumulih mustahil terjadi. Kalaupun sampai terjadi ada anak pejabat kekhilafahan yang mendapat teguran dari pihak sekolah, maka Kepala sekolah dan satpam tidak akan dihukum, justru anak pejabatlah yang akan ditegur atau diberi sanksi bila melakukan kesalahan.

Seorang wali kota yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melindungi keluarganya bahkan bisa dicopot atau dihukum, karena jabatan adalah amanah, bukan warisan atau hak istimewa. Mutasi atau rotasi jabatan tetap ada dalam Islam, tapi dilakukan atas dasar kebutuhan umat, bukan untuk balas dendam atau menyenangkan penguasa.

Demikianlah dengan penerapan Islam kaffah, tidak akan ada lagi raja kecil yang pongah berlaku seenaknya mendzolimi. Tidak akan ada pula pihak atau orang yang terdzolimi. Indonesia bisa seperti itu asalkan mau menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Mau?

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar