Tunjangan Anggota DPR Fantastis, Potret Kesenjangan di Negeri Kapitalis


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si (Penulis artikel Islami)

Pasca massa melakukan aksi protes belum lama ini dan meluapkan kemarahannya terhadap kebijakan pemerintah, DPR RI akhirnya merespons gelombang kritik publik yang dituangkan dalam 17+8 Tuntutan Rakyat. DPR RI mengeklaim akan melakukan sejumlah langkah konkret untuk mengevaluasi gaji maupun tunjangan anggota dewan. 

Salah satu langkah yang ditempuh adalah menghapus fasilitas paling kontroversial: tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan bagi anggota dewan. Selain itu akan dilakukan juga pemangkasan tunjangan dan fasilitas lainnya, seperti listrik, biaya telepon, komunikasi dan transportasi. Total ada 6 poin jawaban DPR atas 17+8 Tuntutan Rakyat.

Sementara itu, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai sekalipun sudah melakukan penghapusan berbagai tunjangan, jumlah gaji atau THP (take home pay) yang diterima anggota dewan masih tinggi. Jumlah THP saat ini menjadi Rp 65 juta per bulan. Menurut peneliti Formappi Lucius Karus, DPR belum berani menghapus tunjangan rumah dan tunjangan lainnya secara total, tetapi hanya sebagian. Belum lagi tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan bernilai fantastis yang masih didapat seluruh anggota DPR RI. (kompas.com, 06-09-25)

Bila melihat begitu tingginya gaji dan tunjangan yang diterima anggota dewan, wajar saja rakyat merasa sakit hati. Sebab saat ini rakyat dikepung berbagai tekanan ekonomi yang menimpa dari segala sisi.


Demokrasi Sumber Masalah

Apa yang kita saksikan saat ini terkait besaran nilai gaji dan tunjangan anggota DPR yang fantastis merupakan potret nyata kesenjangan tajam yang terjadi antara pejabat dan rakyat. Anggota DPR begitu dihujani dengan berbagai fasilitas dan materi, sementara di sisi lain rakyat harus berjuang mati-matian memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri. Bayangkan saja, rakyat harus berhadapan dengan mahalnya kebutuhan pokok, tingginya tarif pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, ancaman PHK tak kenal waktu, dan beban pajak yang makin mencekik. Ini semua akibat imbas kebijakan yang lahir dari kursi dewan.

Kesenjangan yang kian parah sejatinya adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Demokrasi kapitalisme yang kita jalani selama ini sebenarnya hanyalah panggung transaksional, sebab untuk mengamankan kursi DPR, seseorang harus mengeluarkan modal yang tak sedikit, bisa miliaran bahkan triliunan rupiah. Modal ini dialokasikan untuk kampanye, baliho, logistik, sampai biaya tim sukses.

Maka tak heran, begitu berhasil meraih kursi empuk parlemen, yang pertama dipikirkan bukanlah rakyat, tapi bagaimana cara mengembalikan modal. Caranya bisa lewat jalur “legal” seperti menaikkan gaji dan tunjangan. Bisa juga lewat jalur “ilegal” seperti korupsi, suap, atau proyek fiktif.

Alhasil, DPR hanya menjadi mesin penghasil keuntungan pribadi, bukan lembaga yang berpihak pada rakyat. Apalagi anggota dewan selalu diusung dari parpol sehingga wajar saja saat memenangkan kursi, kepentingan parpol pengusungnyalah yang diprioritaskan. DPR tak lebih dari sekadar pemroduksi kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Demokrasi yang katanya untuk rakyat, justru melahirkan elite oligarki yang makin kaya, sementara rakyat makin sengsara. 

Demokrasi memang memberi panggung besar bagi rakyat tapi hanya sekali, yaitu saat pemilu. Saat itu, rakyat diiming-imingi dengan janji-janji manis, dirayu dengan sembako murah, bahkan uang tunai. Tapi begitu kursi berhasil direbut, mereka yang berhasil memenangkan kursi akan melupakan janjinya. Rakyat dibiarkan kembali bergelut dengan kesusahan hidup.

Kenyataan ini selalu berulang setiap masa. Dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, pola yang sama terus dirancang dan dimainkan. Rakyat hanya dijadikan alat untuk memenangkan kekuasaan. Begitu kekuasaan dipegang, rakyat dibuang. Maka wajar jika kepercayaan rakyat kepada DPR semakin menghilang.

Namun, perlu disadari bahwa akar masalahnya bukan sebatas pada wakil rakyat yang duduk di kursi. Masalah utamanya adalah sistem demokrasi yang memang dirancang untuk melahirkan elite yang bekerja demi kepentingan kelompok, bukan rakyat. Lebih parah lagi, demokrasi adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari politik. Artinya, dalam demokrasi tidak pernah akan ada standar halal dan haram. Yang ada hanyalah kepentingan politik, suara mayoritas, dan logika untung-rugi. Akibatnya, DPR bebas membuat aturan selama menguntungkan kelompoknya, bahkan yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Allah, seperti pajak yang semena-mena dinaikkan tanpa peduli beban rakyat. RUU yang merugikan rakyat bisa disahkan asal menguntungkan penguasa. Bahkan kebijakan yang tercipta, bisa membungkam kritik dari rakyat dengan alasan keamanan.

Dengan kondisi yang demikian, posisi anggota dewan akan selalu dijadikan alat untuk memperkaya diri. Wajar saja, jika akhirnya mereka hilang empati pada rakyat yang ‘diwakili’ dan abai akan amanahnya sebagai wakil rakyat.


Fungsi Sesungguhnya Wakil Rakyat

Dalam Islam, ketika individu menjadi bagian dari wakil rakyat, maka ia wajib menjalankan tugasnya dengan berasas akidah Islam. Syariat Allah-lah yang digunakan sebagai pedoman, bukan akal manusia. Maka selama menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, wajib terikat dengan segala hukum Allah dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah terhadap amanah ini.

Di dalam Islam, jabatan wakil rakyat disebut sebagai Majelis Umat. Jabatan ini ada dalam struktur negara Khilafah. Di dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah yang ditulis Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani fungsi dari Majelis Umat adalah mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam). Khalifah juga merujuk kepada Majelis Umat untuk meminta nasihat/masukan dalam berbagai urusan. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah yang senantiasa meminta pendapat di antara orang-orang tertentu dari sahabat beliau. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, dan Salman al-Farisi.

Majelis umat berkewajiban juga untuk melakukan muhasabah kepada para pejabat pemerintahan. Perintah Allah ini bersifat tegas yaitu untuk melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya kepada rakyat atau mengabaikan urusan rakyat, dan melakukan penyimpangangan dalam menerapkan hukum Islam.
 
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: "Nanti akan ada para pemimpin. Lalu kalian mengakui kemakrufan mereka dan mengingkari kemungkaran mereka. Siapa saja yang mengakui kemakrufan mereka akan terbebas dan siapa saja yang mengingkari kemakrufan mereka akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang rida dan mengikuti (kemungkaran mereka akan celaka). Para sahabat bertanya, "Tidakkah kita perangi saja mereka?" Nabi menjawab, "Tidak, selama mereka masih menegakkan salat". Kata "salat" dalam hadis ini adalah kiasan dari aktivitas memerintah atau memutuskan perkara dengan hukum-hukum Islam.

Meskipun Majelis umat memiliki wewenang dalam melakukan muhasabah kepada penguasa, Majelis Umat tidak berhak mengangkat atau memberhentikan penguasa. Mereka juga tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan atau Undang-Undang. Hal yang sangat berbeda dengan peran anggota dewan dalam sistem demokrasi kapitalis yang sekuler.

Dengan paradigma Islam, jabatan tidak akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Bagaimanapun amanah yang hadir pada setiap individu harus dapat ditunaikan sesuai petunjuk syarak dan mendatangkan kemaslahatan bagi semua. Keimanan akan menjadi penjaga untuk selalu terikat pada aturan syariat. 

Dengan demikian, setiap muslim wajib berpikir dan bersikap sesuai dengan Islam, termasuk anggota Majelis Umat. Mereka akan semangat melakukan fastabiqul khairat dalam menjalankan amanah sebagai wakil umat.

Dari sisi keanggotaan, Majelis Umat bukanlah pegawai dalam Daulah. Mereka adalah perwakilan daerah masing-masing berdasarkan intikhob/pemilihan. Dengan demikian, mereka tidak digaji, tetapi mereka bisa diberikan santunan secukupnya, semisal diberikan bantuan biaya agar dapat melakukan perjalanan rapat atau ketika diberikan tugas. 

Meskipun tidak ada pos khusus untuk anggota Majelis Umat mereka tetaplah bagian dari masyarakat yang juga berhak menikmati manfaat dari pengeluaran Baitul Mal, seperti akses terhadap layanan publik, bantuan sosial, dan keamanan yang dijamin oleh negara.

Jika ada kebutuhan mendesak yang dihadapi oleh anggota Majelis Umat, mereka bisa mengajukan permintaan bantuan atau pengajuan kepada pihak Baitul Mal, yang kemudian akan diproses sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan kebijakan keuangan negara. 

Dengan demikian, tidak ada kesenjangan antara Majelis Umat dan rakyat itu sendiri. Sebab, tidak ada perlakuan khusus, seperti memberikan gaji dan tunjangan fantastis yang kerap terjadi pada sistem demokrasi kapitalis. Rakyat pun memiliki kepercayaan penuh kepada Majelis Umat untuk menyampaikan aspirasinya kepada penguasa. Rakyat dan Majelis Umat saling bersinergi untuk melakukan muhasabah terhadap penguasa. Kekompakan hubungan antara wakil umat dan rakyat hanya dapat terwujud dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu'alam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar