Pajak dalam Kacamata Syariat Islam


Oleh : Iis Kurniawati,S.Pd.

Beberapa hari terakhir ini pemberitaan dipenuhi dengan gelombang unjuk rasa yang hampir terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Aksi unjuk rasa sendiri berakhir ricuh dan diwarnai dengan tindakan anarkis akibat bentrokan yang terjadi antara aparat, dan demonstran yang berasal dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa. Gelombang demokrasi dipicu karena berbagai kebijakkan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Demonstran tidak turun ke jalan karena emosi sesaat. Rakyat bergerak ketika harga diri mereka diinjak dan ketika harapan tidak lagi bisa dibeli dengan janji. 

Ketimpangan pajak menjadi salah satu masalah dan aspirasi yang digaungkan dalam tuntutan demonstran. Kenaikan pajak secara sistematis terus menekan rakyat kelas bawah. Pajak daerah naik, PPN Naik, tarif-tarif retribusi dinaikkan diam-diam. Sementara pelayanan publik tidak membaik, dan pendapatan rakyat stagnan, bahkan daya beli masyarakat semakin menurun. Dan yang semakin ironisnya adalah, ketika rakyat sedang mengencangkan ikat pinggang, anggota DPR justru bersuka cita, berjoget di gedung megah merayakan kenaikkan gaji dan berbagai tunjangan yang fantastis dan diluar akal sehat. Pernyataan para pejabat malah menambah luka yang menganga di hati rakyat. Belum lama pernyataan yang menyesatkan juga dilontarkan oleh menteri keuangan yang menyampaikan pajak memiliki filosofi yang sejalan dengan zakat dan wakaf. ”Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan. Ada yang melalui zakat, wakaf dan pajak. Pajak itu kembali pada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 di Jakarta, Rabu (13/8/2025). Pernyataan tersebut jelas sangat menyesatkan dan tidak ada kesamaan antara zakat maupun wakaf dengan pajak.

Belakangan ini pemerintah Indonesia telah memperkenalkan sejumlah kebijakan perpajakan baru di tahun 2025 antara lain peningkatan tarif PPN, penerapan pajak minimum global, opsen (pungutan tambahan) pada pajak daerah, aturan baru di pajak digital dan bullion, modernisasi sistem administrasi pajak. Mulai 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 % menjadi 12 %, sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 .Pengenaan PPN 12 % hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, seperti pesawat jet pribadi, yacht, rumah mewah; sedangkan kebutuhan pokok tetap di-nol-kan atau dibebaskan Bisnis.comliputan6.com. Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax), efektif sejak tahun pajak 2025, berdasar PMK Nomor 136 Tahun 2024 . Menargetkan perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro agar membayar setidaknya 15 % tarif pajak—jika tarif efektif di Indonesia di bawah itu, wajib membayar selisih (top-up) Fiskal KemenkeuKatadata. 

Opsen pajak daerah berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 (HKPD), mulai 5 Januari 2025, pemerintah daerah (provinsi, kab/kota) dapat mengenakan opsen (pungutan tambahan) pada pajak seperti PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan), dan Pajak MBLB (Mineral Bukan Logam & Batuan) Bisnis.comliputan6.com. Pajak atas transaksi digital, kripto, dan emas bullion. Marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22: Mulai semester II 2025, berdasarkan PMK 37/2025, marketplace ditunjuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 % bagi transaksi besar atau traffic tinggi kontan.co.id. Kripto: PPh Final atas transaksi kripto naik menjadi 0,21 % (dari sebelumnya 0,1–0,2 %) sejak 1 Agustus 2025, yang menyeimbangkan perlakuannya supaya tidak dikenai PPN kontan.co.id. Emas bullion: Pembelian oleh bullion bank dikenai PPh Pasal 22 sebesar 0,25 %, tetapi konsumen akhir dibebaskan dari pungutan ini kontan.co.id. Modernisasi Sistem Administrasi Pajak, transformasi administrasi dengan penerapan Coretax, sistem e Filing 2.0, basis NPWP menggunakan NIK, dan perluasan pemotongan PPh Pasal 21/22/23 termasuk untuk ekonomi digital kumparanKursus Pajak Terbaik. NPWP berbasis NIK resmi berlaku mulai 1 Juli 2025, memudahkan sinkronisasi pajak, data kependudukan, layanan publik, dan perbankan Kursus Pajak Terbaik. Pemerintah juga mendorong inklusi digital melalui program seperti Tax Goes to Campus dan pelatihan UMKM, meski tantangan akses di daerah terpencil masih perlu perhatian retizen.id.

Setiap langkah kebijakan yang diambil pemerintah tentunya mendatangkan pro dan kontra. Dalam pemberitaan media cetak dan elektronik juga terjadi gelombang penolakan atas penerapan pajak di beberapa daerah. Antara lain di daerah Pati (Jawa Tengah), ekspresi penolakan keras terhadap rencana kenaikan PBB P2 hingga 250 % memicu unjuk rasa massal pada Agustus 2025, dengan sekitar 85.000–100.000 peserta. Demonstrasi besar ini menuntut pembatalan kenaikan, bahkan pengunduran diri Bupati Sudewo. Akhirnya kebijakan kenaikan dibatalkan dan DPRD mengusut kebijakan tersebut Wikipedia. Protes serupa terjadi di Bone, menolak kenaikan PBB hingga 300 % , dan di Cirebon, kenaikan PBB mencapai 150–1000 %, juga memicu demonstrasi Wikipedia. Inilah gambaran betapa sensitifnya isu kenaikan pajak properti bagi masyarakat—apabila otoritas lokal tidak peka terhadap tekanan ekonomi warga, konsekuensinya bisa sangat besar.

Carut-marut penerapan sistem pajak yang diberlakukan saat ini merupakan potret buram penerapan sistem kapitalisme yang diadopsi pemerintahan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara. Pajak adalah pungutan atas harta rakyat tanpa melihat objek pajaknya, baik itu kaya-miskin, agama, batasan jenis harta dan bisa dinaikkan menurut kepentingan penguasa. Sebagaimana yang terjadi hari ini, sejumlah kepala daerah ramai-ramai menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Dengan kenaikan yang amat tajam yakni mulai dari 200%-1000%. Dan parahnya lagi pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk menetapkan besaran PBB-P2 secara besar-besaran dan serentak. Hal ini diduga sebagai akibat dari pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah dan pengetatan belanja. Sehingga memaksa pemerintah daerah mencari sumber penerimaan secara cepat. Lagi-lagi yang menanggung penderitaan adalah rakyat dimana rakyat terus menjadi objek pajak. Ironisnya , efisiensi justru tidak berlaku bagi para pejabat negara, komisaris-komisaris BUMN dan wakil rakyat. Penghasilan para komisaris BUMN itu berada di angka 100-200 juta rupiah perbulan. Setiap komisaris juga menerima tantiem/bonus belasan hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun. Adapun gaji dan tunjangan DPR mendapatkan penghasilan Rp 100 juta setiap bulan, dan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya demonstrasi besar-besaran di gedung DPR-MPR beberapa waktu lalu. 

Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme—barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan. Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).

Dalam islam setiap pungutan harta yang menyalahi al-Quran dan as-Sunnah adalah kedzaliman. Sebagaimana firman Allah SWT ”Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang bathil” (TQS al-Baqarah [2]:188). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini melarang segala bentuk kedzakiman dan perampasan hak milik (harta). Apalagi yang dilakukan penguasa terhadap Rakyatnya. (Lihat: Ibnu Katsir, tafsir al-quran al-Azhim, 1/521). Rasulullah SAW juga menyebutkan keharaman mengganggu darah dan kehormatan sesama Muslim, termasuk mengambil hartanya dengan jalan haram. Sebagaimana beliau bersabda ”Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya" (HR Ibnu Majah).

Islam telah mengharamkan pungutan pajak atas nama harta rakyat. Nabi SAW. Bersabda ”Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).Syariah Islam sudah menetapkan sumber peasukan bagi kas negara tanpa pajak. Salah satunya yakni dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Negara juga harus menindak tegas kejahatan Korupsi. Negara harus merampas aset negara yang dikorupsi. Penegakan hukum harus tegas bagi para aparatur negara dan pejabat negara yang melakukan tindak korupsi. Jika perlu para koruptor dijatuhi hukuman mati agar menimbulkan efek jera. Islam juga melarang praktek utang ribawi luar negeri. Karena sejatinya utang luar negeri adalah perangkap penjajahan ekonomi dan menghancurkan keuangan negara. 

Memang tidak dimungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129). Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (“Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam). Jadi, pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan; ataupun ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di baitulmal tidak ada. Setelah masalahnya sudah teratasi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Ringkasnya, tidak ada pajak di dalam Islam, kecuali pada kondisi ini dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan. Tidak diambil, kecuali dari zhahri ghina (orang kaya) dan itu adalah kondisi yang dalam sejarah Islam sangat jarang terjadi sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara (fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA, termasuk bahan tambang dan sebagainya) cukup untuk itu.

Sistem politik dan ekonomi islam telah mewajibkan negara untuk mengurus rakyat tanpa membedakan pusat dan daerah dan wajib dipenuhi kebutuhan pembangunan dan kebutuhan hidup penduduknya. Aturan islam juga mengharamkan peguasa mengurangi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Dan haram hukumnya mengalihkan tanggungjawab kepada rakyat sendiri seperti halnnya dalam menanggung pelayanan kesehatan mereka sendiri. Pemerintah harus bekerja keras memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan memberikan jaminan kesejahteraan yang layak. Sebagai pemimpin mereka harus menjadikan urusan rakyat sebagai prioritas, tidak mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya. Dan juga tdak membeani rakyat dengan berabeka macam pajak yang akan semakin menambah beban hidup rakyat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar