Perbandingan Pajak, Zakat, dan Wakaf, antara Sistem Kapitalisme dan Islam


Oleh : Ratu Azmaira Khalisah

Pemerintah Indonesia kembali menegaskan bahwa pajak merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan retorika yang cukup kontroversial: pajak disamakan dengan zakat maupun wakaf. Menurutnya, pajak adalah kontribusi yang harus dipikul semua warga negara, sama halnya dengan zakat yang diwajibkan bagi umat Islam. Pernyataan ini sontak memunculkan perdebatan luas, karena secara historis maupun syar’i, zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda secara mendasar.

Kondisi ini muncul di tengah penerimaan pajak yang seret. Pada Agustus 2025, Kementerian Keuangan menerima usulan 10 jenis pajak baru yang digadang-gadang bisa menambah penerimaan negara hingga Rp388 triliun. Objek-objek baru yang akan dikenakan pajak pun beragam, mulai dari pajak warisan, pajak karbon, pajak rumah ketiga, hingga pajak untuk aktivitas ekonomi digital. Sementara itu, pajak lama yang sudah ada justru mengalami kenaikan tarif berkali-kali lipat, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang kini menekan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Langkah agresif pemerintah dalam mengejar pajak menunjukkan adanya kegagalan mendasar: ketergantungan berlebihan pada pungutan rakyat untuk menutup lubang APBN. Hal ini diperparah oleh sistem kapitalisme yang meniscayakan penyerahan Sumber Daya Alam (SDA) kepada swasta, termasuk korporasi asing. Akibatnya, pemasukan negara dari sektor strategis justru bocor ke tangan kapitalis, sementara rakyat dipaksa menambal kekurangan melalui pajak.


Pajak sebagai Tulang Punggung Kapitalisme

Menurut data dari Kemenkeu (CNN Indonesia, 12 Agustus 2025), pajak tetap menjadi sumber utama pendapatan negara, dengan kontribusi lebih dari 75% terhadap APBN. Artinya, hampir seluruh pembangunan, belanja rutin, dan pembayaran utang bergantung pada pajak rakyat.

Namun, struktur pajak di Indonesia cenderung regresif. Masyarakat kelas bawah yang berpenghasilan kecil tetap terkena imbas kenaikan PBB, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta berbagai pungutan daerah. Sebaliknya, para pemilik modal besar justru dimanjakan dengan insentif pajak, keringanan, hingga kebijakan tax amnesty yang membuat mereka bebas membawa pulang keuntungan raksasa dengan beban minimal.

Sri Mulyani dalam forum CNBC Indonesia (14 Agustus 2025) bahkan menyatakan bahwa pajak memiliki semangat yang sama dengan zakat. Retorika ini sejatinya merupakan upaya politis untuk meredam resistensi publik. Namun, narasi tersebut problematis karena menyesatkan pemahaman rakyat. Zakat bersifat ibadah mahdhah dengan aturan ketat, objek penerima terbatas pada 8 asnaf sebagaimana termaktub dalam QS At-Taubah: 60. Sementara pajak dalam sistem kapitalisme tidak mengenal batasan, dikenakan secara memaksa kepada seluruh rakyat, termasuk mereka yang miskin dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Lebih ironis lagi, uang pajak tidak otomatis kembali untuk menyejahterakan rakyat miskin. Sebaliknya, sebagian besar dialokasikan untuk membayar cicilan utang luar negeri, proyek-proyek mercusuar yang dinikmati segelintir korporasi, serta biaya birokrasi yang gemuk.


Rakyat Dicekik, Kapitalis Dimanjakan

Pengenaan pajak baru menunjukkan wajah asli kapitalisme: rakyat menjadi sasaran utama pemerasan, sementara kapitalis dilindungi. CNBC Indonesia (15 Agustus 2025) mencatat bahwa pemerintah terus mencari ruang fiskal melalui pajak, sementara tantangan ke depan pada 2026 semakin besar karena perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga energi, dan kewajiban pembayaran utang luar negeri.

Di sisi lain, banyak perusahaan besar—terutama yang bergerak di sektor tambang, energi, dan perkebunan—mendapatkan karpet merah berupa izin konsesi, insentif fiskal, bahkan keringanan pajak. BBC Indonesia (Agustus 2025) melaporkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia kian parah, di mana 1% orang terkaya menguasai hampir separuh aset nasional. Fenomena ini memperlihatkan jelas bagaimana pajak bukanlah instrumen keadilan sosial, melainkan alat mempertahankan dominasi kapitalis atas negara.

Sistem perpajakan kapitalisme tidak hanya zalim, tetapi juga destruktif. Ia mengambil harta rakyat miskin yang seharusnya terbebas dari beban finansial negara. Para petani, buruh, pedagang kecil, hingga pekerja informal dipaksa membayar pajak langsung maupun tidak langsung. Harga barang pokok pun melambung karena tingginya PPN dan biaya distribusi yang dipicu pajak lainnya.


Ketika Pajak Disamakan dengan Zakat

Pernyataan Sri Mulyani bahwa pajak sama dengan zakat dan wakaf patut diluruskan. Secara syar’i, zakat merupakan rukun Islam, kewajiban atas harta bagi muslim yang mampu, dengan ketentuan nisab dan haul. Zakat tidak boleh dipungut dari orang miskin, apalagi digunakan untuk kepentingan umum yang tidak ditentukan syariat. Objek penerima zakat hanya delapan golongan (QS At-Taubah: 60): fakir, miskin, amil, muallaf, budak, orang berutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.

Adapun wakaf adalah ibadah sunnah yang sifatnya sukarela, tidak boleh dipaksakan. Sedangkan pajak dalam Islam hanya dikenal dalam konteks terbatas. Menurut kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, pajak (dikenal dengan istilah dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, sifatnya temporer, dan hanya ketika kas negara kosong dalam kondisi darurat. Itu pun dengan syarat dana zakat dan sumber pemasukan tetap baitulmal sudah habis.

Artinya, pajak bukanlah instrumen permanen, apalagi dijadikan tulang punggung APBN sebagaimana yang berlaku di Indonesia saat ini.


Sumber Pemasukan Negara dalam Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang menggantungkan hidup pada pajak, Islam memiliki sistem ekonomi yang kokoh dan adil. Dalam negara Khilafah, sumber utama pemasukan baitulmal antara lain:
1. Kepemilikan umum (SDA dan energi): seluruh tambang, minyak, gas, hutan, dan sumber daya vital dikelola negara, bukan diserahkan pada swasta. Hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
2. Fai’ dan ghanimah: pemasukan dari wilayah yang ditaklukkan, harta rampasan perang, dan perjanjian dengan negara lain.
3. Kharaj dan jizyah: pajak tanah bagi non-muslim di wilayah Islam dan kontribusi jizyah dari mereka yang mendapat perlindungan negara.
4. Zakat: kewajiban bagi muslim yang mampu, dengan alokasi jelas untuk 8 asnaf.
Dengan sistem ini, baitulmal memiliki sumber pemasukan yang beragam dan berkelanjutan. Negara tidak akan bergantung pada pajak rakyat miskin. Sebaliknya, kekayaan alam yang melimpah justru menjadi fondasi kesejahteraan seluruh warga negara.


Kesejahteraan dalam Sistem Islam

Sejarah mencatat bagaimana sistem ekonomi Islam berhasil menyejahterakan rakyat. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, baitulmal sampai berlimpah sehingga sulit menemukan mustahiq zakat. Kekayaan negara tidak menumpuk di segelintir orang, tetapi benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.

Konsep distribusi dalam Islam menekankan keadilan dan pemerataan. Negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Distribusi dipersingkat untuk menekan biaya, para pelaku kecurangan diberi sanksi tegas, dan seluruh kebijakan dilandasi iman serta amanah.

Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak pernah dijadikan alat permanen untuk menambal APBN. Sebaliknya, negara harus mengelola kekayaan umat secara produktif dan adil.

Fenomena kebijakan pajak di Indonesia saat ini memperlihatkan wajah asli kapitalisme: rakyat terus diperas melalui pajak, sementara para kapitalis menikmati berbagai privilese. Retorika pemerintah yang menyamakan pajak dengan zakat adalah bentuk manipulasi wacana untuk melegitimasi pungutan yang sebenarnya tidak memiliki pijakan syar’i.

Islam menawarkan sistem ekonomi yang jauh lebih adil. Dengan mengembalikan kepemilikan SDA kepada negara, memperkuat baitulmal, dan menjalankan distribusi sesuai syariat, kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan tanpa harus menindas kaum miskin dengan pajak. Pajak dalam Islam hanyalah solusi darurat, bukan tulang punggung negara.

Kesejahteraan hakiki hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem ekonomi Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, bukan dengan mempertahankan sistem kapitalisme yang zalim.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar