Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkirakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi di Bank BJB yang menyeret mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) sekitar Rp222 miliar. Dalam perkara itu, penyidik KPK pada 13 Maret 2025 telah menetapkan lima orang tersangka, yang pada tahun perkara menjabat sebagai berikut, yakni Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi (YR) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) sekaligus Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Bank BJB Widi Hartoto (WH). Selain itu, Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri Ikin Asikin Dulmanan (IAD), Pengendali Agensi BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspress Suhendrik (Suh), dan Pengendali Agensi Cipta Karya Sukses Bersama Sophan Jaya Kusuma (SJK).
Saat ini KPK sedang mencari solusi terbaik untuk asset recovery atau pemulihan kerugian keuangan negara setelah mendapatkan informasi bahwa satu unit kendaraan roda empat atau mobil Mercedes-Benz 280 SL yang telah disita lembaga antirasuah dari RK ternyata belum lunas dibelinya.
“Karena dari keterangan yang diperoleh penyidik bahwa pembayaran atas aset tersebut belum lunas, maka supaya nanti juga tidak ada kendala jika dilakukan lelang, saat ini penyidik masih mendalami kedudukan barang bukti tersebut untuk mendapatkan solusi terbaik dalam optimalisasi asset recovery untuk negara nantinya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat. (Liputan6 online, 6/9/2025).
Sementara itu, Budi menjelaskan bila pihak terkait menginginkan kembali mobil atas nama Presiden ke-3 RI BJ Habibie tersebut, yakni misalnya Ilham Akbar Habibie yang merupakan putra atau keluarganya, maka yang bersangkutan perlu mengikuti lelang KPK. Tapi sepertinya hal itu masih lama mengingat hingga Selasa (9/9), tercatat sudah 183 hari RK belum dipanggil oleh KPK setelah penggeledahan tersebut.
Dalam Islam, lelang aset hasil korupsi dibolehkan dan sah jika dilakukan secara terbuka dan transparan kepada publik. mengikuti prosedur yang terbuka, tidak ada kecurangan, dan hasil lelangnya digunakan untuk kemaslahatan umum (kembali ke negara untuk kepentingan rakyat). Aset korupsi yang haram harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, yaitu negara atau rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok lain, apalagi diwariskan ataupun disedekahkan karena statusnya tetap haram.
Dengan demikian, lelang aset korupsi adalah bagian dari proses hukum untuk mengembalikan hak negara dan merupakan tindakan yang sejalan dengan prinsip kemaslahatan umum dan keadilan dalam Islam, asalkan dilakukan dengan benar. Hanya saja aset yang dilelang harus sudah sah menjadi milik negara setelah proses hukum selesai dan tidak lagi menjadi hak pelaku. Sebagaimana dalam kasus di atas.
Akan lebih baik lagi, jika tidak ada korupsi sehingga tidak perlu ada lelang brang hasil korupsi. Para penguasa diharapkan amanah dan bertanggung jawab atas kursi kepemimpinan yang didudukinya.
Sayang, sistem yang dipakai saat ini sangat memfasilitasi, bahkan mendorong calon dan penguasa untuk melakukan keharaman (korupsi) meskipun tidak ada niat diawalnya. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan ketika hendak menjabat, membuat mereka melakukan berbagai cara asalkan tercapai tujuan. Walhasil korupsi akan tetap ada dengan pemain yang berbeda di tempat dan waktu yang berbeda.
Hal demikian tidak akan terjadi jika sistem yang dipakai adalah sistem Islam. Sebab dalam sistem Islam, pemimpin adalah pengurus dan penjaga rakyatnya. Dialah yang bertanggung atas kesejahteraan rakyatnya, muslim dan non muslim. Keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri seorang pemimpin dalam sistem Islam, menjadikannya selalu amanah sehingga korupsi menjadi hal yang mustahil dilakukan sebab itu adalah haram.
Pemimpin pada masa Islam tegak memahami bahwa tanggung jawab kepemimpinan adalah dunia akhirat. Artinya, di dunia ia bertanggung jawab atas nasib rakyat. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Alhasil, rakyat bisa mengeluh kepada pemimpin mereka ketika kebutuhan mereka tidak tercukupi atau kepada khalifah ketika pemimpin daerah abai terhadap pemeliharaan urusan mereka.
Mereka juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam hadisnya, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari).
Khalifah Umar ra. pernah berkata, “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah Swt. kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak mengapa aku tidak menyediakan jalan yang rata.” Ungkapan tersebut menunjukkan kesadaran khalifah Umar bin Khaththab yang sangat tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kalau keledai jatuh saja beliau sangat takut, apalagi jika rakyatnya yang jatuh akibat jalan yang tidak rata.
Begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap umatnya hingga membuat mereka sering menangis, merenung, dan tidak bisa tidur dalam kepemimpinannya. Fathimah, istri Umar bin Abdul Aziz, pernah menemui suaminya di tempat salatnya dengan air mata membasahi janggutnya. Ia berkata, “Wahai amirulmukminin, bukankah segala sesuatu itu adalah baru adanya?” Umar menjawab, “Fathimah, aku memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Aku juga memikirkan persoalan orang-orang yang fakir dan kelaparan, orang yang sakit dan diacuhkan, orang yang tidak sanggup berpakaian yang tersisihkan, orang yang teraniaya dan tertindas, yang terasing dan tertawan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tetapi hartanya sedikit, serta orang-orang seperti mereka di seluruh pelosok negeri. Aku sadar dan aku tahu bahwa Tuhanku kelak akan menanyakannya pada Hari Kiamat. Aku khawatir saat itu aku tidak memiliki alasan terhadap Tuhanku maka menangislah aku.”
Demikianlah, ketika sistem Islam diterapkan secara sempurna sebagai panggilan akidah, kita akan menemukan berbagai kebaikan, keadilan, dan kepedulian para pemimpin. Kita pun akan melihat para pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya yang kemudian bersama-sama mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya, serta saling berwasiat dalam ketakwaan dan saling menasihati dalam kesabaran.
Sistem pemerintahan dalam Islam akan menutup peluang lahirnya otoritarian, kesewenang-wenangan, dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu, apalagi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Ini semua akan terwujud jika rakyat maupun penguasa tunduk sepenuhnya kepada hukum Allah SWT.
Maka jelas, jika sistem Islam diterapkan, penyidik KPK tidak perlu pusing mencari cara agar barang sitaan yang statusnya belum lunas seperti pada kasus di atas sebab koruptornya juga tidak ada. Dan hal itu tidak cukup hanya dibayangkan atau diandai-andai saja, perlu kerja konkret dari semua pihak.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat agar lebih banyak yang terfahamkan untuk selanjutnya mau menerapkannya sebagai landasan negara.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar