Mewaspadai Infiltrasi Gaya Hidup Liberalisme Sekuler di Balik Event Colour Run Lighfest


Oleh : Munawaroh Artiningsih

Bekasi kembali menjadi sorotan publik setelah muncul rencana penyelenggaraan Colour Run Lightfest 2025 yang akan digelar pada 9 September 2025. Acara ini dipromosikan sebagai kombinasi olahraga, hiburan, musik, dan festival cahaya—sebuah konsep populer yang telah mendunia sejak diperkenalkan di Amerika Serikat pada awal 2010-an.

Namun, di balik gemerlap warna-warni dan janji “sehat sambil bersenang-senang”, muncul kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi dituding melarang acara ini karena dikaitkan dengan isu LGBT. MUI kemudian membantah tuduhan tersebut. Ketua MUI Bekasi menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan larangan resmi, melainkan hanya menyampaikan aspirasi ormas Islam yang keberatan karena ada dugaan keterkaitan acara dengan kampanye gaya hidup liberal dan inklusif, termasuk LGBT.

Perdebatan ini bukan sekadar soal olahraga massal, tetapi menyentuh aspek ideologi, budaya, dan arah kehidupan masyarakat.


Fakta : Acara dan Polemik di Baliknya

Berdasarkan informasi resmi dari laman penyelenggara (Color Run Festival Indonesia), acara Colour Run Lightfest 2025 Bekasi dikemas sebagai fun run 5 kilometer dengan tambahan hiburan berupa live music, panggung DJ, dan atraksi lampu. Konsep ini mirip dengan event internasional sejenis, di mana pelari akan dilempari bubuk warna sepanjang rute dan dihibur dengan musik elektronik.

Kontroversi muncul setelah beberapa ormas Islam mempertanyakan indikasi afiliasi acara dengan agenda LGBT. Tuduhan ini tidak muncul tanpa dasar. Di berbagai negara, termasuk Amerika, event sejenis memang pernah dijadikan ruang ekspresi komunitas LGBT, misalnya dalam LGBTQ Color Run 2025 di Lakeland University, AS (lakeland.edu). Maka wajar bila masyarakat curiga, meski panitia di Bekasi tidak menyatakan secara eksplisit ada keterkaitan dengan isu LGBT.

MUI Kota Bekasi dalam klarifikasinya di Detik menegaskan bahwa mereka tidak melarang acara tersebut, namun mengingatkan agar kegiatan publik tetap sesuai dengan norma agama dan budaya lokal.


Analisa : Budaya Kapitalisme dalam Event Massal

Fenomena Colour Run bukanlah sekadar olahraga, melainkan bagian dari industri gaya hidup kapitalistik. Ada beberapa hal penting yang bisa dianalisa:

1. Komersialisasi Olahraga
Olahraga yang sejatinya adalah aktivitas fisik untuk kesehatan kini dikemas menjadi produk hiburan. Penyelenggara menjual tiket, merchandise, hingga paket sponsor. Peserta bukan sekadar berlari, tetapi membeli “pengalaman” berupa sensasi warna, musik, dan pesta cahaya. Fenomena ini mirip dengan konser musik atau festival modern lain: tujuan utama bukan lagi kebugaran, melainkan eksploitasi ekonomi dari hobi dan tren sosial.

2. Infiltrasi Gaya Hidup Liberal-Sekuler
Acara seperti Colour Run mengusung nilai-nilai kebebasan ala Barat: bebas berekspresi, bebas berbaur laki-laki dan perempuan, bebas berpakaian sesuai selera, dan menjadikan hiburan sebagai tujuan hidup. Inilah bentuk nyata sekularisasi ruang publik, di mana syariat Allah dikesampingkan demi “kebahagiaan individual”.

3. Ruang Infiltrasi Ideologi
Seperti dicontohkan dalam event LGBTQ Color Run di luar negeri, acara massal dengan daya tarik anak muda kerap menjadi wadah infiltrasi ideologi. Jika bukan LGBT, bisa berupa feminisme, gerakan inklusivitas gender, atau sekadar normalisasi pergaulan bebas. Di era kapitalisme global, agenda-agenda ini sering dibungkus dengan narasi universal: kesehatan, toleransi, keberagaman, atau kebahagiaan. Dengan demikian, meski penyelenggara di Bekasi tidak terbukti membawa agenda LGBT, kekhawatiran ormas Islam tetap relevan, sebab pola infiltrasi budaya liberal semacam ini memang nyata terjadi di banyak negara.

4. Demokrasi Liberal dan Ambiguitas Moral
Kasus ini juga mencerminkan wajah demokrasi liberal. Pemerintah daerah tidak bisa melarang acara yang dianggap “hiburan publik”, kecuali ada bukti hukum. Namun di sisi lain, aspirasi umat Islam yang menolak acara berbau liberal sering dianggap intoleran. Akibatnya, suara mayoritas Muslim dipinggirkan demi kepentingan pasar dan sponsor.


Dampak Sosial dan Budaya

Fenomena Colour Run Lightfest tidak boleh dilihat sekadar sebagai hiburan. Ada beberapa dampak serius yang patut dicermati:

1. Normalisasi Pergaulan Bebas
Event ini membuka ruang percampuran laki-laki dan perempuan tanpa batas, bahkan dalam suasana pesta musik. Hal ini rentan mendorong perilaku maksiat seperti aurat terbuka, sentuhan fisik, hingga pacaran bebas.

2. Konsumtif dan Hedonistik
Tiket masuk, atribut, hingga makanan-minuman di lokasi semuanya berorientasi komersial. Peserta diajak membeli gaya hidup, bukan sekadar olahraga.

3. Desensitisasi terhadap Agenda Liberal
Masyarakat—terutama generasi muda—perlahan terbiasa dengan acara yang sarat narasi kebebasan dan keberagaman. Jika tidak ada benteng ideologis Islam, mereka bisa mudah menerima infiltrasi agenda LGBT, feminisme, atau budaya Barat lain.

4. Menggeser Orientasi Hidup
Alih-alih berorientasi pada ibadah dan ketaatan, generasi muda diarahkan untuk menjadikan hiburan sebagai pusat kebahagiaan hidup. Ini jelas bertentangan dengan visi Islam sebagai agama yang menjadikan ibadah kepada Allah sebagai tujuan utama manusia (QS. Adz-Dzariyat: 56).


Solusi Islam: Menyaring Hiburan dan Menata Kehidupan

Islam tidak menolak olahraga, musik, atau hiburan. Bahkan Rasulullah ï·º menganjurkan umatnya untuk sehat, kuat, dan bergembira dalam batas syariah. Namun, Islam menetapkan rambu-rambu agar hiburan tidak melanggar aturan Allah.

1. Olahraga dalam Koridor Syariah
Dalam Islam, olahraga seperti berlari, berenang, memanah, atau berkuda hukumnya mubah, bahkan dianjurkan. Namun pelaksanaannya harus menjaga aurat, menghindari ikhtilat (campur baur laki-laki-perempuan), serta tidak disertai maksiat.

2. Menolak Hiburan yang Bermuatan Maksiat
Event seperti Colour Run yang bercampur dengan konser musik, pesta cahaya, dan membuka peluang ikhtilat seharusnya ditolak oleh umat Islam. Tidak cukup dengan “klarifikasi”, perlu sikap tegas bahwa hiburan macam ini membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat.

3. Peran Dakwah Umat Islam
Para dai, ulama, dan ormas Islam perlu gencar memberikan pencerahan tentang mana olahraga/hiburan yang dibolehkan, mana yang haram. Ini bukan sekadar soal acara sesaat, tetapi menyangkut perang ideologi antara Islam dan kapitalisme-liberalisme.

4. Sistem Islam Kaffah sebagai Solusi Hakiki
Persoalan ini pada dasarnya berakar dari sistem kapitalisme-sekuler yang memberi ruang bagi liberalisasi budaya. Solusi hakiki hanya bisa diwujudkan jika umat kembali kepada sistem Islam kaffah. Dalam Khilafah Islam, negara akan mengatur aktivitas publik sesuai syariat: olahraga difasilitasi tanpa maksiat, hiburan diarahkan untuk menguatkan akidah dan ukhuwah, bukan sekadar konsumsi bisnis.

Khalifah sebagai ra’in (penggembala umat) akan memastikan tidak ada event yang mengundang kemaksiatan, apalagi agenda ideologis sesat seperti LGBT. Sumber daya negara difokuskan untuk membangun generasi sehat, kuat, dan taat pada Allah—bukan untuk memperkaya sponsor atau industri hiburan kapitalistik.

Polemik Colour Run Lightfest 2025 di Bekasi menjadi cermin benturan antara budaya kapitalisme-liberal dan nilai Islam. Di satu sisi, acara ini diklaim sebagai olahraga dan hiburan massal. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran nyata bahwa event semacam ini hanyalah sarana komersialisasi olahraga sekaligus ruang infiltrasi gaya hidup liberal.

Sikap MUI yang hanya “menyampaikan aspirasi” menunjukkan keterbatasan otoritas ulama dalam sistem demokrasi sekuler. Selama yang berkuasa adalah kapitalisme, aspirasi umat akan selalu dikalahkan oleh logika bisnis dan liberalisme.

Karena itu, umat Islam tidak boleh sekadar berhenti pada kritik, tetapi harus memperjuangkan tegaknya sistem Islam kaffah yang mampu menata olahraga, hiburan, dan seluruh aspek kehidupan sesuai syariat Allah. Hanya dengan cara itu, umat terbebas dari infiltrasi gaya hidup sesat dan kembali hidup mulia di bawah naungan Islam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar