Oleh: Ari Sofiyanti
Jika orang pada umumnya bekerja untuk mendapatkan bayaran upah, namun di China terjadi fenomena yang sebaliknya. Sejumlah pemuda rela membayar ke sebuah perusahaan demi terlihat ‘seperti’ bekerja. Salah satunya adalah pemuda pengangguran bernama Sui Zhou (30) yang membayar sebesar 30 yuan atau sekitar Rp65.000,00 perhari sejak April 2025 untuk bekerja di Perusahaan Pretend to Work Company di Dongguan setelah usaha kulinernya bangkrut. (BBC.com)
Konsep pura-pura bekerja ini ternyata telah ada di sejumlah kota-kota besar di China seperti Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Para peserta biasanya adalah orang-orang yang menganggur dan mereka masuk kantor untuk melakukan beberapa hal seperti mencari lowongan, mengerjakan proyek pribadi, atau sekadar bersosialisasi dengan rekan lainnya. Mereka menjadi lebih tenang dengan berpura-pura bekerja. Mereka mengaku dapat meningkatkan harga diri mereka dan memikirkan langkah selanjutnya. Hal ini lebih membuat mereka merasa ‘produktif’ daripada berdiam diri di rumah.
Badai pengangguran tak hanya menghantam China, tetapi secara global angka pengangguran juga makin mengkhawatirkan. Negara Inggris kabarnya pun mengalami peningkatan pengangguran. Ditunjukkan oleh Data Office for National Statistics (ONS), pemuda berusia 16-24 tahun yang menganggur ada sebesar 14,1% atau sebanyak 634 ribu orang di tahun 2025 dan ini merupakan situasi pasar kerja paling buruk dalam lima tahun terakhir. Sementara di Prancis, data jumlah pengangguran yang terdaftar pada juli 2025 bertambah 52.900 menjadi 3,03 juta orang, hal ini menunjukkan adanya tren kenaikan selama empat bulan ini.
Di samping negara-negara Eropa, Amerika Serikat juga mulai menampakkan kelesuan pasar tenaga kerja. Pertumbuhan lapangan kerja dilaporkan hanya bertambah sekitar 73 ribu, sementara para pencari kerja ada di angka lebih dari 150 ribu. Sejumlah warga AS yang sudah menganggur lebih dari 27 minggu bertambah menjadi 1,8 juta orang. Mereka pun kesulitan untuk kembali memiliki pekerjaan.
International Monetary Fund (IMF) juga melaporkan data negara dengan urutan tingkat pengangguran tertinggi di dunia pada 2025, yaitu Sudan (62%), Afrika Selatan (32,8%), Georgia (13,9%), Armenia (13,5%), Bosnia dan Herzegovina (13,2%), Maroko (13,2%), Makedonia Utara (12,8%), Ukraina (11,6%), Spanyol (11,1%) dan Kolombia (10%).
Sementara Indonesia juga tak kalah mengenaskan. Laporan Trading Economics yang dirilis Kamis, 14 Agustus 2025 menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat pengangguran paling tinggi se-ASEAN. Dari data laporan tersebut diketahui jumlah pengangguran warga Indonesia lebih dari 7 juta jiwa.
Fakta di lapangan juga memperlihatkan betapa memprihatinkan kondisi masyarakat. Di saat inflasi menghantam mengakibatkan harga barang melambung tinggi, rakyat justru tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi biaya hidup yang semakin mencekik mereka. Alhasil, rantai kemiskinan semakin kuat dan panjang. Mereka bukannya tak mau mencari kerja atau membuka usaha. Tetapi lapangan kerja dan modal memang sulit mereka dapat. Akhirnya pinjol menjadi pilihan mereka. Kriminalitas pun semakin merajalela buntut dari banyaknya pengangguran di tengah kesulitan ekonomi hari ini.
Badai pengangguran yang menerpa negara-negara di dunia hari ini adalah sinyal kegagalan sistem kapitalisme yang tengah kita adopsi. Inilah pengangguran struktural yang tercipta akibat negara menerapkan ideologi dan sistem yang salah.
Sistem kapitalisme meniscayakan kekuasaan dan kekayaan berpihak pada segelintir kapitalis. Para pemilik modal ini memiliki akses penuh terhadap sumber daya alam sehingga merekalah yang menikmati sebagian besar porsi keuntungan. Faktanya memang di negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia, hampir semua aset alamnya diinvestasikan kepada swasta. Tak sedikit pula masyarakat yang tersingkir dari pekerjaannya karena pengelolaan SDA diberikan ke tangan swasta. Sebagai contoh kasus pagar laut yang menghalangi para nelayan mencari ikan atau masyarakat sekitar hutan adat yang tak berdaya saat mata pencahariannya hilang karena pembukaan lahan kelapa sawit.
Kapitalis yang super kaya ini kemudian mengembangkan kekayaannya dengan berinvestasi di sektor finansial yang ribawi dan spekulatif. Misalnya perbankan, jual beli saham, derivatif, kripto dan sebagainya. Akibatnya uang hanya berputar di pasar modal dan tidak menciptakan lapangan kerja yang produktif. Meskipun ekonomi diklaim tumbuh dengan investasi sektor spekulatif ini, tapi masyarakat sebenarnya tidak merasakan manfaat nyata. Masyarakat tetap dalam kondisi miskin. Sektor ini jugalah yang banyak menciptakan kondisi krisis. Apalagi melebarkan kesenjangan antara orang kaya dan miskin sehingga rakyat yang miskin akan semakin miskin karena tidak memiliki akses pada kekayaan dan modal.
Diakui atau tidak, sistem kapitalisme adalah sistem buruk yang hanya memihak pada para kapitalis agar melanggengkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Wajar jika rakyat kecil yang menjadi korban penindasan sistem rusak ini.
Jika kita mencari sistem yang tidak memihak pada kepentingan siapapun, maka jawabannya adalah Islam. Sistem yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Berdiri Sendiri. Islam diterapkan pada seluruh aspeknya dalam sebuah negara yang disebut Khilafah, baik politik atau ekonominya menggunakan hukum-hukum Islam.
Sistem kapitalisme meniscayakan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta. Tetapi berbeda dengan Islam yang memiliki aturan pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat diperbolehkan mengambil manfaat secara langsung kekayaan alam yang ada sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, jika sumber daya alam tersebut berpotensi besar, maka pengelolaannya harus dibebankan pada negara. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah. Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)
Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu swasta. (Syekh Abdul Qadim Zallum. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah. Hlm. 54—56). Kemudian hasil pengelolaannya dimanfaatkan kembali oleh rakyat dalam bentuk fasilitas dan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan gratis.
Pengelolaan sumber daya alam oleh negara berdasarkan prinsip syariat ini akan membuka lapangan kerja bagi warga negara dan menghilangkan praktik monopoli para kapitalis. Harta kekayaan pun akan terdistribusi dengan baik melalui zakat sehingga tidak terjadi kesenjangan yang lebar antara orang kaya dan orang miskin.
Islam juga memiliki aturan bahwa ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil. Kegiatan ekonomi yang terdapat pada sektor riil yaitu pertanian, industri, perdagangan dan jasa didorong oleh Khilafah untuk berkembang. Sementara kegiatan yang mengandung riba dan spekulasi haram dilakukan. Hal ini akan mempercepat perputaran roda ekonomi dan mengembangkan kegiatan ekonomi sehingga lapangan kerja pun tersedia.
Lebih dari itu, sistem Islam menganggap pengangguran adalah sebuah problem yang wajib ditangani negara sebagai bentuk amanah dari Allah. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang begitu jahatnya memandang pengangguran sebagai ‘alat’ yang bisa dikendalikan. Kesenjangan antara kapitalis dan buruh adalah kondisi ideal dalam kapitalisme agar mereka memiliki kuasa besar yang dapat menekan kaum buruh. Mereka memelihara masalah pengangguran dalam batas tertentu untuk menjaga posisi tawar kapitalis tetap kuat sehingga mereka bisa selalu mempekerjakan kaum buruh dengan upah minimum. Karena jika mereka protes, akan selalu ada penganggur lain yang siap menggantikan.
Sungguh hanya Islam, sistem yang memanusiakan manusia dan memperhatikan kesejahteraan seluruh warga negara Khilafah. Buktinya ada dalam hadits berikut ini, “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Wallahu a’lam bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar