Beras Mahal di Tengah Stok Melimpah: Siapa yang Bertanggung Jawab?


Oleh : Diana Kamila

Di banyak daerah, harga beras makin mencekik. Ironisnya, gudang Bulog justru “gemuk” stok hingga jutaan ton. Program beras SPHP seharga Rp12.500/kg yang digadang pemerintah pun belum menyentuh pasar secara luas. Data resmi menunjukkan, hingga awal September baru sekitar seperlima target penyaluran yang terealisasi. Stok cadangan pemerintah mendekati 4 juta ton, sebagian sudah berbulan-bulan tersimpan dan terancam turun mutu. (Kumparan.com)

Beras SPHP sulit ditemukan di pasar tradisional maupun ritel modern. Persyaratan aplikasi, verifikasi pedagang, hingga kemasan 5 kg membuat aliran beras tersendat. Warga yang butuh beras setiap hari akhirnya membeli beras non-SPHP yang lebih mahal tetapi lebih mudah dijangkau. Di balik ini, ada dominasi swasta dalam tata niaga beras: Bulog hanya memegang sekitar 8% pangsa pasar, sisanya dikendalikan penggilingan dan jaringan distribusi swasta. Praktik ini membuka ruang oligopoli dan permainan harga.

Selama ini pemerintah lebih sibuk menambah stok — baik lewat serap gabah maupun impor — tanpa membereskan distribusi. Hasilnya paradoks: stok menumpuk, sebagian beras menua di gudang, kerugian negara membesar, rakyat tetap beli mahal. Situasi ini menunjukkan problem kita bukan sekadar teknis, melainkan paradigma. Pangan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, bukan hak dasar rakyat yang harus dijamin pemenuhannya.

Kebijakan pangan harus bergeser dari penumpukan stok ke distribusi yang efektif. Beras SPHP mesti tersedia di titik-titik terdekat dengan konsumen, dijual dalam kemasan kecil, dan dibebaskan dari prosedur rumit yang menghambat pedagang. Pemerintah perlu menguasai jalur distribusi, bukan sekadar jadi pengawas. Penimbunan, pengoplosan, dan oligopoli harus ditindak tegas agar pasar sehat.

Dalam pandangan Islam, pangan bukan sekadar komoditas; ia adalah kebutuhan pokok yang wajib dijamin negara. Pemimpin bertanggung jawab memastikan ketersediaan beras dengan harga terjangkau hingga ke tangan rakyat, sekaligus mengawasi jalur distribusi agar tidak ada kecurangan. Negara memegang peran utama dalam produksi dan distribusi; swasta boleh berperan tetapi tidak boleh menguasai tata niaga. Dengan mekanisme seperti ini, rakyat dimudahkan memperoleh beras berkualitas dengan harga wajar, bantuan pangan tepat sasaran, dan harga pasar stabil.

Kita sudah terlalu sering mendengar janji stabilisasi harga beras. Tanpa perubahan pendekatan, situasinya akan berulang: stok besar, harga tinggi. Dengan negara mengambil peran dominan dan menempatkan pangan sebagai hak, bukan sekadar barang dagangan, jaminan pangan akan terwujud nyata—bukan sekadar wacana.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar