Tragedi Mutilasi Menguak Bobroknya Sistem Sekuler


Oleh : Nisrina, S.I.P.

Kasus mutilasi sadis yang terjadi di Surabaya-Mojokerto baru-baru ini kembali membuka mata kita terhadap betapa rusaknya sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Seorang wanita muda harus kehilangan nyawanya di tangan kekasihnya sendiri, yang tega memutilasi jasadnya menjadi ratusan potongan hanya karena cekcok sepele. Tragedi ini bukanlah kasus tunggal, melainkan potret dari kerusakan sosial yang mengakar akibat liberalisasi pergaulan.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari tren yang makin dinormalisasi di kalangan generasi muda: kohabitasi. Dengan bahasa yang lebih halus mereka menyebutnya living together atau cohabitation. Padahal hakikatnya tidak lain adalah kumpul kebo—tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Kata asing itu sengaja dipoles agar terdengar modern dan keren, tapi tetap saja intinya adalah zina yang dilarang keras dalam Islam.

Ironisnya, media massa bahkan menghadirkan pandangan psikolog seperti Virginia Hanny, yang dalam wawancara dengan Validnews (13/09/2025) memberi “rumus sehat” bagi pasangan yang ingin kohabitasi. Ia menyebut ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan: kemauan kedua belah pihak, lokasi tinggal, serta tujuan dan batasan yang jelas. Seolah-olah perbuatan yang jelas haram di sisi Allah bisa jadi normal hanya dengan manajemen konflik dan komunikasi yang baik.

Inilah buah dari sekularisme: agama dipinggirkan, hukum Allah diabaikan, sementara pendapat akal manusia yang dangkal dijadikan pedoman. Padahal Allah sebagai Al-Khaliq, Pencipta manusia, paling tahu kelemahan hamba-Nya. Karena itulah Islam bukan hanya melarang zina, tapi bahkan juga melarang mendekatinya (QS Al-Isra:32). Larangan ini adalah pagar keselamatan. Melanggar sedikit saja pasti berbuah celaka, sebagaimana kasus tragis yang kita saksikan ini.

Normalisasi pacaran, tinggal serumah tanpa ikatan sah, hingga menganggap zina sebagai urusan privat—semua adalah racun yang lahir dari sistem sekuler-liberal. Negara pun ikut bertanggung jawab, karena membiarkan praktik maksiat terus hidup tanpa sanksi. Baru dianggap masalah ketika sudah menimbulkan korban jiwa.

Berbeda dengan sistem sekuler, Islam membangun tatanan sosial yang kokoh. Individu dididik untuk bertakwa, masyarakat diwajibkan mengontrol pergaulan dengan amar ma’ruf nahi munkar, dan negara berkewajiban menerapkan hukum Islam secara kaffah. Sistem pendidikan berbasis akidah akan melahirkan generasi berkepribadian Islam, sistem pergaulan Islam akan menutup jalan menuju zina, dan sistem sanksi Islam akan memberi efek jera bagi para pelanggar.

Tragedi mutilasi di Surabaya bukan sekadar tindak kriminal, melainkan bukti nyata betapa bobroknya sistem sekuler. Selama hukum Allah tidak dijadikan dasar kehidupan, tragedi demi tragedi akan terus terjadi. Solusi sejati hanya ada pada Islam, yang dengan aturan-Nya menjaga kehormatan, keselamatan, dan martabat manusia.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar