KESENJANGAN DUNIA PENDIDIKAN KORBAN SISTEMIK


Oleh : Nurul Hijeriah, SP (Aktivis Dakwah Muslimah Domisili Paser)

Aksi unjuk rasa yang diinisiasi oleh Aliansi Balikpapan Bergerak yang berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan, pada Senin 1 September 2025 lalu tak hanya diikuti dari kalangan para mahasiswa saja. Seorang ibu dengan mengenakan jilbab merah muda tampak dengan lantang menyuarakan aspirasinya dengan menaiki atap mobil pikap. Ia adalah Wa Ma’ani, ibu rumah tangga, warga Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan Utara.

Pada saat unjuk rasa, Wa Ma’ani juga tampak membawa poster yang dihiasi gambar tengkorak bajak laut dengan tulisan, “Penguasa Merdeka Rakyat Menderita”. Saat orasi, ia curhat lantaran 6 orang anaknya kesulitan mendapatkan sekolah. Wa Ma’ani merasa dipersulit ketika mendaftarkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah pertama. Dengan tegas, ia menuturkan bahwa merasa kecewa atas hal tersebut.

Persoalan negeri kita saat ini sangatlah komplek dan sistemis, diantaranya pendidikan saja yang seharusnya semua anak berhak mendapatkan pendidikan kenyataannya tidak bisa terpenuhi.


Kesenjangan Nyata

Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang merata, pemerintah menjalankan program pendukung, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, bantuan sosial, penguatan pendidikan vokasi, sekolah gratis, sekolah rakyat, dan sebagainya. Meski demikian, upaya tersebut belum bisa mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini. Banyak faktor yang memengaruhi munculnya kondisi tersebut, yaitu:

Pertama, keterbatasan akses pendidikan karena kondisi ekonomi. Tidak bisa dimungkiri, kemiskinan merupakan salah satu faktor penghalang bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Ada yang putus sekolah karena tidak sanggup menanggung biaya pendidikan yang kian mahal, Ada pula yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena ingin fokus membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kalaupun bersekolah di sekolah negeri yang gratis, tidak ada jaminan tidak ada biaya tambahan lain yang harus dipenuhi para peserta didik.

Kedua, Solusi yang ditawarkan acap kali tak tersentuh akar masalah , bisa kita faktai dari solusi sistem zonasi tidak pelak, sistem zonasi jadi lebih cenderung pada diskriminasi anak didik sekaligus antar sekolah dari pada efisiensi arah tujuan kebijakan itu sendiri. Mestinya, tidak usah ada sistem zonasi, melainkan sebaliknya, sudah semestinya semua sekolah berstatus “favorit” dengan kualitas keilmuan dan penjagaan akidah yang terjamin. Anak didik pun tidak perlu repot terjebak batas wilayah domisili. atau jalur prestasi hanya membuat kelas dalam dunia pendidikan, akhirnya terjadi ketimpangan jumlah murid dan layanan pendidikan.

Ketiga, keterbatasan akses pendidikan karena infrastruktur publik yang tidak memadai. Kondisi ini biasanya dialami sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal. Infrastruktur publik yang serba terbatas menjadikan masyarakat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari rumah mereka. Sudah banyak kita saksikan kisah-kisah miris anak-anak pedalaman atau terpencil yang harus menyeberangi jembatan tali dan mengarungi derasnya aliran sungai hanya untuk bersekolah. Kadang kala mereka juga harus berjibaku dengan jalan-jalan rusak dan kendaraan yang tidak layak agar bisa sekolah. Keadaan dan medan yang sulit inilah yang kerap menjadi alasan anak-anak tidak lagi melanjutkan sekolah.

Semua Dampak dari banyak kebijakan dzolim baik dari pemerintah pusat dan daerah. Salah satu tuntutan massa demo masih seputar cabang problem dan belum menyentuh akar masalah kebijakan dzolim. Kebijakan dzolim lahir karena cara pandang negara bukan sebagai pengurus masyarakat tapi sekadar regulator dari asas sekuler kapitalisme menjadi penyebab utamanya.


Sistem Pendidikan Islam

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara harus memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.

Inilah alasan negara Khilafah sangat memperhatikan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati setiap anak. Ini karena pendidikan adalah gerbong utama lahirnya peradaban unggul. Sangat wajar pada masa peradaban Islam jejak pendidikan Islam sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global.

Negara Khilafah memberikan pemenuhan dan pelayanan dengan fasilitas pendidikan terbaik dengan melandaskan pada prinsip-prinsip berikut:

Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk·merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, hlm. 8).

Strategi pendidikan Islam bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap agar sesuai Islam. Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Dengan demikian, Islam melahirkan generasi berkualitas dari sisi kekuatan iman dan kemampuan akademik yang cerdas, yakni memadukan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum berasas akidah Islam.

Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.
Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan yang urgen, sedangkan sumbangan kaum muslim juga tidak mencukupi maka negara mewajibkan pajak (dharibah) yang hanya dipungut dari kaum muslim yang mampu dan sejumlah dana yang dibutuhkan saja.

Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat negara Khilafah. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang hanya karena terhalang biaya pendidikan. Oleh karena itu, negara Khilafah memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati. Tidak heran penerapan sistem pendidikan Khilafah yang berlangsung selama belasan abad mampu menghasilkan ilmuwan dan cendekiawan yang ahli dalam beragam disiplin ilmu dan berbagai bidang.

Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan” hlm 176).

Kelima, negara membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh wilayah hingga ke pelosok negeri. Jika infrastruktur publik sudah tersedia dan memadai, tidak akan ada kisah sedih anak-anak sekolah menyeberang sungai deras dengan seutas tali panjang sebagai jembatan mereka.

Sepanjang masa kepemimpinan Khilafah, para khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tingi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti auditorium, gedung pertemuan, asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, dan sebagainya. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, dan ruang makan, bahkan taman rekreasi.

Di antara sekolah-sekolah tinggi yang pernah berdiri ialah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah An-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini akhirnya menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran), dan lainnya.

Demikianlah, Khilafah menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan melakukan apa saja yang dapat mewujudkan terpenuhinya hak pendidikan setiap anak, kenyamanan mereka selama bersekolah, dan kesejahteraan para tenaga pendidik. Semua itu terpenuhi dan terjamin agar sistem pendidikan Islam benar-benar berjalan secara optimal dalam menciptakan generasi bertakwa, cerdas, dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan hidup manusia.

Wallahualam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar