KHUTBAH JUM'AT : SOLUSI ISLAM MENGATASI PERSOALAN EKONOMI


KHUTBAH PERTAMA

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اللهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ۝٩٦ (اَلْأَعْرَافُ) 
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamin, Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ yang telah menganugerahkan kita nikmat iman dan Islam, serta mempertemukan kita di tempat yang diberkahi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallâhu alaihi wasallam, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Bertakwalah kepada Allah Subhânahu Wa Taâlâ dengan sebenar-benarnya takwa sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS. Âli Imrân [3]: 102)
Sungguh takwa adalah benteng terakhir kita di tengah kehidupan akhir zaman saat ini. Dan sungguh, hanya dengan takwa kita akan selamat di dunia dan akhirat.

Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Di tengah upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi, Menteri Keuangan Purbaya menarik dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk disalurkan melalui perbankan sebagai kredit dunia usaha. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang saat ini hanya 5,12 persen, sementara target pemerintah Prabowo mencapai 8 persen. Namun, para ekonom menilai langkah tersebut tidak menyentuh akar masalah karena menyalurkan dana ke bank tidak otomatis menyelesaikan kompleksitas ekonomi nasional. Berbagai indikator makro menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalisme: daya beli masyarakat lemah, konsumsi rumah tangga lesu, rupiah terus melemah, dan gelombang PHK massal menekan sektor manufaktur maupun digital. Akibatnya, sekitar 9 juta orang terlempar dari kelas menengah dan bergeser ke kelompok rentan miskin. Bahkan, menurut standar Bank Dunia, 60,3 persen penduduk Indonesia kini masuk kategori miskin atau rentan miskin.
Lebih jauh, beban ekonomi kian berat dengan utang pemerintah jatuh tempo sekitar Rp800 triliun ditambah bunga lebih dari Rp500 triliun, sementara pajak yang tinggi menambah tekanan rakyat. Kondisi ini menggambarkan kerapuhan sistem kapitalisme yang bertumpu pada utang ribawi dan beban pajak, tetapi gagal menghadirkan kesejahteraan. Di sisi lain, kekayaan sumber daya alam yang seharusnya menopang perekonomian justru masih dikuasai pihak asing dan aseng, ini semakin mempersempit ruang pemulihan ekonomi dalam negeri.

Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama keberhasilan negara, padahal angka ini bersifat agregat dan tidak selalu mencerminkan kondisi riil masyarakat. Secara teknis, pertumbuhan dihitung dari peningkatan total barang dan jasa, terutama konsumsi rumah tangga, tanpa membedakan kontribusi antar kelompok pendapatan. Akibatnya, meski sebagian kecil masyarakat meningkatkan belanja, mayoritas yang daya belinya menurun tetap tersamarkan dalam data. Paradoks pun muncul: ekonomi makro tampak tumbuh, sementara di tingkat mikro kesenjangan dan kemiskinan justru memburuk. Karena itu, pertumbuhan tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur. Diperlukan indikator lain yang lebih inklusif, seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan (Indeks Gini), serta akses terhadap layanan dasar.
Sayangnya, dimensi ini diabaikan pemerintah yang tetap mengandalkan model fiskal neoliberal. Menteri Keuangan bersikeras menggelontorkan Rp200 triliun dari pajak rakyat ke sektor keuangan dengan efektivitas yang belum jelas. Risiko besar pun mengintai, sebab dana itu bisa saja terserap di instrumen spekulatif atau justru mengalir untuk proyek-proyek oligarki, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat secara merata dan berkelanjutan.

Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama dan pemikir Islam abad ke-20, menegaskan bahwa persoalan utama ekonomi bukan pada jumlah kekayaan, tetapi distribusinya. Dalam An-Nizhaam al-Iqtishaadi fi al-Islaam, beliau menjelaskan pembagian kepemilikan menjadi tiga: individu (milkiyyah fardhiyyah), umum (milkiyyah aammah), dan negara (milkiyyah ad-dawlah). Konsep ini menutup celah privatisasi sumber daya strategis, karena aset publik seperti air, listrik, dan tambang wajib dikelola negara untuk rakyat. Hal ini sesuai sabda Rasulullah ﷺ: 
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركَاَءُ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). 
Dalam pandangan Islam, kesejahteraan diukur dari pemenuhan hak-hak dasar setiap warga, bukan sekadar pertumbuhan konsumsi agregat.
Distribusi kekayaan dalam Islam adalah tujuan utama kebijakan ekonomi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman: 
 كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ 
”Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Islam melarang penimbunan harta dan riba, karena riba menciptakan ketimpangan dan instabilitas. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2]: 275). 
Sebaliknya, Islam mendorong agar harta terus berputar melalui muamalah riil, zakat, infak, sedekah, hibah, dan wakaf. Sistem keuangan Islam ditopang oleh Baitul Mal serta penggunaan dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik stabil, sehingga lebih kokoh dibanding sistem kapitalis ribawi.
Islam juga menawarkan solusi praktis berbasis keadilan, seperti akad syirkah mudharabah yang menekankan kerja sama, bukan eksploitasi. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) dan menciptakan lapangan kerja. Misalnya, lahan terlantar dapat diambil negara lalu didistribusikan kepada yang mampu menggarapnya, disertai dukungan berupa izin usaha yang mudah, modal, subsidi pertanian, pengembangan SDM, hingga dorongan industri. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan, tetapi menghadirkan keadilan sosial, keberkahan, dan kesejahteraan merata.

Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Dengan landasan iman dan takwa, penerapan sistem ekonomi Islam akan menghadirkan keberkahan hidup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wataala :
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
”Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (QS. al-Arâf [7]: 96).
Karena itu, di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas ekonomi nasional, sudah saatnya pemikiran ekonomi Islam khususnya dari ulama besar seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijadikan solusi fundamental, yang hanya dapat diwujudkan secara sempurna melalui institusi Khilafah dengan penerapan syariah Islam secara kaaffah. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ




KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ، اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواللّٰهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي، وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ، وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءَ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ، وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَاْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ، رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar