Wanita Mandiri Banyak VS Pria Mapan Sedikit, Hasilnya Angka Pernikahan Turun


Oleh : Wulan Safariyah (Aktivis Dakwah)

Pernikahan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, namun belakangan ini terjadi penurunan angka pernikahan di Indonesia.
Angka pernikahan di Indonesia turun 128 ribu dibandingkan 2022 menjadi 1,6 juta tahun lalu, menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga atau FISIP UNAIR Bagong Suyanto menilai, jumlah perempuan mandiri yang meningkat menjadi salah satu alasannya.

Data BPS 2024 menunjukkan angka pernikahan di Jakarta turun 4.000, Jawa Barat 29 ribu, Jawa Tengah 21 ribu, dan Jawa Timur sekitar 13 ribu. Secara keseluruhan di Indonesia, jumlah perkawinan turun 28,63% dalam 10 tahun terakhir. Dilansir dari laman katadata.co.id (26/10/2024)


Penyebab Penurunan Angka Pernikahan

Perubahan pola pikir masyarakat terutama di kalangan generasi muda menjadi salah satu faktor turunya angka pernikahan di indonesia. Banyak dari mereka lebih memilih untuk mengejar karir dan pendidikan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial juga telah mengubah cara memandang dan nilai-nilai masyarakat terhadap pernikahan. (Kompasiana.com)

Terjadi penurunan angka pernikahan karena terbukanya peluang perempuan untuk mengembangkan potensi diri, baik itu menempuh pendidikan maupun bekerja. Guru besar Bagong Suyanto menilai salah satu penyebab penurunan angka pernikahan yakni semakin terbukanya peluang perempuan untuk mengembangkan potensi diri. Dikutip dari laman resmi UNAIR, angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk bersekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. 

Faktor ekonomi juga berpengaruh. Biaya pernikahan yang semakin meningkat membuat banyak pasangan lebih memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Tingginya harga properti, kebutuhan hidup yang semakin mahal, dan kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadi faktor utama dalam hal ini.

Guru Besar Bagong Suyanto menjelaskan bahwa penyebab lain dari menurunnya angka pernikahan adalah tidak banyak laki-laki yang dalam kondisi ekonomi mapan. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan yang semakin sulit untuk dicari. Dilansir dari laman kompasiana.

Selain itu, melekatnya pemahaman kesetaraan gender juga menjadi penyebab turunnya angka pernikahan. Sebagaimana seminar yang dilansir dari salah satu kampus di Samarinda yang menyuarakan gender. Dengan tema "Dilema Gen Z" Kebebasan Berekspresi dan ketidaksamaan beban mental antar gender.

Tahun depan akan menerima mahasiswi asing, harapannya jadi moderat atau berpikir secara global. Kebebasan berekspresi terkadang bukan dari eksternal tapi internal (diri sendiri). Depresi terbesar peserta, masalah duit. Manusia bebas berekspresi tanpa batas. Gender adalah peran sosial antara laki-laki dan perempuan. 


Dampak Kerusakan Kapitalisme Sekuler 

Sistem kapitalisme sekuler telah menancapkan definisi sukses dan bahagia dengan standar berlimpahnya materi dan mengabaikan nilai-nilai agama serta norma-norma ketimuran. Sedangkan syahwat mereka terus dibangkitkan, maka pergaulan bebas akan semakin marak di kalangan Gen Z.

Ditambah lagi dengan informasi-informasi yang rusak dan merusak yang mereka dapatkan dari berbagai media, akan menjadikan kaum muda makin terjerumus pada kebebasan bertingkah laku. 

Media menjadi mercusuar berbagai tindakan amoral. Tontonan yang menjadi tuntunan dan inspirasi negatif. Pornografi tersaji tanpa filter, pelakunya tak pernah mendapatkan sanksi yang berat yang bisa memberikan efek jera. Bahkan jika mereka memiliki pelindung, pelaku bisa lepas dari segala jenis jerat hukum. 

Jika remaja semakin terpapar dan jauh dari agama maka, remaja akan semakin terjerumus pada pergaulan bebas dan semakin enggan untuk membangun pernikahan. Kehidupan pernikahan dan keluarga digambarkan sebagai pengekang kebebasan dan penghambat karir, apalagi dengan kehadiran anak-anak. Remaja akan lebih memilih memiliki hubungan tanpa ikatan pernikahan. Jika fenomena menolak pernikahan ini terus berlanjut, maka kelahiran generasi akan terhenti.

Saat ini Gen Z diarahkan dengan seruan keseteraan gender. Banyak pakar feminis berasumsi bahwa pernikahan melanggengkan budaya patriarki. Mereka menganggap menikah berarti menyerahkan perempuan ke tangan laki-laki, sehingga menghambat mereka mengembangkan diri. Efek yang diarahkan malah tidak politis, melainkan menjadi pejuang gender yang menjauhkan mereka dari fitrah manusia yaitu menikah.

Bantahan terhadap seruan gender, bahwa persoalan perempuan karena sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah mendorong perempuan untuk berpandangan materialistis, sehingga mereka lebih memilih untuk menjalani hidup sebagai wanita karir dan tenggelam dalam kenikmatan materi.

Sekularisme berpandangan bahwa aturan agama harus dipisahkan dari kehidupan, sebagai pemikiran mendasar dari kapitalisme. Sementara itu, liberalisme menjadi penguat dan penopang agar wanita semakin jauh dari pemahaman Islam. Liberalisme mendorong seorang wanita cenderung mengikuti gaya hidup dan fashion Barat, yang melahirkan wanita-wanita yang tidak memiliki pendirian, wanita labil yang bergerak mengikuti hawa nafsunya.

Kebebasan berekspresi justru mengantarkan pada liberal (bebas) tidak mau terikat dengan agama serta melahirkan ide kesetaraan gender menganggap perempuan setara dengan laki-laki dalam hal apapun, hingga muncul pemikiran enggan menikah dengan alasan beberapa sebab.

Pengarusutamaan gender yang diusung saat ini justru menumbalkan perempuan, problem bermunculan seperti kekerasan seksual, perselingkuhan, kenakalan remaja, perceraian,dsb. Penting untuk diketahui, bahwasanya sejarah perjuangan gender berasal dari Barat. Alhasil, seruan gender yang digencarkan laksana racun yang dibalut madu. Alih-alih harapan mampu menstabilkan kondisi kehidupan dengan membawa kemulian dan rasa kemanusian, justru mendorong wanita semakin masuk ke dalam jurang kenistaan.

Agar kondisi kehidupan bisa stabil seharusnya penguasa menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki bukan kepada perempuan untuk UMKM. Karena sejatinya kewajiban mencari nafkah berada dipundak laki-laki, bukan kewajiban perempuan.

Fenomena turunnya angka pernikahan ini adalah dampak kerusakan diterapkannya kapitalisme sekuler. Karena itu, perlu kembali pada aturan islam. Gen Z dan umat Islam juga harus hati-hati dengan jebakan pemikiran feminis sekuler yang menyerukan kebebasan dan kemandirian perempuan, yang jauh dari konsep pemikiran Islam


Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam menikah tentu membutuhkan ilmu dan kesiapan. Hanya saja, menjadi fobia dengan pernikahan berdasarkan realitas pernikahan yang jauh dari tuntunan syariat, terlebih dengan kondisi sistem sekuler kapitalisme hari ini tentu membutuhkan sikap yang bijak. 

Dalam kitab Nizham al-Ijtima’iy (Sistem Pergaulan Dalam Islam) karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa pernikahan merupakan pengaturan hubungan antara unsur kelelakian (adz-dzakuurah/maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (al-unuutsah/feminitas). Dengan kata lain, pernikahan merupakan pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin, dengan aturan yang khusus.

Peraturan tersebut menentukan bahwa keturunan manusia hanya dihasilkan dari hubungan pernikahan saja. Melalui pernikahan inilah, akan terjadi perkembangbiakan umat manusia. Inilah tujuan pernikahan dalam Islam.

Di sisi lain, Islam menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayh).

Rumah tangga bukanlah institusi yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam klaim superioritas gender. Syariat Islam justru memiliki seperangkat hukum yang berlaku sama, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam pandangan Islam terkait laki-laki dan perempuan. Islam sama sekali tidak memandang masalah kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan.

Islam telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Ketika Islam menetapkan semua itu, tidak lain Islam menetapkannya sebagai hak dan kewajiban terkait dengan kemaslahatan manusia menurut pandangan Allah, bukan karena ada atau tidak adanya kesetaraan.

Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗ
"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka." (TQS al-Ahzab (33) : 36)

Dengan sendirinya, ketika Allah menetapkan kewajiban mencari nafkah kepada laki-laki, mendidik istri, atau menjadi pemimpin keluarga, itu semata karena syariat yang menetapkan itu semua. Demikian juga saat syariat menganjurkan perempuan untuk taat pada suami serta menjadi ibu dan pengurus rumah tangga itu pun semata karena tuntutan syariat, bukan karena adanya superioritas laki-laki atas perempuan.

Sangat jelas bahwa Islam sama sekali tidak memandang masalah kesetaraan gender diantara laki-laki dan perempuan. Berarti penjelasan gender bukan dari Islam.

Allah SWT mensyariatkan berbagai taklif (beban) hukum bagi laki-laki dan perempuan. Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan ketika menyeru manusia kepada keimanan. Islam telah menjadikan berbagai taklif yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan zakat sebagai taklif yang satu, baik bagi laki-laki maupun perempuan. 

Islam menetapkan hukum-hukum Muamalat (jual-beli), berbagai sanksi (uqubat), terhadap laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi, karena keduanya dipandang sebagai manusia. Islampun telah mewajibkan aktivitas belajar-mengajar terhadap kaum muslim, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.

Allah SWT juga telah menetapkan bahwa perempuan boleh bekerja dalam berbagai aktivitas berdasarkan keumuman seruan Allah SWT (yang dibolehkan Syariat Islam) dan tidak adanya larangan khusus yang ditujukan bagi perempuan (yang dilarang Syariat Islam).

Dengan demikian, seruan gender bukan dari Islam tetapi dari Barat untuk menjauhkan muslimah dari Islam.

Wallahu'alam bissawab.






Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar