Oleh: Imas Royani, S.Pd.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran: 104).
Sabtu 9 November 2024. Tidak seperti hari sebelumnya, riuh ramai di Gedung Pusat Dakwah Indonesia (Pusdai) Bandung terlihat sejak pagi buta, bahkan halaman parkir penuh oleh bus dan kendaraan lainnya menjelang shubuh. Kalimat tauhid menggema bersahutan dengan suara takbir. Masjid pun tak mampu menampung jamaah saking banyaknya. Menjelang siang semakin banyak saja. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menggelar aksi damai bela Palestina atas invasi Israel di Gedung Sate.
Peserta melakukan long march dari area masjid Pusdai menuju Gedung Sate dan memekikkan yel-yel dengan penuh semangat, “Free, free Palestine! Bebaskan! Bebaskan! Bebaskan Palestina! Bebaskan! Bebaskan dengan jihad dan Khilafah!”
Meski panas terik matahari menyengat, tetapi tidak menyurutkan para peserta aksi untuk tetap fokus menyimak berbagai pemaparan yang disampaikan para orator. Massa bergerak rapi dan mantap mengibarkan panji Rasulullah, ar-rayah dan al-liwa, diiringi seruan agar penguasa muslim mengerahkan pasukannya membebaskan Palestina.
Aksi tersebut menjadi wujud nyata dari protes masyarakat yang menuntut agar Indonesia lebih tegas dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Rizky juga menegaskan, aksi tersebut bukan yang terakhir. Massa aksi akan terus melakukan demonstrasi hingga Palestina merdeka. Bahkan, ia menambahkan, kemungkinan akan ada aksi lanjutan dengan jumlah massa yang lebih besar. Aksi dimulai dengan long march yang dimulai dari Pusdai menuju Gedung Sate. Sepanjang perjalanan, para peserta aksi terus menyerukan agar masyarakat Jawa Barat mendoakan kemerdekaan Palestina.
Acara inti aksi ini adalah orasi dari perwakilan ulama dan tokoh Jawa Barat. Orasi pertama disampaikan ulama aswaja Ustaz Hendi Faisal dari Kabupaten Bandung Selatan. Menurutnya, inilah wujud ketika sistem aturan kita tidak berakar dari iman. “Demokrasi kapitalisme hanya mewujudkan kekejaman dan pembantaian. Kita tidak bisa berharap dari penguasa yang menerapkan kapitalisme. Iman kita rusak, saudara kita dibantai,” tegasnya.
“Yang terjadi di Palestina adalah pembantaian, genosida. Yang dibunuh adalah saudara-saudara kita. Terbunuhnya satu orang lebih besar di sisi Allah Taala ketimbang hilangnya dunia. Ini menunjukkan bahwa memerlukan satu titik iman saja, cukup untuk membuat marah umat Islam. Ketika ada yang mengaku muslim, tetapi berdiam diri, sungguh telah hilang iman mereka,” ucapnya.
Kemudian, ulama aswaja Ustaz Azizi Fathoni dari Priangan Timur menjelaskan, kaum muslim perlu membedakan antara bangsa Yahudi, bangsa Israel, dan Zionisme, sebuah gerakan yang dipimpin Theodore Herzl yang berniat mendirikan negara Israel Raya di bumi Palestina.
Oleh karenanya, orator selanjutnya Ustaz Eri Taufik menegaskan, terbukti bahwa Khilafah dibutuhkan dan sangat penting bagi kaum muslim, bahkan menjadi mahkota kewajiban. “Persoalan Zionis Israel saja tidak mampu kita atasi sama sekali. Kenapa? Karena kita tidak hanya berhadapan dengan sebuah negara kecil dengan pasukan seadanya, tetapi kita berhadapan dengan back up negara super power Amerika yang terus mendukung Yahudi laknatullah itu,” tandasnya.
Lalu, ulama aswaja sekaligus pakar fikih kontemporer Ustaz Shiddiq al-Jawi memaparkan bahwa persoalan penjajahan yang dilakukan Zionis kepada saudara-saudara muslim di Palestina tidak akan tuntas, kecuali dengan dua kata, yakni jihad fi sabilillah dan Khilafah.
“Jihad artinya perang di jalan Allah untuk melawan orang kafir. Perang inilah yang sekarang dibutuhkan dan menjadi solusi melawan Zionis Israel. Kemudian yang kedua, mengapa solusinya Khilafah? Karena Khilafah itu intinya adalah negara Islam. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan dilanjutkan oleh para Khalifah setelahnya,” urainya.
Selanjutnya Ustaz Asep Soedrajat menjelaskan bahwa Gaza adalah kita, derita mereka adalah derita kita, perjuangan mereka adalah perjuangan kita. “Kondisi kaum muslim sekarang ini tercerai berai. Perjuangan kita adalah menghadirkan amir di bawah sistem Khilafah. Saatnya berjuang bersama-sama, merapatkan barisan dan berjuang untuk tegaknya kembali Khilafah,” serunya.
Pada aksi ini, peserta larut dalam pembacaan puisi oleh perwakilan anak-anak yang membandingkan kondisi anak kecil di Gaza dan di Indonesia. Anak-anak ini berjuang bersama anak-anak Palestina walaupun dengan cara yang berbeda. Anak-anak pun ingin menyuarakan bahwa solusi masalah Palestina adalah dengan tegaknya Islam kaffah. Suasana makin bergelora ketika peserta serentak mengibarkan panji ar-rayah dan melakukan koreografi Big Royah.
Aksi ditutup dengan pernyataan sikap dari Forum Ulama, Tokoh, dan Advokat (FUTA) Jawa Barat, di antaranya menolak solusi dua negara sebagai solusi masalah Palestina dan mengajak semua pihak, khususnya para tokoh-tokoh muslim dari kalangan ulama, mubaligah, militer, cendekiawan, pengusaha, jurnalis, pengacara, mahasiswa, dan yang lainnya, untuk bersatu dalam ukhuah islamiah, berjuang bersama demi terbebaskannya kawasan Baitulmaqdis (Palestina) dan negeri-negeri Islam lainnya. Persatuan tersebut tegak di atas landasan akidah islamiah sehingga diperlukan institusi yang akan menyatukan umat Islam, yakni Khilafah.
"Kegiatan ini dari forum tokoh ulama, mahasiswa, dan advokat se-Jabar. Pesertanya itu target kita 5.000 orang. Tapi yang terdata di kita itu lebih dari 6.000 orang. Mereka meminta agar pemerintah turut mengerahkan anggota TNI membantu melawan tentara Zionis. Bukankah hari ini TNI itu dilatih untuk berperang, diberikan senjata untuk apa? Untuk berperang harusnya itu langkah konkret, betul, itulah yang kami serukan hari ini. Harus itu langkah konkretnya,"ujar Ketua LBH Pelita Umat Jabar, Ricky Fatamazaya setelah selesai aksi. (IDN Times, 9/11/2024).
Ada beberapa tuntutan yang disampaikan oleh massa aksi, salah satunya langkah kongkret pemerintah dalam membantu Palestina dari Invasi Israel. Menurut Ricky, pemerintah dan unsur lainnya perlu membuat tindakan strategis bukan hanya mengirimkan bantuan logistik, pemboikotan produk (Israel), dan diplomasi yang nyata-nyata hingga saat ini tidak bisa menghentikan genosida. Yang ada malah semakin membabi buta. Sudah lebih dari 45.000 warga Palestina dibantai oleh tentara Zionis Israel, lebih dari 1.500.000 orang mengungsi, dan lebih dari 100.000 orang luka-luka. Di antaranya anak-anak dan perempuan.
Salah satu tindakan bantuan kongkret yang perlu dilakukan pemerintah yaitu dengan mengirimkan anggota TNI untuk turut dikirim ke Palestina dan melawan tentara Zionis Israel. Apalagi, pemerintah Indonesia memiliki beberapa tentara terbaik. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Bagaimana mungkin bisa memberikan hak segala bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan, jika penjajahan di atas dunia tidak dihapuskan? Bukankah Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia? Tidak tergerakkah kita untuk bersatu sebagaimana yang dilakukan zionis dan pelindungnya?
AS dengan serius terus memberikan dukungan kepada Zionis dalam melakukan perampasan wilayah Palestina. Laporan terbaru dari The National Interest bahkan membahas miliaran dolar uang yang bersumber dari pembayaran pajak Amerika dikirimkan kepada Zionis untuk membiayai perang yang sedang berlangsung.
Hal ini berbanding terbalik dengan sikap penguasa di negeri-negeri muslim. Mereka seakan-akan buta dan tetap mati rasa melihat pembantaian kaum muslim di Palestina. Saat AS bergerak membantu Israel dengan memasok persenjataan ke sana, penguasa negeri-negeri muslim sama sekali tidak tergerak hatinya untuk memobilisasi pasukan militernya untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka diam di tempat, kaki mereka terikat sekat geografis bernama nation state.
Sungguh, nasionalisme telah membuat penguasa negeri-negeri muslim jumawa dengan paham kebangsaan masing-masing. Memanfaatkan emosional geografis tersebut, kaum kafir penjajah berhasil menjadikan kaum muslim terkotak-kotak. Mereka hidup dalam batas-batas wilayah dan enggan memahami kondisi yang lainnya. Kaum muslim yang tidak menyadari adanya upaya pecah belah ini, hidup dan berkembang dengan spirit nasionalisme, padahal nasionalisme adalah awal lumpuhnya perasaan dan pemikiran terhadap masalah di dunia Islam, termasuk Palestina.
Terlihat jelas bahwa nasionalisme adalah racun yang menggerogoti persatuan kaum muslim. Nasionalisme ini pula yang membuat kaum muslim senantiasa tersandung ketika hendak bangkit kembali meraih predikatnya sebagai umat terbaik. Nasionalisme menjadikan batas teritorial seolah-olah lebih sakral daripada ikatan akidah, padahal Islam menyerukan persatuan, bukan untuk bercerai-berai.
Rasulullah Saw. mengibaratkan kaum muslim laksana satu tubuh. Beliau bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari dan Muslim).
Perasaan cinta terhadap tanah kelahiran pada dasarnya wajar, sebagaimana Rasulullah Saw. pun selalu merindukan kota kelahirannya, Makkah. Hanya saja, menjadikan kecintaan itu sebagai spirit untuk bermusuhan dan berpecah belah tanpa memperhatikan ikatan akidah, itu sama sekali tidak ada nilainya di mata syariat.
Atas dasar itulah, Rasulullah saw. sendiri tidak menjadikan ikatan ashabiyah sebagai pengikat antara sesama muslim. Dari Zubair bin Muth’im, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang mengajak kepada ashabiyah, berperang karena ashabiyah dan mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud). Ashabiyah inilah yang dikenal dengan istilah nasionalisme.
Islam tidak mengenal nasionalisme. Artinya, nasionalisme lahir dari sistem sekuler kapitalisme yang memadamkan makna persaudaraan karena iman dan Islam. Jelas, nasionalisme tidak hanya membajak ikatan akidah para penguasa muslim, tetapi juga membuat mereka rela menunjukkan loyalitasnya pada penjajah demi kedudukan dan kekuasaan.
Umat Islam justru harus bersatu dan bangkit mendobrak sekat-sekat geografis bernama nasionalisme yang selama ini membelenggu kaki dan tangan mereka. Umat harus menyadari bahwa mereka saat ini mereka terjajah secara pemikiran hingga tidak bisa berpandangan nyata untuk menggagas solusi tuntas atas pendudukan Israel di Palestina.
Umat harus menyadari hal ini secara terus-menerus sehingga terbentuk kesadaran kolektif di tengah-tengah umat. Selanjutnya, umat bersama-sama berjuang untuk menegakkan institusi Khilafah yang secara nyata akan memberi solusi hakiki untuk membebaskan Palestina. Dengan tegaknya institusi ini, khalifah akan memobilisasi pasukan militer kaum muslim, dan mengarahkan tank-tank tangguh umat Islam pada entitas Yahudi melalui seruan jihad fii sabilillah. Sungguh kebutuhan umat atas institusi Khilafah adalah perkara penting dan mendasar untuk memerdekakan negeri-negeri muslim dari segala bentuk penjajahan kaum kafir. Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar