Oleh : Fithriyati Ummu Thoriq (Anggota Revowriter)
Membicarakan persoalan umat Islam seolah tidak ada habisnya. Belum usai persoalan Palestina yang kian membara, muncul kembali persoalan Rohingya yang tambah merana. Kemanapun mereka pergi berlayar, banyak ditolak oleh negara-negara yang menjadi tujuan berlabuh mereka. Karena mereka dianggap ilegal. Sungguh ironi yang tiada terperi bagi warga Rohingya.
Sebagaimana diberitakan oleh kompas.com sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Pantai Labu, kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada Kamis 24/10/2024 setelah berlayar selama 17 hari dari kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka diijinkan merapat setelah terombang-ambing di lautan selama satu pekan. Mereka mengungsi karena adanya konflik di negara asal mereka yaitu Myanmar.
Tidak hanya kali ini saja pengungsi Rohingya mendarat di Indonesia. Pada tahun sebelumnya yaitu November 2023 tercatat 256 pengungsi Rohingya mendarat di perairan Kecamatan Gandapura, kabupaten Bireun, Aceh. Namun warga di sekitar sepakat menolak pendaratan kapal tersebut. Saat ini, di Aceh sendiri telah menampung pengungsi Rohingya yang sebelumnya terdampar di Sabang, Banda Aceh, dan kabupaten Aceh Timur yang tadinya berjumlah 736 orang menjadi 233 yang masih ada di tempat penampungan karena sebagian telah melarikan diri dari sana. Adapun alasan mereka memilih berlayar ke Indonesia karena Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sehingga mereka berharap mendapatkan perlindungan dari saudara muslim di Indonesia.
Sebuah harapan yang wajar sebenarnya. Karena dalam Islam, seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda "Sesama muslim adalah saudara, tidak boleh saling mendzalimi, mencibir atau merendahkan. Ketakwaan itu sesungguhnya di sini," sambil menunjuk dada dan diucapkannya tiga kali. (Rasul melanjutkan): "Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya dan kehormatannya." Hadits ini menunjukkan bahwa sesama muslim tidak boleh saling mendzolimi, termasuk membiarkan mereka menderita tanpa kepastian tempat tinggal yang layak bagi manusia.
Sayangnya, karena Indonesia termasuk menganut paham nation state(negara bangsa), maka negara menganggap bahwa warga Rohingya bukan saudara meski mempunyai agama yang sama yaitu Islam. Bahkan dewan komisioner BPIB yaitu Prof. Mahfudz MD mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tapi negara kebangsaan yang berketuhanan. Namun dalam prakteknya Indonesia lebih cenderung ke negara bangsa. Buktinya negara meminta kepada pengungsi Rohingya yang masih ada di penampungan untuk meninggalkan tempat penampungan dengan alasan gedung akan direhab paling lambat November ini. Dan mereka diserahkan kepada UNHCR selaku badan dunia yang mengurusi masalah pengungsi.
Begitulah gambaran ketika umat itu tidak diatur oleh Islam. Saat ini secara umum negara didunia menganut sistem kapitalisme yang berakar pada paham sekularisme dimana agama tidak boleh turut campur dalam urusan kehidupan. Agama hanya boleh mengatur dalam ranah ibadah mahdhoh saja, sedang kehidupan ini diatur oleh para pemilik modal dimana tujuannya hanya keuntungan materi semata. Kalau tidak ada keuntungan buat mereka, mana mau mereka peduli dan bertanggung jawab untuk sekedar menolong warga Rohingya. Ditambah umat yang sudah jauh pemahaman agamanya, ikut ikutan menolak para pengungsi tersebut dengan berbagai alasan. Alhasil pengungsi Rohingya berada dalam kebingungan. Mau meminta tanggung jawab siapa atas kehidupan mereka? Dinegerinya sendiri diusir, mencari perlindungan di negara saudara juga tidak diterima, mengharap badan dunia(UNHCR) belum ada kepastian.
Maka pilihan yang tepat harusnya kembali kepada sistem Islam. Hanya sistem islam yang memanusiakan manusia. Dalam masalah Rohingya ini, negara akan memberikan perhatian yang besar dengan menempatkan mereka ditempat yang layak. Mereka akan diberikan pekerjaan untuk meneruskan kehidupan mereka. Selama belum menghasilkan dari usahanya dalam bekerja, negara akan memberikan bantuan yang dibutuhkan. Intinya negara tidak akan membiarkan mereka menderita tanpa kepastian.
Hal ini pernah dilakukan oleh sultan Bazayid ll, Khalifah di masa Ustmaniyah yang membantu ribuan penduduk Yahudi ketika mereka lari dari Spanyol/Andalusia karena di Spanyol mereka dipaksa masuk Kristen. Jika tidak mau mereka akan dibunuh. Mereka diterima dengan baik dan ramah oleh penduduk Turki Utsmani. Bahkan pemerintah Ustmaniyah mengeluarkan undang-undang yang melindungi mereka, bersumber dari syariat Islam yang menegaskan perlindungan dan penghormatan kepada ahlu dzimah(orang kafir yang tunduk dan taat terhadap syariat Islam dalam hal muamalah). Mereka mendapatkan hak yang sama dengan warga daulah Islam yang muslim seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain lain. Dalam hal ibadah, mereka boleh menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Demikianlah yang dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem islam. Jika kepada yang kafir saja mereka berlaku baik dan ramah, apalagi kepada sesama saudara muslim. Harusnya lebih lebih lagi. Apalagi jika teringat hadist Nabi, "Seorang muslim saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiyayanya dan tidak akan dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat saudaranya maka Allah akan menyampaikan hajatnya, dan siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim maka Allah akan melapangkan kesukarannya di hari kiamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang muslim maka Allah akan menutupinya di hari kiamat." (HR. Bukhari, Muslim)
Pertanyaannya, tidakkah kita menginginkan kebaikan akhirat dengan dilapangkannya urusan kita? Kalau menginginkan hal itu, maka marilah ikut memperjuangkan Islam agar aturan Islam bisa segera diterapkan di seluruh aspek kehidupan. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam saja kita mampu menolong muslim Rohingya mendapatkan hak untuk hidup secara layak. Dan tidak hanya Rohingya saja yang dibebaskan, tapi juga Palestina, Uighur dan umat Islam dibelahan dunia yang lain yang masih mengalami ketertindasan akan hidup sejahtera dalam naungan Islam. Wallahu a'lam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar