Tunjangan Rumah Dinas Wakil Rakyat, Apakah Sejalan dengan Kepentingan Rakyat?


Oleh : Dini Koswarini

Dewasa ini, publik masih diramaikan dengan kabar program Tabungan Perumahan rakyat (Tapera) yang harus di cicil tiap bulan, dengan nilai pemotongan iuran Tapera bagi pekerja sebesar 2,5 persen per bulan dari gaji.

Namun nyatanya, ada kabar yang tidak kalah menghebohkan masyarakat. Di kala masyarakat dituntut untuk mandiri memfasilitasi rumah tinggalnya, berbeda dengan para wakil rakyat. 

Diketahui, anggota DPR RI periode 2024–2029 tidak lagi akan mendapatkan fasilitas rumah dinas. Tapi sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan uang tunjangan rumah dinas atau rumah jabatan yang besarannya sekitar Rp 50 juta per bulan. (Kompas.com, 11/10/2024)

Pemberian tunjangan rumah dinas anggota DPR ini tentunya menambah panjang fasilitas yang diterima anggota dewan selama menjalani tugas sebagai wakil rakyat. Siera Tamara, Peneliti ICW, mengatakan total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp 1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Belum lagi persoalan lain yang muncul akibat mekanisme pembayaran tunjangan ini. 

Akhirnya, tunjangan rumah dinas ini menjadi sekian dari banyaknya kebijakan yang ironis bila dibandingkan dengan kenyataan yang menimpa rakyat saat ini. Rumah yang merupakan kebutuhan dasar rakyat sulit untuk didapatkan karena mahalnya harga rumah. Saat ini terdapat 12,71 juta backlog perumahan (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan) di Indonesia. Sementara, harga property terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2022 kenaikannya tercatat sebesar hampir 4% dari tahun sebelumnya (theconversation.com, 21/09/2023)

Meski di sisi lain, tunjangan ini diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Namun melihat realita sebelumnya, dan realita anggota Dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Optimalkah kerja mereka?

Apalagi, dengan adanya rumah jabatan anggota, tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara. Belum lagi persoalan lain yang muncul, seperti mempersulit pengawasan penggunaan dana tsb. Terlebih dana ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Wajar jika ada anggapan tunjangan ini hanya memperkaya mereka.

Sangat berbeda dengan wakil rakyat yang terdapat dalam sistem Islam, Majelis Ummah ialah sebutan untuk wakil rakyat dalam Islam dengan peran yang strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Dalam Islam, ada Majelis Ummah, yang merupakan wakil rakyat, namun berbeda peran dan fungsi dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Anggota majelis ummat murni mewakili umat, atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. 

Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena merupakan Amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara. Apalagi Islam juga memliki aturan terkait dengan harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya. 

Majelis Umat merupakan wujud dari perwakilan rakyat tidaklah berstatus sebagai pegawai negara yang berhak menerima gaji. Untuk menunjang kinerjanya, bila ada hal-hal yang perlu dianggarkan maka mereka mendapatkan santunan dalam jumlah yang secukupnya saja tidak berlebihan. 

Adapun fasilitas yang mereka terima dari negara, itu sebab mendapat bagian dari pemberian negara yang mana setiap individu warga pun mendapatkan hak yang sama untuk memperolehnya. Seperti jaminan keumudahan dari negara untuk rakyatnya dalam memperoleh rumah untuk tempat tinggal. Yang akan sangat mudah dipenuhi oleh negara ketika negara menerapkan sistem ekonomi Islam.

Wallahu’alam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar