Oleh: Riska Azizah (Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini Indonesia di hebohkan dengan kasus korupsi yang seakan tidak ada hentinya dan senantiasa menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam sebuah tatanan bernegara.
Kasus korupsi pun telah menjadi penyakit kronis yang telah mengakar di berbagai sektor, mulai dari pertambangan, praktik suap-menyuap, memanipulasi proses perizinan hingga kasus korupsi impor gula.
Baru-baru ini Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Menteri Perdagangan yakni Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula pada saat itu ia masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) pada 2015-2016 lalu, kini Tom Lembong telah di tahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. (kompas.com, 29/11/2024).
Belum lama ini, tepatnya pada awal bulan April Indonesia telah di gemparkan oleh kasus korupsi timah sebesar Rp.271 Triliun yang menyeret 16 tersangka. Detiknews pada Senin 1 April 2024.
Kasus tersebut merugikan negara dengan jumlah yang sangat fantastis, bahkan bisa di katakan jumlah korupsi terbanyak yang pernah ada di Indonesia yang melebihi kasus korupsi BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang mencapai potensi kerugian Rp.138,44 Triliun dari 144,536 triliun yang di salurkan pada tahun 1997-1998. Dikutip CNBC Indonesia, Senin (12/4/2021).
Kasus korupsi merupakan suatu tindakan yang telah mendarah daging dalam negara kita Indonesia. Hal ini dapat di picu oleh beberapa hal di antaranya; Tingginya gaya hidup hedonisme dalam sistem kapitalisme menjadikan seseorang tidak pernah merasa puas terhadap harta yang telah di milikinya. Apapun yang mereka peroleh selalu merasa kurang sehingga menimbulkan keserakahan dengan menghalalkan segala cara demi untuk meraih keuntungan serta keinginan yang ingin mereka capai, tak peduli merugikan ataupun menghancurkan orang lain.
Di timpali pula oleh adanya kesempatan yang ada, sehingga seseorang semakin berpeluang untuk melakukan tindak praktik korupsi. Sebagaimana dalam teori GONE yang di kemukakan oleh penulis Jack Bologna yang menjelaskan tentang adanya faktor korupsi yakni Greedy (keserakahan) serta Opportunity (kesempatan).
Dalam sistem kapitalisme hari ini sangat mustahil untuk dapat mempercayai seorang pejabat yang jujur serta amanah dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu di sebabkan karena ketidak adanya peran negara dalam mengontrol serta menanamkan nilai-nilai akidah dalam diri masyarakatnya. Sebab sistem ini memisahkan agama dari kehidupan yang dapat membuat manusia menjadi lalai terhadap tugas utamanya yakni mensejahterakan rakyat nya, mereka hanya sibuk untuk memperkaya diri dan berlomba-lomba untuk mendapatkan harta demi kepentingan segelintir manusia.
Banyaknya kasus korupsi juga dapat di picu oleh ketidak adanya hukuman yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku koruptor. Lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan kasus korupsi tentu menjadi permasalahan yang cukup besar. Meskipun telah ada komisi pemberantasan korupsi (KPK), pengadilan, kejaksaan, kepolisian pun tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut.
Hal ini tentu semakin menggambarkan ketidak seriusan para pemimpin lembaga dalam menangani kasus korupsi. Belum lagi hukum di Indonesia yang seakan berpihak kepada kaum-kaum investor dan penguasa sehingga menjadikan para pelaku tidak memiliki rasa takut untuk semakin melanggar aturan negara.
Hukum dalam sistem kapitalisme hari ini juga seakan dapat dengan mudah di per jual belikan sehingga dapat memuluskan serta melanggengkan jalan kaum elit untuk melakukan tindakan korupsi sekaligus melanggengkan jabatan yang ada. Maka tak ayal muncul istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah rasa-rasanya sudah bukan suatu hal yang tabu dalam sistem kapitalisme hari ini.
Itulah sebabnya jika hukum suatu negara di buat oleh manusia yang memiliki hasrat serta nafsu yang besar sehingga hukum dapat di atur dan di revisi sesuka hatinya serta di perjual belikan demi kepentingan nya. Hukum yang seharusnya mengatur masyarakat beserta tatanan negaranya kini malah sebaliknya, hukum yang di atur oleh kaum-kaum elit dan penguasa.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam menganggap kasus korupsi merupakan kasus perampokan dan pengambilan harta orang lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan kegaduhan dalam negara.
Maka Islam memberikan hukuman yang tegas yakni dengan Qisas atau di bunuh kemudian di salib dan di arak ke seluruh warga agar supaya masyarakat yang melihat kembali berfikir dan tidak berani untuk melakukan hal yang sama.
Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 33 yang artinya “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah di bunuh dan di salib atau di potong tangan dan kaki mereka secara silang, atau d asingkan di tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar."
Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menangani kasus korupsi. Islam menganggap bahwa kasus korupsi bukanlah kasus yang sepele melainkan kasus yang memang harus di berantas hingga akarnya.
Islam akan menyelesaikan kasus korupsi secara kongkrit dengan cara menutup semua pintu-pintu yang dapat memicu terjadinya tindak korupsi. Islam akan membentuk akidah Islam dalam diri setiap individu dalam masyarakat melalui pendidikan dan halqoh-halqoh sehingga dapat tercipta controlling pada diri setiap umat untuk selalu taat terhadap syariat dan menjauhi kemaksiatan seperti korupsi salah satunya.
Selain memberikan sanksi yang tegas Islam juga akan menegakkan hukum secara adil tidak ada tebang pilih apalagi sampai tajam ke bawah tumpul ke atas. Tak peduli siapa yang melakukan kesalahan akan di kenakan sanksi, baik keluarga, pejabat atau anak Khalifah sekalipun.
Sebagaimana yang di lakukan oleh Khalifah Umar bin Al Khattab ra, yang kala itu melihat unta peliharaan milik putranya gemuk di dalam tempat peliharaan yang di khususkan untuk Baitul mall, maka Khalifah Umar memerintahkan agar supaya unta tersebut di jual dan keuntungannya di masukan ke dalam Baitul mall.
Dengan demikian hanya sistem Islam yang mampu menciptakan keadilan di kehidupan dunia. Sebab, Islam memiliki tiga pilar. Pertama, ketakwaan individu yang tinggi. Kedua, kontrol masyarakat yang menjalankan amar makruf nahi mungkar. Ketiga, peran negara akan berperan penting dalam menjaga dan melindungi rakyatnya. Wallahualam bishawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar