GURUKU SAYANG, NASIBMU MALANG


Oleh : Masrina Sitanggang (Guru dan Aktivis Dakwah)

Guru adalah profesi mulia yang seharusnya dijaga muruahnya. Ia adalah sang pemilik ilmu sekaligus yang memberikan ilmu. Banyak dalil yang menggambarkan keutamaan beserta kedudukan guru di sisi Allah dan Rasul-Nya. Karena Guru merupakan ujung tombak pembentukan generasi yang gemilang.

Menyoroti berita viral yang akhir-akhir ini sedang marak seperti kasus Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dilaporkan ke Polsek Baito atas dugaan penganiayaan terhadap anak di bawah umur pada April 2024 lalu.

Demikian juga kasus Zaharman (58), seorang guru SMAN 7 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diketapel oleh Arpanjaya (45), ayah dari PD (16) pada Selasa (01/08) lalu. Penyebabnya adalah Arpanjaya tidak terima atas laporan anaknya yang ditegur karena merokok di kantin sekolah.

Dari kasus diatas sudah jelas bahwa guru tidak lagi dimuliakan, didikannya justru dianggap sebagai tindak kejahatan. Jika penertiban guru terhadap siswa dinilai menjadi sebuah kekerasan maka akan banyak guru yang "masa bodoh" terhadap murid yang sulit untuk dinasehati. Pada akhirnya ini akan berujung pada output generasi yang gagal dan jauh dari kegemilangan.

Selain itu, jika ditelisik dari jumlah upah yang didapatkan ternyata banyak guru yang masih jauh dari kesejahteraan. Seperti contoh Guru Yani dalam sebuah video yang mengungkapkan bahwa gajinya hanya Rp 250 ribu per bulan, sementara rekannya mengungkapkan hal sama. Dan yang lebih menyayat hati sebagaimana Kisah Alvi, Guru Honorer Nyambi Memulung Sampah Demi Nafkahi keluarga, karena Gaji Tak Mencukupi.

Kasus diatas hanyalah secuil berita yang diangkat dari seabrek berita guru yang bertebaran dimedia massa.

Dinegeri ini, guru terbagi menjadi PNS dan honorer. Keduanya punya tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mendidik dan mengarahkan generasi. Namun upah keduanya jelas berbeda. Upah honorer yang dituntut harus meluaskan kesabaran, dan juga Upas pegawai sipil yang bisa dibilang pas-pasan. 

Lalu, dimana letak kemuliaan guru?
Bukannya pekerjaan guru itu adalah mulia?
Mengapa memperlakukan mereka tidak dengan cara yang mulia? 

Guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal guru adalah gerbang setiap insan untuk mencapai setiap cita-citanya.

Gaji guru yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan selain mengajar. Hal ini jelas akan mengganggu fokus mengajar guru. Namun harus tetap dilakukan karena ada tanggung jawab nafkah keluarga yang harus dipenuhi. Bagaimana mungkin berharap generasi yang berkualitas jika guru sudah terbagi fokusnya? Bagaimana mungkin berharap generasi gemilang jika gerak guru untuk mendidik siswa dibatasi hanya sekedar transfer ilmu? 

Disamping itu, dengan banyaknya kasus pengaduan guru kepada pihak berwajib, akhirnya banyak guru yang memilih menyelamatkan diri dengan tidak lagi menghukum siswa yang melanggar aturan. Bukan karena tidak peduli, tapi lagi-lagi UU tidak berpihak kepada guru. Didikannya dianggap tindakan kriminal. Sehingga memilih untuk diam dan bersabar. Alhasil murid tidak lagi punya rasa takut untuk melakukan keburukan karena merasa punya undang-undang yang berpihak kepadanya. Hingga akhirnya terbentuk murid-murid buas yang tidak punya batas. Terbentuk output komplotan tawuran, geng motor dan lainnya.

Inilah fakta yang terjadi hari ini, disistem yang masih berazaskan manfaat untuk setiap aktivitas. Sungguh jauh berbanding terbalik dengn apa yang telah dilakukan dalam masa kejayaan Islam. Zaman kejayaan Islam, guru adalah suatu pekerjaan yang mulia dan jelas dimuliakan. Sebelum seorang guru mentransfer ilmu kepada murid, maka yang pertama kali dilakukan adalah memperbaiki niat belajar setiap murid. 

Dimasa Islam juga, guru benar-benar dimuliakan oleh negara dan disejahterakan dari segi finansial. Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani di dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar.

Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.

Az-Zahrani juga menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, gajinya makin besar. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadis paling populer pada masanya, mendapatkan gaji tahunan mencapai 40.000 dinar atau setara Rp255 miliar.

Perlindungan terhadap guru dan proses belajar mengajar yang optimal tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Islam mewajibkan negara sebagai pihak yang mengurusi seluruh kebutuhan hidup manusia, tidak terkecuali kebutuhan pendidikan. Negara akan serius mengatur urusan pendidikan rakyatnya agar hak berpendidikan diberikan kepada seluruh rakyatnya secara merata dan berkualitas.

Negara Islam akan memahamkan rakyatnya tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekali siswa dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Sehingga akan terbentuk output generasi yang gemilang yang siap berdaya untuk ummat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar