Kisruh Pilkada dalam Sistem Demokrasi, Rakyat Hanya Jadi Korban


Oleh : Amey Nur Azizah  

Jelang Pilkada berbagai macam cara dilakukan untuk bisa menggapai kemenangan yang diimpikan. Hingga akhirnya Bawaslu menemukan banyak sekali fakta yang seharusnya tidak boleh dilakukan, sebagaimana yang dilansir oleh TribunKalteng.com

Badan Pengawas Pemilu Kalimantan Tengah atau Bawaslu Kalteng mengingatkan, masyarakat agar tidak terlibat dalam praktik serangan fajar atau politik uang menjelang Pilkada 2024. Sebab, pemberi dan penerimanya bisa dikenakan sanksi pidana. 

Mengutip dari Pasal 515 dan pasal 523 ayat 1-3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang. Namun, juga bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang, di luar ketentuan bahan kampanye. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat 2 dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018. 

Lebih parah lagi, bahkan ada kampanye yang menjanjikan calon pemilihnya bisa masuk surga sebagaimana yang dilansir oleh republika.co.id

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan, kampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya, sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Hal tersebut disampaikannya untuk merespons calon bupati yang viral saat kampanye menjanjikan pemilihnya masuk surga. Kiai Zainut mengatakan, masalah surga dan neraka itu bukan hak seseorang yang menentukan tetapi merupakan hak prerogatif Tuhan. Hendaknya semua kontestan Pilkada menghindari kampanye dengan model seperti itu. Ditambah lagi dengan adanya upaya mobilisasi kepala desa demi menggapai kemenangan sebagaimana yang dirilis oleh Tirto.id

Pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir. Terbaru pada Rabu (23/10/2024) malam, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mengikuti pertemuan secara tertutup di Gumaya Tower Hotel, hotel bintang lima di Kota Semarang.

Para kades yang hadir membubarkan diri saat digerebek tim Bawaslu Kota Semarang. Bawaslu memperkirakan terdapat 90-an kades yang mengikuti pertemuan, mereka merupakan delegasi dari kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Kades yang terkonfirmasi hadir dalam acara berslogan "Satu Komando Bersama Sampai Akhir" ini antara lain kades dari Pati, Rembang, Blora, Sukoharjo, Sragen, Kebumen, Purworejo, Klaten, Wonogiri, Cilacap, Brebes, Pemalang, Kendal, Demak, dan Semarang. Sepekan sebelumnya, pada Kamis (17/10/2024), terdapat kurang lebih 200 kades dari Kabupaten Kendal yang menggelar pertemuan serupa di Graha Padma, kawasan perumahan elite di Kota Semarang.

Dari data di atas, jelas bahwa banyak sekali kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Di antaranya Mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktek Suap, juga janji masuk surga yang sungguh tidak masuk akal.

Lagi dan lagi Rakyat menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya semua ini hanya akan menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal biaya yang digunakan adalah uang rakyat, dan rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut.

Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. Sejak tahun lalu, Kemendagri telah meminta setiap pemerintah daerah menyiapkan anggaran pilkada serentak sebanyak 40 persen dari APBD 2023 dan 60 persen dari APBD 2024.

Dari data di atas terlihat angka yang sangat fantastis untuk terselenggaranya pilkada, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Padahal kondisi hari ini rakyat sangat membutuhkan peran negara dalam menjamin kehidupan mereka yang lebih baik menuju kesejahteraan yang merata. Namun justru anggaran besar itu bukan untuk mereka.

Hal ini sangat berbada dengan pemilihan pemimpin dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena kepala daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan penunjukan Khalifah sesuai dengan kebutuhan Khalifah. Hal ini karena posisi mereka sebagai pembantu Khalifah. Khalifah akan memilih individu yang Amanah, berintgritas dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera. Dan point pentingnya semua proses ini tidak membutuhkan kepada biaya yang mahal.

Sumber :
1. https://kalteng.tribunnews.com/2024/10/27/jelang-pencoblosan-bawaslu-kalteng-sebut-pemberi-dan-penerima-serangan-fajar-bisa-dipidana
2. https://nasional.kompas.com/read/2024/07/10/05485611/anggaran-pilkada-2024-ditaksir-tembus-rp-41-triliun
3. https://khazanah.republika.co.id/berita/sm04ln320/komentari-janji-surga-selama-kampanye-pilkada-ini-respons-kiai-zainut
4. https://tirto.id/praktik-kotor-mobilisasi-kades-taji-bawaslu-yang-selalu-tumpul-g48x




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar