Akhiri Unjuk Rasa Pekerja dengan Penerapan Islam Secara Paripurna

 

Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Untuk yang ke sekian kalinya pasukan buruh kembali menggelar aksi demonstrasi. Aksi kali ini menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 sebesar 8-10 persen, di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha Jakarta Pusat pada Kamis (24/10/2024). Jika tuntutan tersebut tidak direspon oleh Menteri Tenaga Kerja dan pemerintahan baru, serikat buruh mengancam akan melakukan mogok nasional secara konstitusional dengan menghentikan produksi.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan bahwa rencana mogok nasional ini telah disepakati oleh sejumlah konfederasi serikat buruh, termasuk 60 serikat pekerja di tingkat nasional. Diperkirakan, aksi ini akan melibatkan sekitar 5 juta buruh. Said Iqbal menjelaskan bahwa sektor-sektor yang akan ikut serta dalam mogok kerja nasional meliputi industri transportasi, semen, pariwisata, rokok, makanan, minuman, serta pekerja pelabuhan di berbagai wilayah, termasuk Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, dan sejumlah pelabuhan lain di Indonesia. Buruh pelabuhan dari Medan hingga pekerja angkutan di TKBM juga akan berpartisipasi. Dia menambahkan bahwa aksi ini merupakan unjuk rasa nasional yang akan dilakukan di luar pabrik, bukan di dalam tempat kerja. 

"Mogok nasional akan dilaksanakan pada 11-12 November atau 25-26 November 2024, dengan melibatkan lebih dari 15.000 pabrik di seluruh Indonesia. Selama periode tersebut, pabrik-pabrik akan berhenti berproduksi. Mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang mogok kerja di tempat kerja," ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Jumat (18/10/2024).

Said Iqbal juga menegaskan bahwa Partai Buruh tidak menjadi penggerak utama dalam mogok nasional ini, melainkan dilakukan oleh serikat-serikat pekerja, bukan oleh partai politik.

"Partai Buruh hanya memberikan dukungan politik kepada perjuangan para buruh dan serikat pekerja atas dua isu utama: kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8% hingga 10%, serta pencabutan Omnibus Law (UU Cipta Kerja)," tambahnya.

Aksi mogok nasional ini dirancang untuk menghentikan produksi di ribuan pabrik di kawasan industri di seluruh Indonesia, mencakup 38 provinsi dan lebih dari 350 kabupaten/kota. Seluruh buruh, baik yang menjadi anggota serikat buruh maupun yang tidak, diundang untuk ikut serta dalam aksi ini, karena tuntutan ini menyangkut kepentingan seluruh buruh.

Menanggapi hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak apa yang diinginkan buruh. Ia berharap penetapan upah minimum dapat mengikuti formula yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51/2023 tentang Pengupahan. Shinta menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 88 D, formula perhitungan upah minimum memperhitungkan beberapa variabel di tingkat provinsi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Untuk variabel Indeks Tertentu, ditentukan oleh Dewan Pengupahan Daerah dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata/median upah. Selain itu, Shinta menegaskan bahwa upah minimum berlaku untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun, sementara pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun dapat mendiskusikan kenaikan upah berdasarkan Struktur dan Skala Upah (SUSU) di perusahaan, dengan mempertimbangkan kinerja perusahaan. APINDO secara aktif melakukan edukasi dan komunikasi kepada seluruh anggotanya dalam menyusun dan melaksanakan SUSU sesuai dengan regulasi yang ada. (Liputan6 online, 24/10/2024).

Sementara Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai sangat wajar buruh menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 naik sebesar 8 - 10 persen. Menurutnya, apalagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami deflasi 5 bulan berturut turut. Hal itu menandakan bahwa ekonomi dalam negeri sedang lesu.

Hal ini juga ditandai dengan pengeluaran untuk konsumsi makanan dan minuman lebih banyak sekitar 50-60 persen dari total pendapatan. Sedangkan untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya sangat kecil. Namun di sisi lain, hal tersebut mendorong terjadinya kenaikan biaya produksi yang mengakibatkan naiknya harga barang yang diproduksi. Oleh karena itu, perlu kontrol pemerintah untuk stabilisasi harga barang terutama bahan kebutuhan pokok.

Adapun kata Esther, formula upah minimum seharusnya mempertimbangkan besarnya inflasi produktivitas (omset dan lain-lain), serta biaya hidup di suatu daerah dengan memberikan tunjangan kemahalan di suatu kota, karena transportasi, logistik dan lainnya.

Inilah wajah acuh penerapan sistem bobrok kapitalisme demokrasi. Aksi unjuk rasa para buruh hanya ditanggapi oleh beladiri para pengusaha mati rasa bersenjatakan Undang-Undang pesanan yang disahkan penguasa yang tak punya rasa yang sudah pasti menguntungkan mereka. 

Di saat para pejabat yang bergaji besar diberikan tunjangan tambahan yang begitu fantastik, bahkan ketika sudah pensiun, para buruh hanya bisa mengeluh di sela peluh dan baju yang lusuh. Tengok saja bagaimana perlakuan penguasa menanggapi aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh dengan aksi yang sama yang dilakukan kepala desa saat meminta penambahan masa jabatan atau kenaikan gaji para hakim. Sungguh berbeda. kedua pejabat tersebut tidak perlu mengulangi aksinya karena langsung dikabulkan.

Adanya Omnibus Law (UU Cipta Kerja) telah jelas-jelas menambah kesengsaraan kaum buruh. Undang-undang tersebut menggelar karpet merah bagi investor kapitalis, alhasil sebagai konsekuensinya kesejahteraan dan hak-hak buruh dipangkas habis. Cuti, tunjangan, dan pesangon buruh yang sudah minimal semakin diminimkan. Belum lagi persoalan PHK yang acap kali menjadi solusi di tengah badai krisis ekonomi hari ini, menjadi cermin derajat buruh yang dianggap sebelah mata di muka dunia. Lengkaplah sudah derita buruh yang kian tercekik oleh sistem ekonomi kapitalis hari ini. Buruh bukannya semakin sejahtera, tetapi malah jatuh dalam lubang hitam kesengsaraan.

Belum lagi masalah upah minimum bagi buruh yang tak manusiawi. Upah dalam tatanan sistem ekonomi kapitalis tidak akan mampu menyejahterakan buruh. Hal ini dapat dilihat dari standar penetapan upah yang tidak jelas dan jauh dari kata adil yakni berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak), di mana upah ditentukan dengan menghitung kebutuhan layak bagi seorang buruh selama satu bulan. Penetapan upah yang demikian membuat buruh hidup dalam batas standar hidup yang paling minimal, yakni pada taraf hidup yang amat sederhana. Hal ini menjadi wajar dalam sistem kapitalisme hari ini. Dalam kapitalisme dikenal konsep upah besi (The Iron Wage’s Law) di mana upah yang diterima kaum buruh layaknya besi yang kaku dan tidak dapat ditekuk-tekuk lagi. Lebih mirisnya nilai upah buruh tersebut tidak diletakan pada angka yang tinggi, namun justru pada angka yang pas-pasan atau bahkan sangat rendah yang dikenal sebagai upah minimum. Alhasil buruh akan tetap menjadi budak para korporasi karena ketergantungan hidupnya pada upah minimum yang tak manusiawi.

Dalam kapitalisme demokrasi, semboyannya “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah pemanis buatan barat agar rakyat terlena oleh bujuk rayu sistem sekuler lagi kufur ini. Padahal kenyataannya justru “dari rakyat, oleh rakyat, untuk oligarki” di mana penguasa dan pengusaha bermodal besar (para elite kapital) bersatu membodohi rakyat. Penguasa memungut pajak dari rakyat dan menyusun seperangkat aturan dan kebijakan untuk rakyat namun aturan dan kebijakan yang dihasilkan hanya menguntungkan para elite kapital dan malah menyengsarakan rakyat. 

Dengan demikian dalam kapitalisme demokrasi rakyat hanya dipandang sebagai target pasar yang dapat menghasilkan pundi-pundi dolar bagi para elite kapitalis, sebagaimana asas yang mendasari sistem ini yakni mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Alhasil rakyat yang notabenenya adalah buruh akan dikuras habis tenaganya dengan upah yang minim, sedangkan hasil produksi dikuasai para elite kapital untuk dijual dengan harga selangit untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dengan begitu hanya kaum bermodal saja yang akan merasakan makmur. Sedangkan rakyat jelata dan kaum buruh akan hancur lebur dalam dekapan sistem ekonomi kufur yang ditetapkan hari ini, di mana adil dan sejahtera hanya milik pemodal yang punya kuasa.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan Sang Khaliq. Allah menjadikan Al-Qur'an petunjuk bagi manusia dalam segala aspek, termasuk untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dalam bidang politik ekonomi. Islam memiliki panduan yang lengkap dari Allah SWT. yang Maha Mengetahui baik-buruknya segala sesuatu untuk seluruh makhluknya. 

Islam memandang urusan politik sebagai riayah su’unil ummah yakni politik adalah bagian dari mengurusi seluruh urusan umat. Dengan demikian mengurusi urusan umat adalah kewajiban bagi negara. Maka negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara Islam akan memberikannya secara gratis melalui pembagian jenis kepemilikan, pemanfaatan SDA, serta harta dan pendistribusiannya yang telah disyariatkan dalam Islam. Dengan begitu tidak ada monopoli SDA dan SDM oleh pihak-pihak tertentu karena standar acuan perbuatan yang digunakan adalah standar hukum halal haram Sang Pencipta, bukan standar hukum manusia yang sarat akan kepentingan maslahatnya. 

Islam juga mengatur pengupahan yang adil. Standar pengupahan dalam Islam ialah berdasarkan pada manfaat yang diberikan. Sistem pengupahan dalam Islam akan memperhatikan hak dan kewajiban pekerja (ajir) dan pemberi kerja (musta’jir). Tidak ada kelebihan salah satu di antara keduanya di hadapan Allah SWT. melainkan karena ketakwaannya. 

Bahkan Islam memuliakan buruh. Hubungan pekerja dan majikan dalam Islam adalah hubungan tolong menolong dalam kebaikan, bukan hubungan yang mengeksploitasi. Hal ini menjadikan hubungan pekerja dan majikan berjalan harmonis. Selain itu Islam mewajibkan kejelasan dalam perjanjian atau akad/kontrak kerja, seperti terkait jenis pekerjaan, waktu kerja, upah, dan tenaga yang harus dicurahkannya. Dengan adanya akad yang jelas tersebut, antara pekerja dan majikan akan sama-sama ridha terkait dengan pekerjaan dan upahnya. 

Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah Saw. bersabda,
إذا استأجر احدكم اجيرا فليعلمه اجره
“Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya." (HR. ad--Daruquthni).

Islam menjamin keadilan bagi buruh. Di dalam Islam terdapat profesi yang mengetahui standar upah yang sepadan bagi jenis pekerjaan tertentu, sehingga bisa menjadi rujukan dalam membuat kesepakatan upah. Majikan juga wajib membayar upah pekerja secara tepat waktu dan tidak boleh menunda-nundanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, 'Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya'” (HR. Ibnu Majah dan at-Thabrani).

Adapun apabila terdapat perselisihan antara pekerja dan majikan terkait kontrak kerja, maka khalifah dan qadhi siap sedia menjadi pemutus (hakim). Terdapat para hakim yang bertugas menyelesaikan perselisihan di antara dua pihak. Hakim akan mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, lalu memutuskan secara adil berdasarkan syariat Islam. Dengan begitu keadilan akan dirasakan kedua belah pihak.

Islam pun akan memberikan jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dari Jaribah bin Ahmad al-Haritsi dalam buku Fiqih Ekonomi Umar bin Khattab bahwa tatkala Khalifah Umar ra. ingin mempekerjakan seorang pemuda, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka, seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!”

Riwayat ini menunjukkan bahwa Umar ra. menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan kepadanya dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah berdasarkan pada penawaran dan permintaan tersebut. Selain itu negara akan memastikan bahwa majikannya memberikan upah yang sesuai dengan perkerjaan sang pekerja.

Islam menjamin kehidupan yang layak bagi seluruh rakyatnya, termasuk para pekerja. Apabila upah dari pekerjaan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang pekerja dan keluarganya karena dia memiliki keterampilan yang rendah, atau fisik yang lemah, maka dalam kondisi ini negara hadir bukan dari pemberi kerja. Ketika pekerja tersebut sudah mendapat upah tapi tidak cukup untuk kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, dan papan, maka dia terkategori fakir. Dia berhak mendapatkan zakat yang dikumpulkan negara dari para muzaki. 

Dan apabila masih belum cukup maka negara akan memberi santunan rutin. Negara juga akan menyediakan kursus gratis untuk meningkatkan keterampilannya. Sedangkan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan rekreasi akan disediakan oleh negara Islam bagi seluruh rakyat, baik yang kaya maupun miskin, tanpa dipungut biaya. Dengan sistem politik ekonomi Islam yang adil ini, para pekerja tidak perlu risau akan kebutuhan hidupnya dan bisa bekerja dengan tenang. 

Demikianlah sistem Islam mewujudkan kesejahteraan bagi kaum pekerja. Kesejahteraan ini telah terwujudnya sepanjang masa peradaban Islam dan hanya akan terwujud jika negeri ini menerapkan Islam dalam bingkai negara Islam yang menjadikan Islam sebagai panduan dan sumber hukumnya. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar