Malangnya Nasib Peternak Susu dalam Sistem Kapitalisme


Oleh : Lilis Tri Harsanti (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Beberapa waktu terakhir, sejumlah peternak sapi perah di Boyolali melakukan aksi membuang susu segar. Dewan Persusuan Nasional (DPN) mencatat ada 200 ton susu segar per hari yang dibuang. 
Ketua DPN Teguh Boediyana menjelaskan bahwa aksi tersebut dilakukan lantaran industri pengolah susu membatasi penyerapan susu yang dihasilkan peternak sapi perah. "Tindakan tidak menyerap susu segar dari peternak sapi perah adalah sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi usaha peternak sapi perah rakyat dan menjamin kepastian pasar dari susu segar yang di hasilkan," katanya dalam keterangan resmi. (CNBC, 10-11-2024)

Sementara di daerah lain, para peternak sapi perah asal Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur juga melakukan aksi buang susu segar. Hal ini dikarenakan industri pengolahan susu membatasi penyerapan dari peternak lokal seiring dengan adanya impor susu sapi yang marak dilakukan belakangan ini. Sebelum ada pembatasan, pengiriman susu per hari bisa mencapai 100 ton-200 ton. Akan tetapi, saat ini hanya sekitar 40 ton. (Detik Jatim, 7 Nov 2024).

Sungguh malang nasib para peternak susu sapi. Mereka yang berharap bisa meraup untung besar, namun justru berakhir dengan aksi buang susu segar. Kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah diduga menjadi sebab peternak sapi kesulitan menyalurkan susu ke industri pengolahan. Selain itu juga ada penyebab lain, yaitu menurunnya penerimaan susu oleh industri pengolah susu. Kondisi ini jelas merugikan para peternak sapi. Tugas negara dalam melindungi nasib peternak susu sapi baik dalam hal menjaga mutu maupun dalam menampung hasil ternak belum tampak.

Di sisi lain, dalam kebijakan impor diduga juga ada keterlibatan para pemburu rente untuk mendapatkan keuntungan dari impor susu. Inilah salah satu kebijakan buruk dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena berpihak pada para pengusaha.

Ketidaktepatan pemerintah mengatasi dalam masalah ini membuktikan bahwa mereka tidak mengambil posisi sebagai pemimpin yang bertugas memenuhi (melakukan riayah) kebutuhan rakyatnya.

Padahal pemimpin di dalam Islam diibaratkan sebagai penggembala. Ia harus mengurus gembalanya dengan baik.
..الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar ra.)

Apa yang terjadi saat ini membuktikan bahwa para pemegang kebijakan tidak paham atas tanggung jawabnya. Negara seharusnya melindungi nasib seluruh rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Sudah saatnya negara melaksanakan syariat Islam demi mewujudkan kemaslahatan umat. 

Dengan Islam, negara secara mandiri akan memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Hal ini mencegah merebaknya individu atau pemimpin yang mencari untung di tengah penderitaan rakyat. Seorang pemimpin amanah yang dibutuhkan rakyat sangat sulit dijumpai dalam sistem kapitalisme saat ini. Jadi, masihkah berpikir dua kali untuk beralih ke sistem Islam?




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar