Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Tingginya tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi saat ini, tidak tercatat spesifik oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang bertanggung jawab untuk melakukan survei statistik ini, hanya mendata ketenagakerjaan untuk angka pengangguran. Sehingga tidak melakukan pendataan secara spesifik terkait jumlah PHK.
Kepala BPS Kaltim Yusniar Juliana menerangkan, salah satu faktor penyebab peningkatan pengangguran adalah ketika adanya PHK oleh perusahan. Dan juga dipengaruhi oleh suplai tenaga kerja yang tidak bisa langsung terserap di lapangan kerja. “Secara umum, tren tingkat pengangguran saat ini masih positif. Dan sejauh ini mengalami penurunan,” katanya kepada Kaltim Post, Kamis (31/10).
Oleh karena itu, dia menjelaskan bahwa adanya PHK, menjadi salah satu faktor penyebab atau berkontribusi terhadap tingkat pengangguran. Dan angka tingkat pengangguran, merupakan rasio jumlah pengangguran terhadap angkatan kerja.
“Jika pun ada penambahan pada jumlah penduduk yang menganggur, namun jika terdapat peningkatan yg lebih besar pada jumlah angkatan kerja, maka angka tingkat pengangguran akan menurun,” jelas perempuan berkacamata ini.
Berdasarkan Berita Rilis Statistik (BRS) Ketenagakerjaan Kaltim pada Februari 2024, jumlah penduduk usia kerja di Kaltim berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksanakan pada Februari 2024, sebanyak 3.030.406 orang. Dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 2.009.517 orang.
Di mana penduduk usia kerja dan angkatan kerja merupakan semua orang yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk usia kerja mengalami tren yang cenderung meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di Kaltim.
Sementara itu, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 1.893.994 orang dan pengangguran sebanyak 115.523 orang. Selebihnya bukan angkatan sebanyak 1.020.889.
Jumlah pengangguran di Kaltim pada Februari 2024 ini, mengalami penurunan dari Februari 2023. Di mana pada periode yang sama tahun lalu, tercatat sebanyak 123.058 orang pengangguran di Kaltim. Menurun sebesar 6,12 persen atau 7.535 orang.
Kontradiktif
Masih tingginya angka pengangguran sangat berbanding terbalik dengan klaim pemerintah yang mengatakan ekonomi sudah pulih. Nasib 8,4 juta orang masih terkatung-katung dalam mendapat pekerjaan. Apalagi sejak 2020 pemerintah tidak lagi membuka lowongan pendaftaran CPNS.
Kebijakan tersebut turut memberi sumbangsih banyaknya lulusan yang tidak terserap lapangan kerja. Berdasarkan data BPS, serapan tenaga kerja pemerintah di sektor administrasi yang turun sebesar 30.000 orang selama periode Februari 2021—Februari 2022.
Meski tingkat pengangguran berhasil turun tipis dari 8,75 juta menjadi 8,4 juta orang, tetap saja hal itu tidak mengubah fakta bahwa kondisi ekonomi Indonesia belum membaik. Ditambah, kebijakan pemerintah yang sangat membebani rakyat, seperti kenaikan tarif listrik, BBM, LPG, PPn 11%, hingga tingginya harga pangan, membuat situasi ekonomi rakyat kian terpuruk.
Mengapa ekonomi disebut pulih sedangkan jumlah pengangguran masih menjamur? Ini karena standar pemulihan ekonomi masih berkiblat pada standar kapitalisme, yakni diukur berdasarkan nilai produk domestik bruto atas dasar harga konstan per kapita.
PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Sedangkan PDB dan PNB per kapita atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara. (bps.go.id)
Jika PDB digunakan sebagai parameter dalam menilai ekonomi pulih atau tidak, hak itu tidak bisa menjelaskan secara nyata kondisi ekonomi per kepala/individu. Semuanya dihitung berdasarkan rata-rata, bukan per orang. Wajar bila angka pengangguran dan klaim ekonomi pulih saling bertentangan.
Apa Kabar Sistem Vokasi?
Dari 8,4 juta pengangguran, lulusan SMK mendominasi angka tersebut. Jika kita menilik data dalam tiga tahun terakhir, tamatan SMK dan sederajat selalu menjadi yang tertinggi dalam menyumbang angka pengangguran. Padahal, lulusan SMK yang sangat kental dengan pendidikan vokasi mestinya sudah siap kerja dengan bekal keterampilan yang diperolehnya. Namun, realitas tersebut tidak memberi jaminan pekerjaan.
Dulu, saat lulusan SMK mendominasi angka pengangguran, pemerintah memberi solusi dengan program vokasi. Setelah program ini berjalan beberapa tahun, hasilnya tidak banyak berubah. Tamatan SMK tetap saja mendominasi jumlah pengangguran terbuka.
Untuk mengatasi rendahnya serapan tenaga kerja SMK, pemerintah pun menyelesaikannya dengan program link and match pendidikan vokasi. Jurusan komersial dibentuk demi memenuhi tuntutan pasar dan industri kapitalis.
Walhasil, generasi kita, yaitu lulusan SMK dididik hanya untuk memenuhi selera pasar. Tujuan pendidikan pun bergeser. Dari generasi yang harusnya berkepribadian mulia serta cerdas ilmu, menjadi generasi “mesin penggerak ekonomi” bagi korporasi.
Padahal, menciptakan lapangan kerja adalah tugas negara, bukan tugas individu rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme, rakyat dituntut bekerja tanpa harus menggantungkan nasibnya pada negara. Kalaulah negara membantu, itu hanya sebatas bantuan minimalis.
Kartu prakerja, misalnya, apakah berdampak positif mengurangi tingkat pengangguran terbuka? Di atas kertas mungkin iya, tetapi sebatas bantuan negara yang memberi insentif untuk modal usaha. Pada akhirnya, generasi kita harus berpuas diri sebagai buruh korporasi. Kalaulah ia menjadi pengusaha, paling mentok sebatas pengusaha ekonomi mikro.
Lantas, bagaimana dengan nasib individu yang gagal usaha? Bagaimana negara menjamin kebutuhan mereka? Saat ini, peran negara hanya sebagai regulator dan fasilitator bagi kapitalis. “Dapat bekerja berarti kamu beruntung, kalau tidak bekerja ya nasibmu yang buntung,” mungkin seperti ini kondisinya ketika peran negara kian minimalis dalam menghidupi rakyat.
Cara Islam Mengatasi Pengangguran
Pengangguran akan selalu menjadi permasalahan yang mengiringi ideologi kapitalisme. Beraneka program tidak akan bisa menuntaskan persoalan pengangguran selama perangkat sistem kapitalisme tidak diganti.
Tidak berfungsinya negara sebagai pengurus rakyat, mahalnya biaya pendidikan, kekayaan alam yang dikuasai pemodal, hingga industrialisasi swasta dan asing adalah sejumlah efek penerapan sistem kapitalisme.
Islam memiliki cara tersendiri dalam menuntaskan akar persoalan pengangguran dan turunannya.
Pertama, pendidikan terjangkau, bahkan gratis untuk semua. Dengan begitu, rakyat dapat mengenyam pendidikan sesuai keinginan mereka tanpa terbebani dengan biaya pendidikan. Selain, itu mereka diberi pemahaman tentang wajibnya bekerja bagi laki-laki.
Kedua, jika individu malas bekerja, cacat, atau tidak memiliki keahlian, maka negara berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar ra. ketika mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid pada saat orang-orang sibuk bekerja bahwa mereka sedang bertawakal. Saat itu beliau berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.
Ketiga, negara akan memberlakukan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan.
Keempat, negara mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain.
Kelima, kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki. Kaum perempuan tidak wajib bekerja. Fungsi utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya (ummu warabatul bayt). Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Dengan kebijakan ini, lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki—kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh perempuan.
Dalam pandangan Islam, peran negara sangat menonjol karena kepemimpinan itu akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt.. Jika ada satu saja rakyatnya terhalang dalam memenuhi nafkah keluarganya, pemimpin tersebut bisa ikut berdosa. Nabi saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar