Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Hari Senin 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo melantik Menteri dan Wakil Menteri. Total ada 109 orang yang menjadi menteri hingga kepala badan di kabinet Prabowo yang dinamai Kabinet Merah Putih. Dari total ratusan orang itu, ada 17 orang yang sebelumnya telah menjabat menteri di Kabinet Indonesia Maju di era kepemimpinan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, empat orang menteri Jokowi dipercaya Prabowo untuk menjadi menteri koordinator (menko).
Total ada 48 menteri dan 5 pejabat setingkat Menteri. Jauh lebih banyak dari jumlah kementerian di periode pemerintahan sebelumnya, yakni 32 menteri. Dari jumlah 48 kementerian itu, tujuh di antaranya kementerian koordinator. Selain itu, ada lima kepala badan setingkat menteri. Sementara di Amerika yang begitu besar jumlah APBN-nya, jumlah menterinya hanya 26. Begitupun di Cina padahal keduanya adalah negara besar.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan, jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran sangat ”gemuk”. Hal tersebut jelas mempunyai konsekuensi, dikhawatirkan akan membuat bengkak anggaran untuk belanja pegawai. Imbasnya, berkurangnya anggaran untuk kebutuhan masyarakat.
Wasekjen PDIP Adian Napitupulu menilai, pidato perdana Presiden Prabowo Subianto terkait membebaskan rakyat dari kemiskinan dan penderitaan dapat dibuktikan dalam komposisi kabinetnya. Menurutnya, bertambahnya jumlah kementerian sama saja menambah beban negara dan birokrasi berbelit.
"Jadi begini, mengukur seorang presiden, itu diukur nanti ukuran pertamanya adalah komposisi kabinetnya. Apakah komposisi kabinetnya itu sesuai dengan yang dia sampaikan dalam pidato, atau sebaliknya? Pertama terlalu besar. Itu akan menyulitkan. Jadi begini, ketika mejanya terlalu banyak, maka birokrasi akan panjang. Birokrasi yang panjang itu akan menjadi beban buat perijinan, buat investasi, dan sebagainya. Sederhananya begitu lho," ujarnya. (liputan6 online, 20/10/2024).
Sebelumnya, Prabowo memanggil calon menteri, wakil menteri, dan kepala badan ke kediamannya di Kertanegara, serta pembekalan yang digelar di Hambalang, Bogor terdiri dari 108 orang, yaitu 49 nama yang dipanggil ke Kertanegara pada Senin (14/10/2024), dan 59 nama yang dipanggil Prabowo ke lokasi yang sama pada Selasa (15/10/2024).
Para peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, dari total 108 kabinet itu mayoritas memiliki latar belakang politikus dengan proporsi sebesar 55,6% atau 60 orang dari 108 kandidat yang telah dipanggil. Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Kemudian disusul kalangan TNI/POLRI (8,3%), pengusaha (7,4%), tokoh agama (4,6%), dan selebriti (2,8%). Sayangnya, hanya 5,6 persen yang berasal dari kalangan akademisi. Dari sisi gender, perempuan yang namanya dipanggil untuk mengisi kabinet hanya 9,3% atau sejumlah 10 kandidat, sedangkan sisanya adalah laki-laki dengan jumlah sebanyak 98 orang atau setara 90,7% dari total nama yang dipanggil.
Selain itu, para peneliti Celios juga mencatat besarnya potensi pembengkakan anggaran untuk membiayai gaji para pejabat negara itu. Potensi pembengkakan belanja itu dengan membandingkan jumlah 108 orang dengan kabinet era Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang hanya 51 orang.
"Semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut," kata Peneliti Celios, Galau D. Muhammad, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (17/10/2024).
Celios memperkirakan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama 5 tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.
Potensi pembengkakan anggaran itu memperhitungkan beban biaya gaji, tunjangan, dan operasional menteri dan wakil menteri era Jokowi yang sebanyak 51 orang dengan estimasi nilai Rp387,6 miliar per tahun. Sedangkan era Prabowo dengan estimasi 108 orang menjadi Rp777 miliar per tahun.
Dengan begitu ada peningkatan anggaran Rp389,4 miliar per tahun dari kabinet era Jokowi dengan Prabowo setiap tahunnya. Maka, bila peningkatan anggaran itu dikali lima tahun atau selama masa jabatan Presiden Prabowo total peningkatan anggaran sekitar Rp1,95 triliun.
Jangan sampai awalnya diangkat tapi terpaksa diberhentikan sebelum masanya akibat kekurangan dana seperti yang dialami Presiden Maladewa Mohamed Muizzu yang telah memecat lebih dari 225 pejabat politik, terdiri dari 7 menteri, 43 wakil menteri, dan 178 direktur politik, demi efisiensi. Pengurangan staf secara besar-besaran ini akan menghemat anggaran negara sekitar $370.000 atau Rp5,7 miliar per bulan.
Atau yang lebih parah, yaitu tetap mempertahankan kabinet gemuknya dengan menjadikan rakyat sebagai tumbal melalui pajak-pajak baru dan retribusi baru. Sebab konsekuensi dari kebijakan adanya penambahan jumlah menteri, menambah jumlah kantor, penambahan jumlah dinas-dinas di daerah, karena di daerah itu suka atau tidak suka begitu ada tambah kementerian mau tidak mau di daerah harus ada penghubung/channelnya.
Paling miris lagi ketika kita melihat postur dan performa pemerintahan yang dibentuk rezim sekarang. Koalisi gemuk di parlemen berpeluang besar menjadikan negeri ini menjadi negara diktator. Sama sekali tidak ada kekuatan penyeimbang, kecuali masyarakat sipil yang kewarasannya masih terjaga. Semua parpol beramai-ramai mendukung pemerintahan hanya agar kebagian kue kekuasaan.
Semua realitas ini niscaya dalam sistem kepemimpinan demokrasi kapitalisme yang lahir dari sekularisme dan liberalisme. Sistem kepemimpinan yang asasnya rusak seperti ini sama sekali tidak bisa diharapkan akan membawa kebaikan. Prinsip “kedaulatan ada di tangan rakyat” dan “suara rakyat suara Tuhan” justru menjadi sumber kerusakan terbesar. Ini karena dari sanalah berawal mula dibuatnya berbagai aturan hidup yang bersandar pada akal, bukan pada sumber aturan yang bersifat kekal. Bahkan, kepemimpinan pun menjadi sangat terbuka bagi siapa saja, asalkan mereka bisa membelinya dengan kekuatan uang. Lalu saat menjabat adalah saat terbaik untuk mengembalikan modal.
Walhasil, masyarakat yang dipimpin oleh kepemimpinan seperti ini tidak akan pernah merasakan kebahagiaan atau meraih kesejahteraan sebagaimana yang diimpikan. Kerusakan demi kerusakan akan terus diwariskan. Kadarnya pun akan makin berat, hingga ancaman kehancuran bangsa dan negara tidak mungkin dicegah, kecuali ada keinginan yang besar bagi para pemilik kekuasaan yang hakiki, yakni rakyat, untuk melakukan perubahan revolusioner dan mendasar, tetapi tanpa kekerasan.
Ibarat anak yang ketika mengalami kenaikan berat badan adalah kebahagiaan orang tua agar terhindar dari stunting. Tapi ketika berat badan berlebihan, bukan kesehatan yang didapat melainkan penyakit obesitas yang lebih berbahaya dari stunting. Demikian pula kabinet saat ini, bukannya mensejahterakan rakyat, yang ada malah terus memanjakan anggota kabinet hingga obesitas. Lalu kapan waktunya menepati janji saat pemilu?
Berbeda dengan sistem Islam. Dari sebelum pengangkatan, calon pemimpin dipastikan adalah yang berdedikasi tinggi, berkepribadian luhur, serta aqidah yang kuat. Tidak ada pencitraan atau politik balas jasa yang mengharuskan pengembalian jasa setelah menjabat. Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai amanah besar. Tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi.
Seorang pemimpin harus siap dimintai pertanggungjawaban atas setiap orang yang ia pimpin. Alhasil, dalam Islam, mengukur keberhasilan pengurusan, yakni kesejahteraan rakyat, bukanlah dilihat dari angka rata-rata, melainkan wajib dipastikan per kepala. Nabi saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak perlu pula menjadikan semua sebagai koalisi agar tidak perlu memasukkan semua kawan politik ke dalam kabinet. Pengangkatan pejabat pembantu semata-mata untuk memudahkan pemerintah dalam melayani rakyat agar kesejahteraan dan keadilan dapat dengan mudah dirasakan oleh setiap individu rakyat, di kota maupun di desa.
Pengangkatan pejabat pembantu bukan berdasarkan kepentingan penguasa ataupun pengusaha agar mendapatkan berbagai fasilitas negara meskipun tidak mumpuni di bidangnya. Pengangkatan pejabat pembantu semata-mata berdasarkan keahlian. Kalaupun berasal dari rakyat biasa jika dia mumpuni maka akan diangkat sebagai pejabat pembantu.
Dengan demikian akan mengurangi angka pengangguran dan memaksimalkan SDM. Semua bisa jadi pejabat pembantu dengan pembinaan yang efektif dan efisien. Pemerataan kesejahteraan akan mudah diraih, kemiskinan pun akan dengan mudah diatasi sebab SDA dikelola dengan benar sesuai tuntunan syariat Islam sehingga pemasukan negara akan berlimpah.
Demikianlah jika sistem Islam ditegakkan maka pengangkatan pejabat pembantu tidak akan membuat negara bangkrut apalagi membuat rakyat semakin terpuruk. Sistem Islam terbukti selama 13 abad mensejahterakan seluruh warga negaranya, pejabat dan rakyat, muslim dan non-muslim. Oleh karenanya mari bersama-sama kita mewujudkannya.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar