Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah)
Insiden tumpahnya batubara di Sungai Mantaritip, Kabupaten Berau, pada Jumat (18/10/2024) malam, menjadi kekhawatiran masyarakat Berau. Terutama, warga yang bermukim di bantaran sungai maupun warga yang mengkonsumsi air dari sungai di sekitar lokasi.
Untuk diketahui batubara tersebut diangkut oleh PT Pelita Samudera Sreeya (PSS), selaku pemilik tongkang yang membawa material dari produsen batubara di Berau.
Kasat Pol Air Polres Berau, AKP Faisal Hamid membenarkan insiden tersebut. Namun dirinya mengaku jika persoalan tersebut merupakan ranah dari Syahbandar.
Benar. Itu ranahnya dari Syahbandar untuk tindak lanjut investigasinya. Apakah terjadi kebocoran atau seperti apa. Mungkin lebih lengkapnya ke Syahbandar,” katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, tongkang milik PT PSS tersebut memuat batubara dari Jetty Suaran, di Kecamatan Sambaliung.
Namun, saat hendak berlayar menuju muara di sekitar Sungai Mantaritib, tongkang diduga mengalami kebocoran hingga menyebabkan tongkang terbalik dan batubara tumpah ke sungai.
Informasi terbaliknya tongkang bermuatan batubara itu juga dibenarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK ) Berau, melalui Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Ida Ayu.
Hanya saja, pergerakan DLHK untuk melakukan pemeriksaan dampak lingkungan terkendala kewenangan. Menurut keterangan Ida, lokasi kejadian masuk ranahnya Balai Wilayah Sungai (BWS). Sehingga pihaknya tidak bisa melakukan uji kadar baku mutu air.
“Kami DLHK kabupaten, hanya memiliki kewenangan untuk sungai-sungai kecil. Seperti Sungai Sambaratta di Sungai Segah. Di sana kami baru bisa melakukan pengujian. Kalau sungai tempat tumpahan batu bara, atau Sungai Segah dan Sungai Kelay itu kewenangan BWS,” katanya.
Asas Sekulerisme
Ruas jalan baik darat ataupun laut rusak di sejumlah daerah. Hal ini seakan terus menjadi permasalahan yang tak pernah usai bagi pemerintah setempat. Pasalnya ruas jalan menjadi salah satu elemen penting dalam kelancaran perputaran ekonomi serta penunjang majunya suatu daerah. Jalan umum yang halus dan baik adalah suatu yang vital yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk melancarkan keperluannya dalam rangka memenuhi hajat hidupnya.
Kondisi ini tidak lepas dari asas sekularisme yang menjadi dasar setiap aktivitas pemerintahan, termasuk dalam pengurusan jalan. Urusan jalan dijauhkan dari aspek ketakwaan sehingga tidak berdasarkan syariat Islam. Kekuasaan yang seharusnya tersentralisasi justru didesentralisasi sehingga berakibat pada pembagian jalan menjadi jalan nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Sebenarnya, pembagian jalan tidak masalah jika tanggung jawab tetap terpusat pada penguasa. Namun, yang terjadi adalah dikotomi tanggung jawab.
Jalan nasional hanya urusan pihak tertentu, sedangkan jalan provinsi urusan pihak yang lain, dan seterusnya. Walhasil, masing-masing lepas tanggung jawab ketika ada masalah dengan alasan, “Itu bukan tanggung jawab saya.” Akhirnya, terjadilah debat kusir tentang siapa yang paling bertanggung jawab. Padahal, jika penguasa tertinggi mau mengumpulkan bawahannya untuk membahas masalah jalan dalam satu meja, urusannya pasti cepat selesai. Sayangnya, praktiknya tidak semudah itu.
Inilah realitas pemerintahan dalam sistem kapitalisme sekuler. Para penguasa dan aparat tidak berkhidmat melayani rakyat, melainkan sibuk mencari cuan sendiri, termasuk dengan menjadi “pelayan” para konglomerat. Pelayanan buruk kapitalisme demokrasi yang membawa dampak besar pada rakyatnya.
Mekanisme Islam Mengelola Tambang
Melihat Islam sebagai ideologi memiliki aturan ekonomi yang memasukkan jalan sebagai kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah ijin syariat kepada masyarakat sebagai kepemilikan bersama-sama. Kriteria barang kepemilikan umum ada tiga yaitu barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contoh seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan. Lalu kategori barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb. Terakhir barang tambang yang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
Untuk kepemilikan umum negara hanya mengelola dan pelayan urusan masyarakat untuk menjamin kemaslahatannya. Termasuk menyediakan dan menjamin keberadaan jalan yang baik dan tidak membahayakan dengan pengaturan yang paripurna. Perbaikan dan pembangunan hajah hidup rakyat tidak boleh dikalahkan oleh faktor lainnya apalagi yang tidak urgent seperti pembangunan IKN.
Proyek pengadaan jalan juga harus diperhatikan secara paripurna hanya untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Ketika dataran bumi terbatas maka negara tidak boleh mengkomersilkan jalan sebagai jalan berbayar hingga mengurangi lahan yang diperuntukkan untuk jalur kendaraan berat dan proyek misal hanya untuk kepentingan oligarkhi. Akhirnya jalan utama non berbayar menjadi sedemikian padat untuk menampung semua jenis kendaraan yang melintas.
Kekuasaan dalam Islam terpusat sehingga seluruh jalan adalah tanggung jawab khalifah, sedangkan terkait teknis perbaikan jalan bisa didelegasikan pada pejabat di wilayah tersebut. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada khalifah. Begitu perhatiannya Khilafah terhadap urusan jalan sehingga tidak membiarkan ada lubang sekecil apa pun yang bisa membuat pengguna jalan terperosok. Khalifah Umar bin Khaththab berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Bagdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’”
Maka peraturan syariat Islam memang hanya dapat terterap secara paripurna dalam institusi Islam yaitu Khilafah Islamiyyah ala minhajin nubuwwah. Dengan demikian aturan Islam akan sinergi dengan tujuan syariat demi kemashlahatan rakyat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar