Overdosis Bayi di RSUD Sanjiwani, Alarm Bahaya Layanan Kesehatan


Oleh : Yuni Indawati

Kasus meninggalnya bayi perempuan berusia tiga bulan di RSUD Sanjiwani, Gianyar, Bali, memicu duka dan kemarahan publik. Berdasarkan keterangan keluarga, bayi awalnya dirawat karena demam tinggi. Obat diberikan oleh perawat training tanpa pendampingan dokter spesialis dan tanpa pemeriksaan fisik menyeluruh. Setelahnya, bayi menangis histeris, mengalami gagal jantung, pecah pembuluh darah, dan akhirnya meninggal dunia. Pihak RSUD mengakui kematian tersebut, namun belum memberi penjelasan rinci. Sementara itu, Dinas Kesehatan Gianyar menyatakan tengah melakukan audit untuk menelusuri kebenaran kasus ini.

Dilihat dari sisi medis dan manajemen pelayanan, kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan terhadap prosedur operasi standar (SOP). Penugasan perawat training tanpa pengawasan dokter spesialis pada pasien bayi jelas mengandung risiko tinggi. Tidak adanya pemeriksaan fisik menyeluruh sebelum pemberian obat memperbesar potensi salah diagnosis atau salah dosis. Kelemahan komunikasi dan keterbukaan pihak rumah sakit juga memunculkan kesan kurangnya transparansi, sehingga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan publik.

Dari perspektif hukum positif Indonesia, dugaan kelalaian medis seperti ini dapat dikategorikan sebagai malpraktik, yang berpotensi diproses secara pidana maupun perdata. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa penyelesaian kasus semacam ini sering kali berlarut-larut dan tidak selalu memuaskan pihak korban. Di sinilah Islam menawarkan mekanisme yang tegas dan cepat untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. Dalam syariat, keselamatan jiwa (ḥifẓ an-nafs) adalah prinsip utama yang wajib dijaga.

Islam menetapkan bahwa hanya tenaga medis yang kompeten dan berpengalaman yang boleh melakukan tindakan pengobatan. Rasulullah ï·º bersabda: "Barang siapa mengobati tanpa ilmu, maka ia bertanggung jawab" (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i). Jika terjadi kelalaian hingga menyebabkan kematian, maka pelaku atau pihak terkait wajib menanggung diyat (ganti rugi) dan dapat dikenai hukuman sesuai kadar kesalahannya, baik itu kelalaian murni maupun kelalaian berat. Dalam sistem Khilafah, ada qadhi hisbah yang mengawasi layanan publik, termasuk rumah sakit, sehingga pelanggaran dapat segera diproses tanpa bertele-tele.

Pencegahan menjadi pilar utama dalam sistem Islam. Negara memastikan fasilitas kesehatan dikelola profesional, bebas dari kepentingan komersial, dan menjadikan keselamatan pasien sebagai prioritas. Tenaga medis diseleksi ketat berdasarkan keahlian dan akhlak, sementara proses pendidikan kedokteran mengintegrasikan ilmu sains dan etika syar’i. Semua tindakan medis dilakukan dengan pengawasan memadai, khususnya pada pasien rentan seperti bayi dan lansia. Transparansi kepada keluarga pasien menjadi kewajiban, bukan pilihan.

Jika prinsip-prinsip ini diterapkan secara kaffah, kasus tragis seperti dugaan kematian bayi di RSUD Sanjiwani bisa dicegah. Nyawa pasien terlindungi, tenaga medis bekerja dengan penuh tanggung jawab, dan keluarga korban mendapatkan keadilan tanpa proses yang berbelit-belit. Islam bukan hanya memberi sanksi setelah kejadian, tetapi juga membangun sistem yang meminimalisir risiko kelalaian sejak awal. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan akan pulih dan keselamatan jiwa benar-benar menjadi prioritas utama.

Allahua'lam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar