Banjir, Masalah Klasik di Era Kapitalistik


Oleh: Astriani Lydia, S.S

Warga di Kampung Lebak, Kelurahan Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara mengalami kebanjiran. Tinggi banjir sekitar 70 cm sempat merendam rumah penduduk setempat. 

Kepala Pelaksana (BPBD) Kota Bekasi, Enung Nurcholis menjelaskan, banjir merendam pemukiman warga saat jelang sahur, pada Minggu (24/3/2024) pagi. 

Terendamnya pemukiman warga di Kampung Lebak, Teluk Pucung ini disebabkan intensitas hujan deras di Bogor sejak Sabtu (23/3) malam. Banjir kiriman masuk ke kali Bekasi hingga meluap. 

Kiriman banjir tersebut mengakibatkan wilayah satu RW terendam. Warga kesulitan mengakses jalan. Kondisi terkini, banjir di kampung Lebak berangsur surut, namun masih dilakukan pemantauan anggota BPBD Kota Bekasi. (infobekasi.co.id, 24/3/2024) 

Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia. Kondisi ini berulang setiap tahun. Curah hujan yang tinggi dengan kondisi cuaca yang ekstrem, dianggap sebagai penyebab banjir. Memang benar, jika curah hujan dan cuaca menjadi salah satu penyebabnya, tetapi alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam. 

Banjir kiriman dari wilayah dataran tinggi ke dataran rendah, efek dari pembangunan yang semrawut dan tumpang tindih, serta alih fungsi lahan karena pembangunan yang masif dan tidak memperhitungkan dampak lingkungan, sehingga membuat debit air tidak tertampung secara normal. Sampah-sampah yang menumpuk pun turut memperparah kondisi ini. Walhasil, banjir pun tidak terelakkan. Begitulah tatkala keserakahan manusia, buah dari kebijakan-kebijakan kapitalistik menggeser kestabilan alam. 

Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41). 

Kondisi alam memang tidak dapat diintervensi oleh manusia. Jika terjadi secara alami, kondisinya tidak akan mempengaruhi kestabilan alam. Maka, manusia dilarang untuk melakukan aktivitas yang mengganggu keseimbangannya. Untuk itu negara wajib memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat menampung curah hujan dalam jumlah besar. Misalnya, dengan membangun bendungan. Pada masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. 

Selain itu negara juga akan membangun kanal ataupun saluran drainase untuk mengurangi dan memecah jumlah air dalam jumlah besar agar mengalir ke tempat lain yang lebih aman. Sepanjang kanal akan dibuat tanggul yang kuat dan kokoh dengan menggunakan material yang berkualitas dimana tanggul tersebut akan menahan air agar tidak meluber keluar kanal ketika debit air meningkat. Tak ketinggalan, secara berkala negara akan melakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air untuk mencegah terjadinya pendangkalan. 

Untuk penduduk wilayah pesisir, negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terdampak banjir rob atau kapasitas serapan tanah yang minim. Kemudian mengatur agar penduduk setempat tetap dapat mengakses kebutuhan air secara normal. Misal dengan membangun sumur, penampungan air, atau sejenisnya. 

Prinsipnya, pembangunan dilakukan tanpa melanggar rambu-rambu keseimbangan alam. Kelestarian lingkungan dan keamanan warga menjadi hal penting yang sangat diperhatikan. Dan ini hanya ada dalam sistem Islam. Dengan sistem Islam, pengentasan permasalahan banjir akan teratasi secara tuntas. Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar