Oleh: Diyana Nur (Muballighoh Singaraja-Bali)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Bali mencapai 5,7% sepanjang 2023. Pertumbuhan tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 4,84% (YoY). Angka pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi Covid-19 tahun 2019, yang mencapai 5,6%.
Kepala BPS Bali, Endang Retno Sri Subiyandani, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Bali sepanjang 2023 ditopang oleh pertumbuhan sektor pariwisata dimana lapangan usaha yang terkait langsung dengan sektor pariwisata adalah akomodasi makanan dan minuman (akmamin) yang berkontribusi paling besar dengan pertumbuhan 2,62% (YoY), kemudian transportasi dan pergudangan 1,35%, jasa keuangan dan asuransi 0,60%, perdagangan besar dan eceran, 0,53%, industri pengolahan 0,15, dan sektor lainnya 0,46%.
Menurut Endang Retno Sri Subiyandani, meningkatnya perekonomian Bali tercermin dari meningkatnya PDRB per kapita menjadi sebesar Rp62,29 juta di 2023 dan telah melampaui level sebelum pandemi covid-19. Sementara itu, Ekonom Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Ida Bagus Raka Suardana menjelaskan tumbuhnya ekonomi Bali sebesar 5,7% sangat wajar karena sektor pariwisata yang menjadi sumber ekonomi sudah bergerak dengan tingginya kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik ke Pulau Dewata (Bisnis.com, 6 Februari 2024)
Yang menjadi masalah adalah pertumbuhan ekonomi Bali yang 5,7% itu tidak serta merta menjadikan daya beli masyarakat Bali meningkat atau dengan kata lain masyarakat Bali menjadi lebih makmur. Sebabnya adalah karena pertumbuhan ekonomi itu diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang signifikan. Menurut laporan CNBC Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan terpantau menanjak naik sejak awal tahun 2023. Bukan hanya minyak goreng, harga sejumlah bahan pokok seperti gula pasir, bawang merah, bawang putih serta daging ayam dan sapi juga mengalami kenaikan. Bahkan harga beras hari ini hampir tidak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Ditambah lagi rencana pemerintah yang berniat menaikkan Tarif Dasar listrik, BBM dll membuat masyarakat semakin khawatir.
Analis Data Continuum Indef, Wahyu Tri Utomo mengatakan hasil riset yang dilakukan sejak 29 Februari - 4 Maret 2024 terdapat 74.817 perbincangan di media sosial yang melibatkan 67.579 pengguna terkait dengan kenaikan harga pangan. Dalam perbincangan tersebut ditemukan lebih dari 99% masyarakat mengeluhkan kenaikan harga bahan pokok terutaman kenaikan harga komoditas beras. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi membuat masyarakat gelisah (Dwi Rachmawati - Bisnis.com).
Jika kita cermati tentang Bali yang terkenal dengan sebutan “Pulau Dewata”, merupakan pulau dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa yang jika dikelola dengan baik dan amanah sesuai dengan yang Allah perintahkan, maka akan menghasilkan kesejahteraan bagi penduduknya. Pertanian merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian Bali.
Padi misalnya, adalah tanaman utama yang dibudidayakan di pulau ini, dengan sistem Subak yang terkenal di seluruh dunia. Selain padi, Bali juga terkenal dengan buah-buahan tropis seperti mangga, salak, jeruk, dan durian. Selain itu, kopi Bali juga menjadi produk pertanian yang terkenal di dunia. Sumber daya alam Bali ini memberikan kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pangan serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Bali.
Selain itu Bali memiliki keanekaragaman hayatinya, dengan hutan-hutan tropisnya yang merupakan tempat tinggal bagi berbagai jenis flora dan fauna endemic merupakan kekayaan yang luar biasa. Belum lagi potensi kelautan yang sangat besar, tempat ikan ikan beraneka ragam hidup. Bahkan Bali memiliki potensi geotermal dengan gunung Batur yang berada di Bali timur yang merupakan salah satu kawasan dengan potensi energi panas bumi yang besar.
Pemanfaatan energi geotermal sebagai sumber energi terbarukan menjadi langkah penting dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menciptakan energi yang ramah lingkungan.
Jika ditelaah lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penyebab carut-marut semua ini berpangkal dari sistem politik pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal. Bukti penerapan sistem kapitalisme ini adalah ketiadaan peran negara yang sebenarnya. Dalam sistem ini pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sementara itu, pengurusan berbagai urusan rakyat diserahkan kepada korporasi. Karena korporasi yang mengurus, tentu saja dia atur sesukanya yang tujuannya semata-mata profit. Tak ada lain.
Lembaga Negara seperti Bulog, yang seharusnya hadir sebagai pelayan dan pengurus kebutuhan rakyat, malah berperan sebagai pebisnis. Bulog dan BUMN, bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan berperan sebagai korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari profit.
Ditambah lagi konsep desentralisasi kekuasaan dalam sistem politik demokrasi kapitalisme, menjadikan persoalan pangan ini menjadi tambah rumit. Entah desentralisasi antara kementerian dan badan pengurusan pangan, ataupun dalam bentuk otonomi daerah. Alhasil, ini melemahkan upaya distribusi pangan antardaerah guna menstabilkan harga.
Pada sistem ekonomi kapitalisme dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebasnya meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal yang sangat besar. Mereka bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, bahkan termasuk importasi. Model korporatisasi seperti ini akhirnya mampu mengambil kendali terhadap pasokan pangan, serta mengendalikan harga pasar dan tingkat konsumsi masyarakat.
Dalam Islam, dilarang menyerahkan penguasaan kepada korporasi untuk pengaturan pangan. Negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam.
Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Kepala Negara benar-benar berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga akan hilang seiring berjalannya pengawasan negara. Kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena negara hadir mengurusi mereka.
Tentunya jika sistem ini diterapkan saat ini, maka mustahil rakyat Bali akan menjerit karena harga kebutuhan pokok yang melambung sementara secara data, perekonomian mereka meningkat. Namun kesejahteraan mereka tidak ikut meningkat malah semakin terpuruk. Memang realita tak seindah data.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar