PEP Solusi Dangkal Kapitalisme dalam Mengubah Nasib Perempuan


Oleh: Anita S,E (Aktivis Dakwah Muslimah)

Isu pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) sejauh ini telah menjadi fokus bagi tidak hanya satu, melainkan banyak perangkat daerah. Tak terkecuali Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim yang tengah melaksanakan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) PPPA seluruh Kabupaten/Kota se-Kaltim dengan topik bahasan tersebut.

Hadir membuka rakorda, Minggu (25/02/202) malam, Sekretaris Daerah Kaltim Sri Wahyuni menekankan sedikitnya ada 3 (tiga) hal yang dapat menjadi area intervensi bagi DKP3A untuk mengamati sasaran kaum perempuan yang sesuai dengan kriteria peningkatan pemberdayaan kesejahteraan perempuan yang diinginkan, hal ini sekaligus agar ada pembedaan DKP3A Kaltim dengan Organisasi Perangkat Daerah lain dengan fokus dan program serupa.

“Isu pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan juga telah banyak dilakukan oleh PD lain. Oleh karena itu, agar menjadi pembeda dan DKP3A mampu menarget dengan tepat kategori perempuan yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan kriteria” ujar Sekda Sri. Perempuan dalam kewirausahaan juga telah banyak dilakukan oleh PD lain. Oleh karena itu, agar menjadi pembeda dan DKP3A mampu menarget dengan tepat kategori perempuan yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan kriteria”, ujar Sekda Sri. Berita Kaltim.co Senin, (26/02/24)

Pertama, yaitu para perempuan yang terpaksa menjadi Kepala Keluarga, dengan banyak kondisi yang menjadi sebab. Mereka dinilai perlu untuk meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui sektor kewirausahaan.

Kemudian yang kedua, yaitu para perempuan penyintas kekerasan selama pernikahan. Mereka membutuhkan pelatihan dan motivasi untuk pulih dari trauma dan luka yang disebabkan masa lalunya. Melalui wawasan dan keterampilan berwirausaha.

“Dan juga penting yaitu area ketiga yang merupakan kaum perempuan yang mengalami kondisi miris, yaitu bekerja namun diupah jauh sekali dari upah minimum yang telah ditetapkan,” imbuh Sri Wahyuni.

Wanita berhijab tersebut juga menambahkan, dengan optimal dalam mengintervensi 3 area atau cakupan kriteria ini, hal lain yang tak boleh dilewatkan adalah data yang sudah terpetakan dengan baik.

“Jika data telah terpetakan dengan baik, maka kami harap kami dapat menyajikan dan membuka peluang untuk menjalin kerjasama dengan mitra-mitra relevan yang dibutuhkan,” lanjut Sri Wahyuni.

Sementara itu Kepala DKP3A Noryani Sorayalita mengatakan sebagai bentuk pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berkomitmen dalam peningkatan pemberdayaan perempuan berbasi, masyarakat khusus kepada para perempuan kepala keluarga (Pekka) melalui program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.

Seperti yang kita ketahui, pentingnya pemberdayaan perempuan dalam wirausaha berdampak positif terhadap keluarga, masyarakat, dan perekonomian secara keseluruhan.

“Oleh karena itu, dengan memberikan akses yang setara terhadap peluang bisnis dan sumber daya, kita tidak hanya membuka pintu bagi kemajuan ekonomi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan keluarga, memupuk perubahan positif dalam dinamika sosial serta menciptakan kesetaraan gender dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” papar Noryani Sorayalita.

Perempuan hari ini di paksa untuk berdaya, kemudian perempuan di ukur dengan seberapa berdayanya mereka, tidak hanya dalam bidang UKM saja perempuan di harapkan mampu berdaya dalam segala aspek kehidupan termasuk di dalam bidang pariwisata.


Tipu Daya Pemberdayaan 

Begitu manis tawaran pada perempuan untuk dapat berdaya dan setara dengan kaum pria dalam hal pemberdayaan ekonomi. Padahal pemberdayaan ekonomi perempuan adalah racun yang bisa mematikan fitrah perempuan. Perempuan menjadi “mesin pencetak uang” demi mengentaskan kemiskinan. PEP dianggap menjadi solusi untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan jalan keluar dari kebuntuan masalah ekonomi. Apakah betul jika perempuan berdaya, taraf ekonomi rakyat akan naik dan rakyat akan sejahtera? Ada upaya pemulihan ekonomi dengan melibatkan UMKM yang sudah dijalankan kaum perempuan. Akankah ini berhasil atau justru akan memunculkan masalah baru bagi perempuan? Ke mana seharusnya arah pemberdayaan perempuan menuju?

Perempuan hari ini di paksa untuk berdaya, kemudian perempuan di ukur dengan seberapa berdayanya mereka, tidak hanya dalam bidang UKM saja perempuan di harapkan mampu berdaya dalam segala aspek kehidupan termasuk di dalam bidang pariwisata.


Kesalahan Besar Solusi Ubah Nasib Ala Kapitalisme

Kapitalisme adalah ideologi yang menjadikan harta (uang) dan takhta (kekuasaan) sebagai tujuan tertinggi. Siapa yang menguasai modal dan sumber daya, ialah yang berkuasa, sebagaimana hukum rimba. 

Ukuran kesejahteraan rakyat dalam konsep kapitalisme adalah dengan menghitung rerata pendapatan rakyat secara general, bukan person to person. Inilah yang kemudian menjadi masalah besar. Ada orang yang yang sangat kaya, ada orang yang sangat miskin. Pada faktanya, jumlah orang miskin jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang kaya. Kesenjangan ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme adalah sebuah keniscayaan.

Ketika pengangguran merajalela dan ekonomi terpuruk, kapitalisme menawarkan agar para perempuan turut berpartisipasi mengatasi keadaan. Perempuan didorong untuk terjun ke sektor ekonomi menjadi pelaku ekonomi. Dimunculkanlah program-program, seperti UMKM, PEP, dsb. yang intinya perempuan dianggap sebagai satu jalan keluar untuk mengatasi masalah ekonomi yang ada saat ini. Padahal, sumber masalahnya bukan itu. Solusi pelibatan perempuan ini malah menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sosial.

Sumber masalahnya karena kapitalisme membiarkan individu masyarakat menguasai SDA strategis, seperti pertambangan yang seharusnya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang terjadi sekarang, justru SDA yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak malah dijual dan dikuasai asing, semisal Freeport.

Kemudian, para perempuan didorong untuk terjun ke berbagai sektor ekonomi, menjadikan mereka sebagai mesin penggerak ekonomi rakyat. Efek dominonya terhadap kehidupan sosial sangatlah banyak. Salah satunya terjadi masalah keluarga, seperti perselingkuhan dan perceraian sebab peran utama perempuan dalam keluarga menjadi terganggu. 

Solusi “ubah nasib” ala kapitalisme justru menciptakan banyak masalah. Apalagi di kalangan perempuan berembus opini bahwa perempuan itu harus mandiri, harus punya uang sendiri, dan tidak bergantung kepada laki-laki. Status ibu rumah tangga pun dianggap sebelah mata dan dinilai menambah jumlah pengangguran.

Pada akhirnya, para perempuan harus memainkan peran ganda di sektor domestik dan publik yang kerap mengalami dilema. Sukses di sektor publik, tetapi tidak sedikit keluarga hancur. Penyebabnya bukan hanya masalah teknis, seperti kurang cakapnya ibu mengatur keluarga, melainkan terlebih karena kesalahan paradigma berpikir tentang keluarga. Dalam kondisi dilema ini, disematkan label “Pahlawan Ekonomi” bagi perempuan. Kondisi ini sejatinya sangat menyedihkan.


Islam Memberi Solusi Fundamental Masalah Ekonomi

Islam memandang laki-laki dan perempuan itu sama mulianya. Islam tidak mendiskriminasi perempuan. Allah Swt. memberikan kewajiban yang sama kepada keduanya untuk beribadah dan meninggikan agama-Nya.

Pemberdayaan perempuan dalam perspektif Islam dimaknai sebagai upaya mencerdaskan muslimah agar mampu berperan optimal dalam menjalankan seluruh kewajiban dari Allah Swt., baik di ranah domestik maupun publik.

Dalam Islam, perempuan disebut berdaya jika ia mampu menjalankan peran sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) dengan optimal dan sesuai syariat Islam; sebagai mitra laki-laki untuk melahirkan generasi cerdas, bertakwa, menjadi pejuang agama Islam yang terdepan.

Jadi, salah besar jika pemberdayaan perempuan diarahkan agar mandiri secara ekonomi, bahkan menjadikan fungsi perempuan di keluarga dan rumah tangga bergeser dari yang seharusnya. Apalagi dengan PEP yang diarahkan agar perempuan tidak lagi bergantung kepada laki-laki dalam hal nafkah, bahkan menjadi perempuan “kepala keluarga” atau tulang punggung keluarga, tentu akan makin menjauhkannya dari fitrahnya sebagai perempuan.

Pemberdayaan perempuan tidak boleh keluar dari tujuan menjaga dan mengukuhkan ketahanan keluarga muslim. Muslimah berperan besar melahirkan generasi berkualitas pejuang dan senantiasa beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Semuanya harus tetap dilakukan dalam koridor syariat Islam.

Sistem ekonomi kapitalisme menciptakan kemiskinan struktural di tengah masyarakat. Kapitalisme juga memaksa perempuan terjun ke dunia kerja tanpa disertai kecakapan teknis manajemen rumah tangga yang baik, serta tanpa pemahaman yang benar tentang pentingnya keutuhan dan ketahanan keluarga. 

Akhirnya, peran utama perempuan sebagai ummum wa rabbatul bait menjadi terabaikan. Hal inilah yang Barat inginkan, yaitu hancurnya tatanan keluarga muslim.
Padahal, kita tahu bahwa peran ibu rumah tangga sangat penting bagi tegaknya sebuah peradaban. Ia berperan mendidik anak-anaknya agar berkepribadian Islam dan mengurus keluarga sebaik mungkin. Islam memuliakan para ibu dan tidak memberikan beban tambahan dengan persoalan ekonomi.

Untuk menciptakan tatanan ekonomi yang stabil, solusi ekonomi Islam adalah dengan membedakan tiga kepemilikan harta, yaitu individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu berarti izin Asy-Syari’ (Allah Swt.) untuk memiliki dan memanfaatkan barang atau zat tertentu dengan memperhatikan mekanisme yang dijelaskan oleh syariat Islam.

Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari’ (Allah Swt.) kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda atau barang. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukkan bagi suatu komunitas masyarakat karena mereka masing-masing saling membutuhkan, dan Asy-Syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh seorang saja.

Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu pertama, merupakan fasilitas umum yang kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya. Kedua, barang tambang yang tidak terbatas. Ketiga, SDA yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu.

Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Islam menjelaskan tentang fasilitas umum ini dalam sebuah hadis, dari segi sifatnya, bukan dari segi jumlahnya.

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api.” (HR Abu Dawud)

Anas meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan, “Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram).”

Yang ketiga adalah kepemilikan negara. Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sedangkan pengelolaannya menjadi hak khalifah. Ia bisa menghapuskan sesuatu untuk sebagian kaum muslim sesuai pandangannya.

Pengelolaan oleh khalifah ini bermakna bahwa khalifah memiliki kekuasaan untuk mengelolanya. Inilah makna kepemilikan sebab kepemilikan bermakna adanya kekuasaan pada diri seseorang atas harta miliknya. Atas dasar ini, setiap kepemilikan yang pengelolaannya bergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah dianggap sebagai kepemilikan negara.

Asy-Syari’ (Allah Swt.) telah menjadikan harta-harta tertentu sebagai milik negara. Khalifah berhak untuk mengelolanya sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, semisal fai, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Syariat tidak pernah menentukan sasaran dari harta yang dikelolanya.

Jika syariat setelah menentukan sasaran dari harta yang dikelola dan tidak menyerahkannya kepada pandangan dan ijtihad khalifah, maka harta tersebut bukan milik negara, melainkan semata-mata milik orang yang telah ditentukan oleh syariat. 
Oleh karena itu, zakat, misalnya, tidak termasuk milik negara, melainkan milik delapan asnaf yang telah ditentukan syariat. Baitulmal hanya menjadi tempat penampungan zakat agar bisa dikelola mengikuti objek-objeknya.


Nafkah dalam Islam 

Demikianlah pengaturan kepemilikan dalam Islam sehingga kesejahteraan rakyat bisa lebih tercapai. Khalifah mengupayakan agar setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya. Para perempuan tidak harus menjadi tulang punggung keluarga dan meninggalkan fitrahnya dalam kehidupan rumah tangga.

Kewajiban nafkah dalam Islam tetap ada di tangan suami. Seorang suami yang baik dan beriman kepada Allah Swt. akan bersungguh-sungguh bekerja untuk menafkahi keluarganya. Islam membolehkan istri bekerja di luar rumah, tetap harus tetap memegang syariat, seperti menutup aurat secara sempurna dan menjaga interaksi (pergaulan) di tengah masyarakat.

Adapun jika istri mendapatkan penghasilan dari bekerja, itu adalah hartanya dan tidak ada kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga. Jika istri memberi uang kepada keluarga atau menggunakan uang penghasilannya untuk keluarga, hal itu dinilai sedekah baginya.

Seorang perempuan juga dimuliakan dengan adanya wali yang menafkahinya dan keluarganya hingga ia menikah. Negara memenuhi kebutuhan individu rakyatnya (secara tidak langsung) dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jika kemudian tidak ada satu pun keluarganya yang mampu menafkahi, negara akan hadir untuk memenuhi kebutuhan individu rakyatnya dengan memberikan bantuan langsung, seperti pemberian, subsidi, dan sejenisnya. Demikianlah penafkahan dalam sistem Islam.

Sungguh, sistem ekonomi Islam memudahkan umat Islam dan nonmuslim melaksanakan aktivitas sesuai aturan Allah Swt. berdasarkan hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah agar hidup manusia lebih tertata dan berkah. Ini hanya bisa terwujud dalam sistem kehidupan Islam kafah di bawah naungan Khilafah. 

Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar