Fenomena Caleg Gagal, Potret Buram Demokrasi


Oleh: Purnama (Aktifis Remaja)

Februari lalu, tepatnya pada hari Rabu, 14 Februari 2024 berlangsung sebuah kontestasi nasional serentak besar- besaran, yakni kontestasi politik pemilihan anggota legislatif. Terdapat banyak calon yang bersaing, banyak partai yang mengusung, dan banyak para tim sukses (timses) yang bekerja sama untuk sebuah kemenangan. Namun nyatanya dalam tiap kontestasi tidak semua kontestan menjadi pemenang, tentunya ada yang kalah untuk menentukan  pemenangnya. Setiap kondisi pasti ada respon tertentu untuk menghadapinya, menang wajarnya bahagia, dan kalah harusnya sabar. Namun ada pula yang kecewa bahkan tak terima kekalahan. 

Pasca 14 Februari lalu, KPU memang belum mengumumkan hasil pemilu secara resmi, tetapi berdasarkan hasil real count sementara, sudah tampak perolehan suara para caleg, meski belum final. Tentu saja para caleg dan timses yang memperoleh suara sedikit, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Banyak di antara mereka yang mengalami depresi bahkan berujung bunuh diri.

Hal ini seperti yang terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dua orang timses mengambil kembali “amplop” yang telah dibagikan kepada warga. Di Lombok Tengah, NTB, oknum timses salah satu caleg melempar rumah timses caleg lain karena diduga melakukan kecurangan. (TVOne News, 18-2-2024).

Sedangkan di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, seorang caleg menarik kembali bantuan paving block untuk warga karena perolehan suaranya kecil. (Kompas, 19-2-2024). 

Juga terdengar kabar tragis di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang, Jawa Barat, seorang caleg membongkar jalan yang dahulu ia bangun. Tak hanya itu, caleg tersebut bersama para pendukungnya juga menyalakan petasan di menara masjid pada siang dan malam hari. Aksi tersebut telah menyebabkan seorang warga meninggal dunia karena serangan jantung. (Okezone, 25-2-2024).

Selain menghilangkan nyawa warga, kegagalan pun di ekspresikan dengan cara tragis oleh timses caleg di Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Ia nekat gantung diri di pohon rambutan hingga meninggal dunia karena caleg yang didukungnya gagal meraih kursi anggota dewan. (Media Indonesia, 19-2-2024).


Demi Materi

Berbagai fenomena yang dialami para caleg dan timsesnya ini menggambarkan lemahnya kondisi mental mereka sehingga hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika ternyata suara yang diperoleh sedikit, mereka merasa tertekan, stres, depresi, bahkan ada yang nekat bunuh diri. Seolah-olah dunia mereka hancur karena kalah dalam pemilu. Sungguh ini bukanlah mental seorang muslim, juga bukan mental seorang pemimpin.

Hal ini semua disebabkan pandangan ala kapitalisme, yaitu memperoleh keuntungan materi yang sebanyak- banyaknya. Mengingat melalui jalur kekuasaan ditawarkan banyaknya keuntungan dan fasilitas yang akan di dapat.

Demi memperoleh jabatan, banyak orang bersaing dengan cara apapun walau harus melanggar hukum, tak hanya hukum Allah melainkan juga hukum negara. Demi memperoleh suara rakyat sebagai tiket menuju gedung dewan, para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam. Ada di antara mereka yang menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan, dll., bahkan ada yang sampai berutang atau bahkan bekerja sama dengan orang- orang yang beruang untuk suatu kepentingan, semua demi golden tiket ke-dewanan.

Uang tersebut mereka gunakan untuk membiayai timses, kampanye, dan yang paling banyak adalah untuk membeli suara rakyat dengan “amplop serangan fajar” menjelang pencoblosan, juga pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, masjid, sekolah, dan lainnya.


Potret Buram  Kapitalisme-Demokrasi 

"Sistem demokrasi menjadi berbiaya mahal karena berselingkuh dengan kapitalisme," demikian yang dikatakan Noreena Hertz.

Dapat dibuktikan, fenomena caleg yang habis-habisan kehilangan harta demi mencalonkan diri juga menunjukkan bahwa pemilu di dalam sistem demokrasi merupakan proses pemilihan yang berbiaya tinggi. Segala sesuatu dalam pemilu butuh biaya besar, tidak ada yang gratis. Mulai dari mahar masuk partai, kampanya, dan yang utama adalah dukungan suara rakyat.

Yang membuat lebih suram lagi yakni seperti yang dikritik Plato mengenai demokrasi pertama; masyarakat awam yang tidak terlalu paham politik, dan tidak adanya nilai sakral yang di anggap penting oleh masyarakat, standarnya dilakukan menurut suara mayoritas yang suara tersebut di setir para elit.

Oleh karena itu tak heran jika praktik pemilu demokrasi ala kapitalisme membutuhkan banyak biaya, ditambah ketidakpahaman masyarakat tentang politik semakin dijadikannya "uang" sebagi solusi iming-iming suara rakyat. Dan merupakan kewajaran pula melanggar aturan Allah dalam sistem demokrasi, sebab standar aturan adalah suara mayoritas.

Demikianlah demokrasi kapitalisme mengatur regulasi kekuasaan dengan sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan dengan tujuan tertingginya adalah materi. Ketika berkontestasi mengeluarkan banyak modal dengan pamrih ingin mengembalikan modal serta dapat untung, tetapi dihadapkan kenyataan kalah menjadikan orang- orang yang bercita- citakan materi ini akan merasa hancur, stres, depresi, seakan dunia tak berpihak padanya lagi.


Jabatan Adalah Amanah

Lain halnya dengan Islam, Islam memandang bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah saw. memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Maka di dalam Islam orang yang memegang jabatan haruslah orang- orang amanah yang dapat mempertanggungjawabkan amanah kepemimpinannya sesuai dengan perintah Allah. Patutlah salah satu syarat mutlak seorang khalifah (pemimpin) dalam Islam adalah khalifah yang bertakwa, menjadikan sejatinya ridho Allah adalah tujuan dan cita- cita kepemimpinannya, serta menjadikan Rasulullah sebagai panutannya dalam memimpin.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar