Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyat


Oleh : Ai Sopiah

Pemerintah memperkirakan kemiskinan ekstrem bisa melonjak drastis pada penghujung tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni tahun 2024. Ini karena basis perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global berbeda dengan yang digunakan pemerintah selama ini.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 Purchasing Power Parity (PPP) per hari. Padahal secara global sudah US$ 2,15 PPP per hari.

Suharso menjelaskan, dengan basis perhitungan itu saja pemerintah harus mengentaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai nol persen pada 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya.

Sementara itu, bila basis perhitungan orang yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem dengan perhitungan secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya.(CNBC Indonesia, 5/6/2023).

Berbagai cara strategis memang sudah pemerintah lakukan, tetapi hingga saat ini cara tersebut tidak menunjukkan hasil yang sesuai harapan, bahkan di beberapa wilayah justru mengalami kenaikan kemiskinan ekstrem. Ini menunjukkan bahwa semua upaya yang dilakukan belumlah pas. Gagalnya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem adalah karena solusi yang ditempuh tidak menyentuh akar masalah.

Jika kita amati lebih lanjut, masalah kemiskinan ini erat dengan kesulitan ekonomi. Pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekarang, memberikan kebebasan kepemilikan kepada pengusaha. Mereka bebas mengeruk sumber alam sekaligus menjualnya. Di sisi lain, jumlah lapangan kerja yang tidak memadai membuat para lelaki sulit mencari kerja. Kalaupun ada lapangan kerja, banyaknya untuk perempuan. Lebih miris lagi, besarnya upah tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan ekonomi saat ini dengan kebutuhan-kebutuhan yang serba mahal.

Pemerintah memang memberikan bantuan rumah, tetapi itu hanya untuk sebagian masyarakat tidak untuk seluruhnya. Masih banyak keluarga yang tidak memiliki rumah. Kalaupun ada tempat tinggal, mayoritas kontrak atau tinggal bersama orang tua. Jadi, masyarakat dengan gajinya pas-pasan harus memikirkan pengeluaran konsumsi, pendidikan, kesehatan, hingga sewa rumah. Semua kebutuhan itu jika hanya bersandar pada kepala keluarga, jelas tidak akan cukup.

Masalah yang kompleks ini terjadi pada mayoritas masyarakat negeri ini sebab penduduk yang ekonominya menengah ke bawah jauh lebih banyak daripara konglomerat. Jadi, meski masyarakat mendapatkan bantuan dari pemerintah, tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan karena para pemodal masih diberikan kebebasan mengeruk kekayaan alam.

Pemerintah sendiri juga terlihat berlepas tangan dari tanggung jawabnya, seperti menyerahkan pengentasan kemiskinan pada swasta dengan program Corporate Social Responsibility (CSR). Bahkan, pemerintah hanya bisa membuat regulasi yang justru menyulitkan masyarakat, seperti omnibus law, BPJS, mengurangi atau mencabut subsidi, dll.

Hanya Islam yang mampu menyelesaikan kemiskinan ini. Sistem Islam yang sempurna memiliki jaminan agar kemiskinan bisa diselesaikan. Beberapa hal perlu dilakukan menurut Islam sebagai berikut.

Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya. Apabila tidak bisa, kewajiban itu diserahkan pada kerabat dekat. Jika tidak ada kerabat dekat, baru akan diambil alih oleh negara. Masyarakat yang kaya akan didorong untuk membantu rakyat miskin. Mereka melakukannya atas dorongan keimanan.

Kedua, Islam akan membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. Individu bebas mendapatkan harta asalkan caranya tidak melanggar hukum syara'. Kepemilikan umum, seperti SDA, akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Swasta dilarang memilikinya. Kekayaan negara akan dikelola oleh negara untuk keperluan kenegaraan.

Ketiga, negara wajib mendistribusikan kekayaan secara merata, seperti memberikan tanah pada siapa saja yang mampu mengelola. Keempat, pembangunan ekonomi akan bertumpu pada sektor yang nyata. Dengan begitu, kekayaan yang ada itu asli, bukan sesuatu yang tidak ada, tetapi diada-adakan.

Semua cara tadi hanya bisa dilakukan dalam sistem Islam yang sempurna dalam naungan khilafah. Mustahil bisa dilakukan dalam sistem kapitalisme. 

Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar melakukan kebiasaan rutinnya, berjalan bersama pengawalnya untuk melihat kondisi rakyatnya. 

Sampailah Umar di sebuah dusun kecil terpencil, sayup-sayup telinga Umar menangkap suara tangis anak kecil. Umar kemudian mencari sumber suara tangis yang mengarah pada sebuah rumah gubuk sederhana yang terbuat dari kulit kayu. Di dalamnya tampak seorang ibu tengah duduk di depan sebuah tungku seolah sedang memasak. Sesekali ibu ini sibuk mengaduk panci, sesekali pula ia membujuk anaknya untuk tidur. Perlahan Umar mendekat, lantas tangannya mengetuk pelan di daun pintu sambil mengucapkan salam. Umar tak ingin identitasnya diketahui, ia bertamu dalam keadaan menyamar.

Umar lantas bersegera melontarkan pertanyaan tentang apa yang sedang dimasak si ibu, dan apa penyebab si putra tak henti-hentinya menangis pula. Dengan sedih, si ibu menceritakan keadaannya. Ia mengatakan bahwa anaknya menangis karena kelaparan sementara ia tak punya makanan apapun di rumahnya. Ibu ini juga mengatakan bahwa yang sedang dimasak adalah sebongkah batu untuk menghibur sang anak seolah-olah ibunya sedang membuat makanan.

Ibu ini juga sempat mengumpat kekesalannya pada sang pemimpin masa itu. "Celakalah Amirul Mu'minin Umar ibnu Khattab yang membiarkan rakyatnya kelaparan." Mendengar kekesalan dari ibu ini, Umar lantas pergi dan menangis memohon ampun pada Allah SWT. Ia merasa menjadi pemimpin yang teledor hingga tak tahu ada rakyatnya yang kesusahan.

Umar pun membawa karung berisi gandum
tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya dan menuju ke rumah ibu yang memasak batu.

Setelah sampai di rumah ibu ini, Umar langsung memasakkan sebagian gandum ini untuk dijadikan makanan. Setelah matang, ibu dan anak ini dipersilahkan makan sampai kenyang. 

Jadi sebagimana Khalifah Umar pun sebagai pemimpin sangat memperhatikan dengan kondisi rakyatnya, sampai dalam hal makan pun dijamin olehnya, karena sejatinya seorang pemimpin itu sangat besar pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah sewajarnya kita kembali pada Islam yang menyeluruh dan mari kita bersama-sama berjuang kembali untuk menegakkan sistem Islam agar dapat melahirkan pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar