Islam Menjamin dan Wujudkan Ketahanan Pangan


Oleh : Anita 

Rabu (21/2), harga beras biasa yakni Rp 16.000 per kilogram atau Rp 380 ribu per karung kemasan 25 kilogram. Kemudian, beras premium mencapai Rp 17.000 per kilogram atau sekitar Rp 420.000 per karung ukuran 25 kilogram.

“Beberapa hari lalu, beras biasa masih Rp 350 ribu per karung dan premium Rp 375 ribu per karung. Memang ada kenaikan,” jelasnya.

Sama halnya dengan harga telur ayam. Sebelumnya, harga telur ayam masih berkisar Rp 55-58 ribu per piring isi 30 butir. Kini, harganya naik menjadi Rp 58-62.000.

Murni menyebut, kenaikan tersebut memang kerap terjadi menjelang hari-hari besar, termasuk memasuki bulan puasa. “Biasanya memang naik menjelang Ramadan. Tapi, enggak dapat diprediksi kenaikannya sampai kapan,” sebut dia. Kaltimpost Bontang Jumat, (20)02/24)

Kondisi yang sama juga terjadi di Kutai Timur.  Cabai rawit misalnya, naik jadi Rp 75 ribu dari sebelumnya Rp 45 ribu per kilogram. Kenaikan tersebut karena pasokan yang diterima Kutim terbatas jumlahnya.

"Kami berupaya untuk menekan hal itu, salah satu upaya yang kami lakukan dengan menjaga stok, apalagi ini menjelang Ramadan. Walau ada kendala, karena barang masih bergantung dengan daerah lain,” terang Plt Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kutim Andi Nurhadi Putra

Sementara, untuk bahan pokok beras, pihaknya menuturkan hingga saat ini dan beberapa waktu ke depan stok beras masih aman. "Untuk beras hingga Ramadan stok kami cukup. Namun harga mengikuti pasar. Salah satu kenaikan tersebut karena beberapa wilayah mengalami gagal panen, sehingga pasokannya berkurang," jelasnya.

Ramadhan bulan mulia, bulan ibadah, inginnya fokus dan tenang untuk ibadah. Namun sayang jelang Ramadhan justru dihadapkan dengan beban-beban hidup yg seharusnya sudah diantisipasi sebelum ada lonjakan kenaikan harga. Kenaikan harga ini berulang dan rutin jelang Ramadhan.

Rakyat mengeluh, penjual warung makan pun terpaksa mengurangi porsi nasi. Harga beras merangkak naik bukti penguasa gagal mengurus rakyatnya dg baik. Selain itu sistem kapitalis abai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah serta tidak adanya pengawasan terhadap pedagang nakal yang melakukan penimbunan dsb/ mafia beras.

Sejatinya ada banyak faktor yang menyebabkan kenaikan harga beras hanya saja Pengelolaan pangan dan pertanian oleh negara seharusnya mampu mewujudkan tiga tujuan, yaitu menjamin pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat (termasuk di dalamnya cadangan pangan negara), menjaga kestabilan harga, dan memberikan dampak kesejahteraan pada petani. Kemampuan mewujudkan ketiga hal ini sangat bergantung sistem politik pangan pertanian yang diterapkan negara.

Berlarutnya lonjakan harga beras adalah pertanda kegagalan politik pangan dan pertanian kapitalisme neoliberal yang dijalankan saat ini. Bagaimana mungkin kenaikan harga sudah terjadi lebih dari setahun, tetapi tidak ada solusi tuntas untuk mengakhirinya? 

Berbagai instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah juga gagal menyelesaikan persoalan karena kebatilan landasan sistem yang dipakai. Bahkan, potensi sumber daya pertanian dan pangan yang dimiliki Indonesia pun tidak mampu dikelola untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan masyarakat.


Harga Mahal di Tengah Impor

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat bahwa sepanjang 2023, pemerintah melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton, meningkat 613,61% dibandingkan 2022. Pada 2024 ini, Presiden Jokowi meminta Badan Pangan Nasional untuk menugaskan Bulog melakukan importasi sebesar dua juta ton untuk pemenuhan cadangan beras pemerintah (CBP). Selama Januari 2024, sudah dilakukan impor yang nilainya mencapai USD279,2 juta.  Angka tersebut melonjak sebesar 135,12% secara tahunan (yoy) dibandingkan Januari 2023 yang sebesar USD118,7 juta.

Ironisnya, di tengah guyuran importasi beras yang sedemikian besar, harga tidak kunjung mereda. Jika dikalkulasi, jumlah beras yang diimpor jauh melampaui kehilangan beras akibat penurunan produksi tahun lalu. Kalau dibandingkan dengan tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia yang diperkirakan 35,3 juta ton per tahun, secara hitungan jumlah pasokan dari produksi dan impor sudah mencukupi kebutuhan.

Hanya saja yang terjadi sebaliknya. Data dari panel harga BPN hingga 15 Februari 2024 menunjukkan rata-rata harga beras premium dari berbagai provinsi mencapai Rp15.900/kg, dengan harga paling mahal di Provinsi Papua Pegunungan senilai Rp25.220/kg. Sedangkan beras medium rata-rata harganya Rp13.950 /Kg. Selain mahal, beberapa hari ini, masyarakat juga sulit mendapatkannya di pasar, baik di retail modern maupun pasar tradisional.


Kebijakan Bersifat Teknis

Memang, telah banyak program yang dijalankan pemerintah untuk mengatasi kekisruhan seputar beras, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Ini dibarengi program kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Namun, kenapa harga tidak juga kembali stabil dan terjangkau oleh mayoritas rakyat?

Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak menyentuh akar masalah karena bersifat teknis. Di satu sisi, pemerintah hanya berusaha menyelesaikan simtom gejolak harga, tetapi tidak menyolusi penyebab kenaikan harga. Kebijakan yang dibuat sekadar menahan kenaikan, bukan mengakhiri secara tuntas. Ditambah, banyak yang menilai kebijakan bantuan beras saat ini berkelindan dengan agenda politik praktis mendekati pemilu. Alhasil, maksud dari program ini bukanlah untuk menyelesaikan persoalan rakyat, melainkan kepentingan segelintir pihak.

Kenaikan harga beras juga tidak serta-merta dinikmati petani dan memberikan kesejahteraan sebagaimana dinyatakan sejumlah pejabat. Ini karena problem mendasar tidak sejahteranya petani berpangkal dari kemiskinan struktural yang diciptakan oleh sistem kapitalisme liberal. 

Di sektor pertanian pun banyak ketimpangan yang dialami petani sehingga mereka selalu berada dalam keadaan terimpit. Mulai dari kesulitan mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang sangat minim, hingga harga penjualan panen yang tidak menguntungkan.


Problem Utamanya Adalah Politik Pangan Kapitalisme

Cara pandang yang hanya melihat persoalan ini di tataran teknis—bukan problem sistemis dan ideologis—menjadi penyebab masalah ini tidak kunjung teratasi. Akhirnya, masalah seputar pemenuhan pangan terus terjadi berulang, bahkan dengan kondisi yang makin hari makin buruk.

Jika ditelaah lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penyebab karut-marut ini berpangkal dari sistem politik pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal. Secara politik, bukti penerapan sistem ini sangat terasa dengan ketiadaan peran negara yang sebenarnya. Negara/pemerintah hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sementara itu, pengurusan berbagai urusan rakyat malah diserahkan kepada korporasi sehingga akhirnya diatur “suka-suka” korporasi dan dikelola untuk mencari keuntungan semata.

Di samping itu, wajah lembaga-lembaga teknis negara, seperti Bulog, hadir di tengah rakyat tidak lagi murni lagi sebagai pelayan dan pengurus, melainkan sebagai pebisnis. Bulog dan BUMN lainnya bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari profit. 

Paradigma bisnis inilah yang menghalangi Bulog tidak melakukan penyerapan gabah petani karena dapat merugikan Bulog dan fungsi komersial ini akan makin diperkuat karena dipandang akan menstabilkan harga.

Begitu pula konsep desentralisasi kekuasaan yang juga menjadi bagian dari sistem politik demokrasi kapitalisme, makin merunyamkan persoalan pangan. Entah pada desentralisasi di antara kementerian dan badan pengurusan pangan, maupun dalam bentuk otonomi daerah. Alhasil, ini melemahkan upaya distribusi pangan antardaerah guna menstabilkan harga.

Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar. Mereka bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, bahkan termasuk importasi. Model korporatisasi seperti ini akhirnya mampu mengambil kendali terhadap pasokan pangan, serta mengendalikan harga pasar dan tingkat konsumsi masyarakat.

Demikianlah problem utamanya, yakni penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme sehingga melahirkan pemerintahan yang lemah, abai, dan gagal mengurusi rakyat. Oleh karenanya, penguasa “aslinya” bukanlah negara, melainkan korporasi. 

Secara ekonomi, praktik sistem ekonomi kapitalisme telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang sangat jauh, bahkan saat ini pasar beras Indonesia makin menguat ke arah oligopoli akibat lebih dari 80 persennya dikuasai segelintir pengusaha dan pemerintah lewat Bulog kurang dari 20%.


Politik Pangan Islam Menstabilkan Harga

Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya jaminan stabilitas harga. Adanya jaminan di dalam Islam ini disebabkan politik ekonomi Islam memang menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara.

Secara terperinci, pengaturan Islam tegak pada dua pilar sistemnya, yaitu politik dan ekonomi, yang keduanya sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan berada sepenuhnya di pundak negara (Khilafah). 

Rasulullah saw. telah menegaskan dalam sabdanya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). 

Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw. menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). Oleh karenanya, terlarang menyerahkan penguasaan kepada korporasi untuk pengaturan pangan.

Politik pangan Islam untuk menstabilkan harga juga sangat terkait dengan penerapan pada aspek produksi. Kemampuan negara dalam mengendalikan harga ditentukan penguasaannya terkait pasokan. Oleh karena itu, Khilafah wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. 

Pada aspek produksi, Khilafah menjamin tersedianya pasokan dengan produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara. Kebijakan pertaniannya dijalankan dengan dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, termasuk penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan. Terkait penguasaan pasokan, dipastikan negara akan memiliki data yang lebih presisi.

Sedangkan pada aspek distribusi, negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam. Pengawasan ini betul-betul serius dilakukan sehingga negara akan mengangkat sejumlah kadi hisbah untuk melaksanakannya.

Sejalan dengan itu, sistem ekonomi Islam pun diberlakukan, di antaranya mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dan sebagainya. Buah penerapan sistem ekonomi ini akan menghilangkan akumulasi harta pada segelintir orang dan perekonomian akan tumbuh karena modal benar-benar diberdayakan pada sektor riil, termasuk pertanian.

Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Khilafah  benar-benar berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga akan tereliminasi karena pengawasan negara berjalan sehingga harga tidak mudah bergejolak. Kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena negara hadir mengurusi mereka

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96).

Islam memenuhi kebutuhan pokok umat, serta menjamin mekanisme pasar yang baik. Dan penguasa mendukung para petani lokal. Islam menjamin dan mewujudkan ketahanan pangan.

 Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar