Impian Desa Wisata Hanya Sekedar Cerita


Oleh: Imas Royani, S.Pd. 

Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Desa Wisata? Tentu seketika khayalan akan terbang menerawang membayangkan suatu desa asri penuh keindahan, kenyamanan, dan ketentraman. Kawasan pedesaan yang menawarkan suasana asli desa, baik segi ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, hingga arsitektur bangunan. Sangat cocok sebagai tempat untuk relaksasi. Tapi akankah hal itu terwujud di alam nyata saat ini?

Program Desa Wisata sudah lama berjalan dan telah melahirkan 80 ribu lebih desa wisata. Dari jumlah tersebut, Menparekraf Sandiaga Uno menarget 6.000 pembentukan desa wisata pada 2024 atau 80% dari 7.500 desa wisata yang dikenal memiliki potensi wisata. Dengan program ini, pemerintah berharap dapat membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% PDB. (Tempo, 19-2-2024).

Pemerintah berharap dengan adanya desa wisata akan terjadi penyerapan tenaga kerja di desa sehingga dapat mengurangi pengangguran. Desa wisata juga diharap dapat menggaet para wisatawan sehingga menghasilkan pendapatan yang besar. Pendapatan ini akan digunakan untuk mengembangkan desanya. Program ini juga diharapkan dapat menghambat terjadinya urbanisasi, sebab perpindahan masyarakat dari desa ke kota saat ini sangat tinggi dengan alasan utama bahwa di kota lebih banyak lapangan pekerjaan.

Benarkah demikian? Keberadaan desa wisata memang membantu menyerap tenaga kerja, tetapi sayangnya tidak membuat mereka bisa sejahtera, karena selama ini desa wisata hanya bersifat sementara. Pada saat tertentu dapat menarik animo pengunjung, pada saat yang lain juga akan ditinggalkan. Lagipula yang namanya wisata, hanyalah perpindahan sementara termasuk kegiatan jual-beli yang biasanya dilakukan di tempat asal beralih ke tempat wisata.

Seberapa besar pula keuntungan yang akan didapat dari desa wisata, bisakah menyaingi_kalau tidak bisa mengalahkan_penghasilan pengusaha tambang Freeport? Bisakah kesejahteraan yang didapat sekedar melebihi dari sejahteranya para wisatawan yang datang ke desa wisata? Tentu saja jika perbandingannya seperti itu, keberadaan desa wisata hanyalah mengais ampas sisa. Bahkan bisa jadi akan menjadikan masyarakatnya sebagai pelayan/budak para wisatawan yang terus memikirkan bagaimana caranya agar para wisatawan puas, dan akhirnya akan datang kembali sambil membawa lebih banyak wisatawan. Tak terbesit bagaimana caranya agar masyarakat bisa puas tanpa wisatawan. Tak terpikir bagaimana caranya bisa bebas melaksanakan syariat dengan sempurna tanpa harus menjadi orang lain, apalagi harus berpura-pura bahagia sedang kenyataannya terluka. 

Karena untuk menjadikan suatu desa sebagai desa wisata, telah mengorbankan terlalu banyak pengorbanan. Contoh kecil ketika di Cipondoh, suatu kampung yang menjadi relokasi bagi Orang Terkena Dampak (OTD) Jatigede ditawari menjadi Kampung Sunda dengan iming-iming bahwa nanti akan banyak wisatawan yang datang, akan menjadi tempat terkenal sebagai persinggahan, asal dengan syarat seluruh masyarakatnya mau "back to nature" alias menolak kemajuan teknologi dan peradaban. 

Di kampung tersebut tidak boleh ada listrik, tidak boleh ada MCK di rumah, tidak boleh ada peralatan teknologi, dll. Masyarakat harus memakai obor atau lampu teplok sebagai penerangan, menjadikan sungai aliran Jatigede sebagai sarana bersih-bersih (mandi, cuci piring, cuci baju, BAB, BAK, dll). Kemana-mana harus jalan kaki, paling banter memakai sapi atau gerobak. Belum dari segi peradaban, seperti halnya di sebagian daerah di Papua yang masih memakai pakaian adat koteka, di kampung sunda pun masyarakatnya yang perempuan diharuskan memakai pakaian kebaya bersanggul yang jelas membuka aurat. Sedang untuk laki-laki harus memakai salontreng dan bendo. 

Dari sisi kepercayaan diharuskan memakai Islam Nusantara, Islam nyunda yang ramah dan kental dengan ritual "jangjawokan". Bahkan dijanjikan pasilitas dan gaji fantastis bagi sang kuncen penunggu makam Gagak Sangkur. Belum lagi kesenian yang harus dilestarikan adalah tarian yang bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah SWT. dan menaati seluruh aturan-Nya.

Meski akhirnya rencana tersebut tidak terealisir karena mendapat penolakan dari masyarakat setempat, tetapi sampai saat ini pemerintah masih mengincar tempat lain untuk dijadikan desa wisata dengan alasan sebagai upaya negara dalam membentuk kemandirian desa. Padahal kenyataannya ini bukti lepas tangannya negara dalam mengurusi rakyatnya. Negara hanya mementingkan materi atau pertumbuhan ekonomi, padahal masalah rakyat bukan hanya soal materi.

Inilah akibat dari tidak dipakainya aturan Allah dalam kehidupan. Demi meraih kebahagiaan sesaat, rela mengorbankan kebahagiaan abadi. Sebagai muslim tentu kita meyakini bahwa hidup di dunia hanya sementara karena tempat kembali kita adalah akhirat. Tentu kita tidak akan rela menggadaikan akidah demi keluar dari masalah ekonomi yang menghimpit. Apalagi sudah dapat dilihat kerugian yang akan didapat dari pelanggaran syariat dibanding iming-iming keuntungan dunia yang semu dan tidak seberapa. Kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya pada alam tetapi peradaban masyarakat dan nasib generasi. 

Negara yang seharusnya mengayomi, malah menjadikan masyarakatnya sebagai mangsa kapitalis. Masyarakat dipaksa menjadi budak penguasa oligarki. Demi memenuhi kebutuhannya harus mengais remah-remah karena sumber daya alamnya dirampok asing dan aseng berkedok investasi.

Sungguh ini tidak akan terjadi, jika negara memakai sistem Islam. Karena dalam sistem Islam negara berfungsi sebagai penjaga dan penanggung jawab bagi rakyatnya. Pemimpin dalam sistem Islam (Khilafah)  memahami bahwa kesejahteraan masyarakat, baik desa atau kota, adalah tanggung jawabnya. Alhasil, dengan sistem keuangan berbasis baitulmal, Khilafah akan membangun desa dan kota secara merata. Bagi masyarakat tidak mampu, yakni yang tergolong delapan orang yang berhak menerima zakat, akan dijamin dari pos zakat sampai mereka keluar dari golongan tersebut.

Sedangkan masalah pekerjaan, negara akan membangun industri-industri yang mendukung serta industri padat karya lainnya yang mampu menyerap lapangan kerja. Negara juga akan memberikan tanah yang tidak bertuan kepada siapa saja yang mau menghidupkan tanah tersebut. Bahkan, negara juga akan memberikan modal kepada masyarakat yang butuh modal usaha tanpa ada riba. Dengan mekanisme seperti itu, masyarakat akan memenuhi kebutuhannya.

Tidak hanya memperhatikan masalah kesejahteraan, negara juga menjaga pemahaman masyarakat. Dengan sistem pendidikan Islam, negara akan menanamkan akidah Islam sehingga terbentuk masyarakat yang berkepribadian Islam. Mereka tidak akan menghalalkan segala cara demi materi. Semua dilakukan hanya demi meraih ridha Allah SWT. 

Demikianlah, masyarakat desa maupun kota tidak perlu membentuk desa wisata hanya demi meraup untung. Kalaupun ada, tempat wisata itu hanya dipakai sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Hanya dengan sistem Islam kesejahteraan itu akan didapat secara totalitas. Impian kebahagiaan pun akan menjadi nyata. Mari kita mewujudkannya dengan menerapkan Islam yang totalitas pula, yaitu penerapan Islam secara  kaffah dalam naungan Khilafah. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar