Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Lagi, lagi, dan lagi May Day diperingati. Lagi, lagi, dan lagi harapan dan tuntutan disuarakan. Lagi, lagi, dan lagi para buruh dikhianati. Lalu apa arti May Day? Sekedar seremonial? Bilakah buruh mendapat kesejahteraan? Maybe yes maybe no!
Bayangkan, sampai hari ini ada lebih dari 200 juta orang yang masih menganggur. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang makin lebar. Ketimpangan antara orang kaya dan miskin makin parah, satu persen populasi terkaya dunia menguasai lebih dari setengah kekayaan global. Belum lagi terkait njomplangnya upah buruh yang hanya naik 1,58 persen, sementara laju inflasi mencapai 2,8 persen. (tribunnews online, 01/05/2024).
Survei menunjukkan bahwa 69% perusahaan di Indonesia menyetop perekrutan karyawan baru pada 2023 karena khawatir terjadi PHK. Dari 69% itu, 67% diantaranya merupakan perusahaan besar. Industri perbankan, perhotelan, dan farmasi adalah tiga sektor terbanyak yang membekukan perekrutan pekerja. Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa 23% perusahaan di Indonesia melakukan PHK pada tahun lalu, sedangkan rata-rata global sebesar 32%. (CNN Indonesia, 26/04/2024).
Maka wajar pada peringatan May Day tahun ini, puluhan ribu buruh mengepung Istana. Buruh meminta Prabowo-Gibran mencabut UU Cipta Kerja dan HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah). Buruh juga mengancam akan melumpuhkan ekonomi jika UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan tidak dicabut. (liputan6, 01/05/2024).
Maybe yes maybe no! Jawaban atas semua itu sudah bisa ditebak. Selama dunia masih menerapkan kapitalisme yang menganggap buruh hanya sebagai faktor produksi, maka jawabannya, no! Karena dengan memegang prinsip ekonomi kapitalis, perusahaan akan meminimalkan biaya produksi, termasuk biaya tenaga kerja. Pada saat yang sama, tidak ada jaminan dari negara karena negara hanya berperan sebagai regulator dan penengah antara buruh dan perusahaan jika ada konflik terkait upah dan lainnya.
Dengan prinsip itu pula perusahaan akan meminimalkan biaya, termasuk pemberian kesejahteraan pada buruh. Justru banyak kasus perusahaan tidak memberikan hak buruh, memberi upah tidak sesuai UMR, tidak memberi THR, mudah memecat buruh, dan lainnya. Akibatnya, buruh pun terjepit dalam ketakberdayaan. Jika bekerja, upah tidak menyejahterakan, sedangkan beban kerja amat berat. Adapun jika keluar dari pekerjaan, sulit mencari pekerjaan lain karena gelombang PHK menerpa dengan amat dahsyatnya.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam buku Politik Ekonomi Islam menjelaskan bahwa politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap-tiap individu secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya.
Islam memandang buruh adalah bagian dari rakyat yang harus di-riayah (diurusi) oleh negara. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan tiap-tiap warga negara, termasuk para buruh. Negara akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara orang per orang sehingga tiap-tiap rakyat merasakan kesejahteraan. Negara akan menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengaksesnya.
Negara juga melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat laki-laki yang balig untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Lapangan kerja tersebut bisa berupa kesempatan bekerja menjadi buruh, membuka usaha tertentu, menjadi petani, bisnis dagang, jasa, industri, maupun yang lainnya.
Islam menjamin nasib buruh dan sekaligus keberlangsungan perusahaan melalui penerapan Islam dalam semua bidang kehidupan. Dengan demikian, semua pihak, baik buruh maupun perusahaan, sama-sama diuntungkan. Negara memastikan bahwa di antara buruh dan perusahaan ada akad yang jelas dan syar’i terkait deskripsi pekerjaan, upah, jam kerja, fasilitas, keselamatan kerja, dll. sehingga kedua pihak merasa rida. Negara juga memastikan kedua pihak menjalankan kewajibannya dan memperoleh haknya secara makruf. Jika ada perselisihan di antara keduanya, negara tampil sebagai hakim yang memberikan keputusan secara adil berdasarkan syariat Islam.
Negara benar-benar mengikuti sabda Rasulullah Saw. perihal tugas seorang pemimpin, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).
Alangkah sejahteranya jika saja negara mau menerapkan sistem Islam. Kesejahteraan yang akan dirasakan tidak hanya oleh buruh atau pemilik perusahaan, melainkan oleh seluruh rakyat. Mari di moment May Day tahun ini kita sama-sama menuntut agar negara mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Semoga peringatan May Day tahun ini adalah peringatan May Day terakhir, sebab dengan diterapkannya sistem Islam, buruh dan kita semua tidak memerlukan May Day lagi.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar