Tenggelam Gegara Miras: Miras Legal atau Ilegal Sama Bahayanya


Oleh : Anita S.M (Aktivis Dakwah Muslimah)

Tim SAR gabungan akhirnya menemukan Mochammad Atqiya'i (27), pria asal Jember yang dilaporkan terjatuh di Sungai Manggar, Balikpapan Timur, dalam kondisi meninggal dunia.

Mochammad Atqiya'i ditemukan oleh Tim SAR gabungan pada Kamis (18/4/2024) pagi. Jasadnya ditemukan 98 meter dari LKP (Last Known Position) alias posisi terakhir korban.

Diberitakan sebelumnya, seorang pria berusia 27 tahun bernama Mochammad Atqiya'i dilaporkan tenggelam di Sungai Manggar, Balikpapan, pada Selasa malam, 16 April 2024.

Informasi yang dihimpun media ini, Tim SAR gabungan sedang melakukan operasi pencarian dan penyelamatan untuk menemukan korban. Menurut informasi, Atqiya'i diduga sedang mabuk saat jatuh ke sungai sekitar pukul 23.40 WITA. (Prokal. co Balikpapan Kamis, 18/04/24)

Pemuda mabuk miras, mati tenggelam hanya salah satu bahaya miras. Masih banyak berbagai kejahatan yang timbul akibat miras. Razia miras ilegal namun miras legal di cafe dan hotel berbintang, padahal dampaknya sama berbahaya. Demi pendapatan daerah miras legal tak masalah. Kehidupan yang semakin modern apalagi adanya IKN membuat persoalan bertambah termasuk miras.

Terlebih yang digerebek adalah warung-warung warga yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Sedangkan, di tempat milik pengusaha besar, seperti bar dan diskotik, kenapa tidak ada razia di sana? Padahal, di sana sudah pasti ada miras. Bahkan, biasanya sepaket dengan perjudian, narkoba, dan pelacuran.

Lagi pula, jika benar-benar serius memberantas miras, kenapa bukan pabrik mirasnya saja yang digerebek? Atau keran impor miras ditutup? Bukankah ini yang namanya kebijakan setengah hati dan hukum yang tebang pilih?

Apalagi, jika menengok UU Minol yang menyebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat-tempat tertentu seperti tempat pariwisata, bukankah ini menegaskan kebijakannya kian sekuler? Ini karena peredaran miras pada akhirnya diperbolehkan jika bermanfaat, misalnya di area wisata yang itu menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.


Kebijakan Kontraproduktif

Kemudaratan miras telah sangat jelas dipaparkan banyak peneliti dan pakar, baik itu dari sisi kesehatan maupun sosial masyarakat. Telah banyak kejahatan dan kriminalitas terjadi karena berawal dari barang haram ini. Akibat miras, pelakunya mabuk-mabukan dan tidak sadarkan diri, lantas bertindak semaunya. Pemerkosaan, penganiayaan hingga pembunuhan menjadi rentetan kasus yang kerap diawali dengan miras.

Namun demikian, pemerintah masih saja membolehkan peredaran miras di tempat-tempat tertentu seperti kelab malam dan tempat pariwisata dengan alasan adanya manfaat ekonomi. Bahkan Presiden Jokowi membuka investasi industri miras yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Bahkan miras pernah menyumbang Rp250 miliar pada kas negara (cnnindonesia, 2021)

Bukankah kebijakan demikian menjadi kontraproduktif terhadap pelarangan miras? Di satu sisi, pemerintah menginginkan kehidupan masyarakat menjadi aman dengan diberlakukannya pelarangan miras. Namun, di sisi lain, pemerintah pun ingin mendapatkan cuan dari penjualan miras yang nyatanya bisa menyumbang pendapatan negara.

Jadilah kebijakan yang ditetapkan saling kontradiktif. Inilah yang terjadi ketika sistem ekonomi kapitalisme menjadi asas dalam pengelolaan negara.


Liberalisasi

Kehidupan sekuler melahirkan masyarakat yang liberal, yaitu masyarakat yang memiliki pemahaman kebebasan tingkah laku. Budaya Barat yang terus masuk tanpa filter, menjadikan mabuk sebagai gaya hidup.

Mabuk dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang kian pelik dihadapi masyarakat. Walau sebentar, mereka yang mabuk seakan mampu melupakan persoalan hidup yang begitu berat.

Media di bawah asuhan kapitalisme pun akan memperkuat hal yang demikian, yaitu menyodorkan gaya hidup Barat yang jauh dari Islam. Sekularisme yang terus dipropagandakan media barat juga akan makin menjauhkan umat dari petunjuk hidup Islam sehingga banyak dari kaum muslim yang menjadi konsumen dan produsen miras.

Inilah yang meningkatkan permintaan terhadap miras sekaligus akan menaikkan angka penawarannya. Artinya, peredaran miras akan makin besar seiring dengan infiltrasi budaya Barat yang sekuler liberal. Dengan demikian, jangan pernah berharap peredaran miras hilang di tengah umat selama sistem kehidupan sekuler kapitalistik masih menjadi platform utama.

Oleh karena itu, razia miras Ilegal namun miras legal di cafe dan hotel berbintang, padahal dampaknya sama berbahaya. Sejatinya hanya menjadi peredam keresahan masyarakat atas kemudaratan yang terjadi akibat miras. Miras akan tetap ada selama permintaan dan penawarannya tinggi. Permintaan miras tinggi karena gaya hidup yang liberal dan penawaran tinggi karena didukung pemerintah dalam rangka turut membiayai negara.


Miras sebagai Induk Kejahatan

Islam menganggap miras adalah induk dari kejahatan sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, salah satu yang harus ditegakkan adalah pelarangan miras, baik pelarangan produksinya, konsumsinya, juga distribusinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., Nabi saw. bersabda, “Minuman keras itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliah.” (HR Thabrani)

Allah telah jelas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa bukan peminumnya saja, tetapi juga penjualnya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya, seperti sopir pengangkut miras, orang yang mengambil untung dari penjualan miras, kuli angkutnya, yang mengoplosnya, dan lain-lain.

Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya.” (HR Ahmad)

Untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan larangan secara mutlak, tetapi juga harus dibangun pemahaman pada diri umat bahwa miras adalah benda yang haram karena zatnya. Dengan demikian, umat akan menjauhkan dirinya dari hal tersebut sekalipun seolah-olah mendatangkan manfaat bagi dirinya.

Begitu pun sistem sanksi dalam Islam, akan sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata,
جَÙ„َّدَ رَسُÙˆْÙ„ُ اللهِ Ø£َرْبَعِÙŠْÙ†َ ÙˆَØ£َبُÙˆ بَÙƒْر Ø£َرْبَعِÙŠْÙ†َ ÙˆَعُÙ…َرَ Ø«َÙ…َانِÙŠْÙ†َ ÙˆَÙƒُÙ„ٌ سُÙ†ّØ©ٌ ÙˆَÙ‡َØ°َا Ø£َØ­َبُّ Ø¥ِÙ„َÙŠَّ
“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Adapun pihak selain peminum khamar dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau kadi yang akan memberikan hukuman yang menjerakan dan sesuai dengan ketentuan syariat.


Khatimah

Sesungguhnya yang menyebabkan makin masifnya peredaran miras adalah sistem kehidupan yang sekuler liberal. Cara untuk menjauhkan miras dari umat adalah dengan membuang sistem ini dan menggantinya dengan sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiah. Insyaallah, kesehatan manusia akan terjaga dari kerusakan akibat miras. Keamanan di tengah masyarakat pun akan tercipta dan umat hidup dalam keberkahan dan penuh martabat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar