Biaya Kuliah Mahal: Bukti Kegagalan Kapitalisme Mencerdaskan Generasi


Oleh : Haura (Pegiat Literasi)

Biaya Kuliah yang Mahal

Hampir setiap tahun terdapat mahasiswa sejumlah perguruan tinggi memprotes kebijakan kampus karena kenaikan biaya kuliah yang disebut uang kuliah tunggal (UKT). Tahun ini, kebijakan UKT yang kian mahal kembali memicu gelombang protes dan kritik tajam di kalangan mahasiswa. Universitas Riau menjadi sorotan karena Rektor Universitas Riau, Sri Indarti melaporkan mahasiswanya yang memberikan kritik mengenai mahalnya UKT.

Awalnya, konsep pengelompokan UKT diharapkan dapat menjadi solusi agar biaya kuliah dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa untuk membantu meringankan biaya kuliah bagi mahasiswa namun kenyataannya tidak sesuai harapan, malah berdampak sebaliknya.


Minimnya Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan Tinggi

Sejak perubahan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), Perguruan Tinggi diberikan otonomi di bidang akademik dan non akademik. Perubahan status tersebut membuat PTN-BH memiliki kewenangan penuh dalam menentukan arah kebijakan PTN tanpa campur tangan pihak luar, salah satunya dalam menaikkan UKT. 

Namun di sisi lain Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Gunawan menilai tingginya UKT di sejumlah kampus terjadi lantaran minimnya tanggung jawab pemerintah dari sisi bantuan anggaran. Beliau menilai status PTN-BH bukan menjadi satu-satunya biang kerok kampus dijadikan lahan bisnis sehingga harus menaikkan UKT karena buktinya perguruan tinggi lain dengan status Badan Layanan Umum (BLU), Satuan Kerja (Satker) maupun swasta tetap mengalami kenaikan UKT. Kompas.com.


Pendidikan Bukan Kebutuhan Tersier

Menanggapi kegaduhan kenaikan UKT, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Plt. Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, angkat bicara dan menyampaikan biaya di perguruan tinggi tidak bisa digratiskan. Kemendikbudristek memprioritaskan pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, mencakup SD, SMP dan SMA. Menurut Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan wajib belajar, lulusan SMA atau sederajat yang ingin masuk ke perguruan tinggi merupakan pilihan individu tersebut, jadi tidak bisa digratiskan. Namun demikian Kemendikbudristek juga tetap memberi bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) sebagai bantuan biaya dari pemerintah untuk PTN yang kekurangan biaya operasional.
 
Sangat disayangkan, tidak seharusnya pernyataan tersebut dilontarkan oleh Kemendikbudristek. Jika pendidikan tinggi dianggap kebutuhan tersier, itu artinya tidak semua kalangan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan tinggi dibatasi untuk masyarakat yang memiliki kemampuan finansial di atas rata-rata. Padahal pendidikan tinggi merupakan garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan Indonesia. Sejatinya pendidikan apapun itu, baik pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi bukanlah kebutuhan tersier melainkan kebutuhan pprimer. Karena hanya dengan pendidikan manusia mampu memberantas kebodohan dan mampu membangun peradaban. 


Imbas Penerapan Kapitalisme

Status PTN-BH, yang memberikan otonomi Perguruan Tinggi telah menjadi pintu gerbang terbukanya komersialisasi pendidikan. Perguruan Tinggi bukan sekedar lembaga pendidikan melainkan sekaligus sebagai lahan bisnis. Tampak jelas, ini sebagai imbas diterapkannya kapitalisme yang bersandar pada sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan.

Penerapan kapitalisme telah menghilangkan peran negara dalam mengurus pendidikan tinggi masyarakat, negara tidak memiliki tanggung jawab penuh dalam mengelola pendidikan tinggi, negara sekedar membuat regulasi untuk memastikan agar PTN-BH tetap berjalan. 

Penerapan kapitalisme perlahan mengubur cita-cita generasi untuk memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi karena mahalnya UKT. Para orang tua dan calon mahasiswa harus kecewa dan bahkan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kuliah karena tak mampu menjangkau biaya yang selangit. Kapitalisme memberikan sekat terhadap pendidikan, pendidikan tinggi hanya bisa diperoleh bagi orang-orang yang berduit, kapitalisme gagal mencerdaskan generasi secara keseluruhan.  


Pendidikan dalam Islam

Berbeda dengan Islam, dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar, prioritas utama bagi masyarakat. Sebab pendidikan memiliki pengaruh yang besar dalam membangun peradaban. Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab penuh negara. Negara harus memberikan pelayanan maksimal terhadap pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan. 

Dalam Sistem Islam biaya pendidikan tidak dipungut dari masyarakat namun dibebankan kepada negara melalui pos pendapatan negara milkiyyah ammah (kepemilikan umum). Negara mengelola kekayaan umum milik masyarakat seperti hutan, tambang, minyak bumi, dan sebagainya untuk kepentingan rakyat secara umum salah satunya untuk membiayai bidang pendidikan. Masyarakat tidak terbebani untuk membayar biaya kuliah yang mahal. Namun demikian, negara pun memberi ruang kepada masyarakat untuk berkontribusi menafkahkan hartanya pada dunia pendidikan. Jelaslah, sistem Islam memberi kesempatan kepada siapa saja untuk memperoleh pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi tanpa membeda-bedakan kelas finansial nya. Allahu A’lam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar