Oleh : Dhini Islamuddin
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada 2021, jumlah perempuan yang terjebak pinjol lebih banyak daripada laki-laki. Perempuan yang terjerat pinjol berjumlah 9.498.405 (54,95%), sedangkan yang laki-laki berjumlah 7.785.569 (45,05%). Selain itu, ahli perencanaan keuangan, Rista Zwestika, mengungkapkan bahwa banyak anak muda di Indonesia yang terjerat dengan pinjaman online (pinjol) dan investasi bodong. Gen Z diberikan kemudahan, yakni anak muda usia di bawah 19 tahun sudah bisa mendaftar pinjol. Berdasarkan data, sebanyak 72.146 masyarakat Indonesia yang berusia di bawah 19 tahun sudah terlibat pinjol. Jika diakumulasikan, pinjaman ini mencapai Rp168 miliar. Sebanyak 10.900 orang dengan kategori usia 19—34 tahun memiliki pinjaman mencapai Rp26 triliun. Mereka menggunakan pinjol sebagian besar untuk kebutuhan konsumtif, seperti belanja online, traveling, dan menonton konser. (Liputan 6, 21-2-2024).
Adapun pinjaman masyarakat Provinsi NTB di lembaga penyalur kredit berbasis online (pinjol) cukup tinggi. Sejak Januari hingga Juli 2023, nilainya sudah mendekati angka setengah triliun. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Januari 2023, hingga Juli 2023, pinjol yang sudah mengucurkan kredit kepada masyarakat mencapai Rp452 miliar (Suara NTB, 2023).
Pinjol telah menjadi alat para kapitalis untuk menghegemoni sumber daya keuangan rakyat, terutama ekonomi menengah ke bawah, kelompok yang termasuk sulit untuk menyediakan jaminan (agunan). Sedangkan ekonomi menengah ke atas, tersebab punya aset untuk jaminan, cenderung mengoptimalkan kredit bank yang bunganya relatif rendah dibanding pinjol.
Namun, perlu dipahami, paradigma bisnis pinjol adalah perputaran uang untuk memproduksi (menghasilkan) uang. Hal ini bisa diungkap dari alasan pinjol mau memberi utang pada rakyat kecil. Jika konsumen tidak punya daya beli, produsen tidak punya pembeli. Akhirnya, saldo laba produsen diputar untuk memberikan (investasi) pinjol ke rakyat kecil agar bisa berbelanja di lapak ekosistem digital si produsen. Alhasil, produsen menguasai mulai dari bunga pinjol, sampai uang itu kembali berputar ke para kapitalis karena belanja di lapak mereka.
Di sisi lain, pemerintah tidak akan pernah menutup bisnis pinjol karena Indonesia adalah favorit investor global untuk bisnis fintech, baik dalam bentuk pinjol maupun paylater dan sejenisnya. Berdasarkan analisis Robocash Group yang mencakup 10 negara Asia Tenggara, sepanjang 2000—2023, perusahaan fintech di kawasan ini telah meraup US$62,7 miliar (Rp954,48 triliun) dari 80 negara. Indonesia menjadi rumah fintech nomor dua paling diincar investor global selama dua dekade terakhir. Perusahaan fintech Indonesia telah meraup US$ 20,8 miliar atau sebesar Rp 316,63 triliun sepanjang 23 tahun terakhir.
Banyaknya masyarakat terjerat pinjol bukan sekadar karena minim literasi keuangan. Mereka bisa jadi sudah tahu konsekuensi melakukan pinjaman secara online, apalagi yang ilegal. Berita-berita di media massa sudah banyak yang memberitakan tentang nasib orang-orang yang menjadi korban pinjol. Mulai dari bunga yang sangat tinggi, penyebaran data pribadi, hingga teror oleh penagih utang dan berujung bunuh diri. Namun, realitasnya, ketika sudah terdesak kebutuhan, sering kali orang gelap mata. Mereka tidak peduli risiko yang akan dihadapinya, yang penting bisa mudah dan cepat mendapatkan dana. Di bawah kondisi sistem ekonomi kapitalisme hari ini yang melahirkan kemiskinan struktural, menjadikan banyak orang terdesak kebutuhan. Di sisi lain, produksi dan promosi masif tanpa batas dalam kapitalisme telah menghasut masyarakat untuk bergaya hidup konsumtif sehingga tidak bisa membedakan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dan keinginan yang bisa ditunda atau diabaikan. Jadilah, pangsa pasar pinjol sangat besar.
Sistem Islam adalah negara yang berasaskan akidah Islam. Visi negaranya adalah Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Alhasil, gambaran masyarakat yang dibentuknya juga berdasarkan Islam, yaitu pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam. Suasana yang akan diaruskan di tengah masyarakat adalah suasana ketakwaan, bukan konsumerisme. Masyarakat akan selalu didekatkan pada tujuan penciptaan manusia ke dunia, yaitu untuk menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Standar yang digunakan masyarakat Islam adalah halal haram dan rida-Nya, bukan standar materi seperti saat ini.
Islam memang mendorong produktivitas dan tidak melarang konsumsi, tetapi Islam mendorong manusia memiliki gaya hidup bersahaja, mengonsumsi sesuai kebutuhan, dan melarang menumpuk barang tanpa pemanfaatan karena setiap harta yang Allah berikan akan diminta pertanggungjawaban. Dari gambaran ini, konsumerisme bukanlah gaya hidup masyarakat Islam. Orang-orang tidak membutuhkan utang untuk gaya hidup, apalagi utang untuk judi yang sudah jelas haram hukumnya. Negara sebagai pelaksana hukum syariat tidak akan pernah memfasilitasi hal-hal yang bertentangan dengan syariat, apalagi memberikan izin.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar